Diam Lebih Berbahaya!

1627 Words
Suasana makan malam kali ini lebih terasa dingin karena Halim yang bersedekap, dengan tatapan mata pada Sagara, sesekali melirik putrinya, Felora. Ia jelas tenggah membaca situasi di sana. Duduk di kursi yang ada di Fine dining resto, tak pernah terasa tak senyaman ini. Pikirnya. Jika mengikuti maunya, Halim tak ingin buang-buang waktu, langsung mau pada inti alasan pertemuan diadakan. Belum dapat penjelasan, namun ia sudah merasa dikhianati putrinya. Pertama kali Felora, kesayangannya berbohong. Tak berbeda dengan Halim, lainnya pun memilih diam, sesekali Fay dan Kikan bicara mengenai kabar satu sama lain, menanyakan perjalanan Fay dan Alyan yang baru kembali. Halim tak peduli obrolan tersebut, baginya hanya basa-basi, guna mencairkan suasana yang terlanjut kaku untuknya. Para pelayan resto, ada berjumlah tiga orang mulai menyajikan menu yang dipilihkan Sagara. Menu yang di atur menyesuaikan selera masing-masing, yang lain sudah mulai merentangkan serbet di pangkuan sebagai maner dinner di resto tersebut. Sementara Halim tak melakukan apa pun. Sesekali jarinya mengetuk pinggiran meja, ketukan halus nyaris tak menimbulkan suara selain menyalurkan rasa tak sabarnya. Fay menatap Halim kala yang lain siap makan, dia tetap diam, “kamu berpuasa?” tanyanya. Halim beralih pada kakak sepupunya tersebut, “aku tidak lapar,” Fay memberi tatapan sinis, “tujuanmu datang ke sini untuk makan—“ “Ya, itu benar. Sebelum tahu ada pengaturan yang memang sudah lebih dulu di siapkan untuk menjebakku.” “Tidak ada yang menjebakmu!” Fay geram pada adik sepupunya, “jika kamu menghargaiku, maka tetap diam dan makan makanan yang sudah disajikan. Keluarga kita selalu menghargai makanan.” Tatapan keduanya beradu, bahkan Fay memegang pisaunya mengarah pada piring di hadapan Halim. “Siapa pun yang sudah reservasi, dia sangat tahu seleramu. Dan selera kita semua.” "Ya, yang mengatur dan memesan ini jelas berusaha mengambil hatiku. Ini tidak akan mempan meredakanku." "Makin tua, makin keras kepala." Sindir Fay lagi. "Keras kepala memang diturunkan dari keluarga kita, bukan aku saja, kamu juga." Sindir balik Halim. Alyan berdehem kecil, "Halim, plis." Halim menghela napas, jika bukan karena Fay lebih tua darinya, dia pasti sudah terus mendebat. Termasuk ia tak mungkin meneruskan saat Alyan yang biasa tak banyak bicara, sampai memohon. Saat akhirnya ia merentangkan serbet di atas pangkuan, Felora dan Halim serta semua bisa bernapas lega sejenak. Halim mulai makan. Felora menatap Sagara yang duduk di sebelahnya, Sagara tersenyum kecil, tangannya bergeser untuk menyentuh tangan Felora dan mengusapnya pelan. "Hmm... hm!" Halim berdehem agak kencang saat menyaksikan itu. Kembali menarik atensi semua orang. “Makanannya seret, Uncle?” tanya Fayra dengan sikap polosnya. Halim menatap Fayra, menggeleng pelan dan minum air putih. Sejujurnya makanannya mulai hambar, ia tidak berselera. Ia terpaksa menelan makanan tersebut. Menu utama di lewati cukup baik meski sempat tegang, hingga bagian makanan penutup yang manis tersaji akhirnya Halim tidak tahan lagi. Hanya Fayra yang tetap bersemangat, mulai mencicipi kue penutup yang manis di depannya. Sementara Halim sudah kembali duduk tegang menatap putri kesayangannya dan keponakannya. “Aku sudah menahan diri sejak tadi karena menghargai Ka Alyan juga Fay, kalian masih belum mau bicara huh?!" Biasanya Halim agak lepas kendali untuk mengomel saat salah satu putranya, Harsa, membuat ulah dengan kenakalannya yang ada-ada saja. Kali ini, ia tak percaya hadapi situasi serupa karena putri kesayangannya. “Ayah,” Felora segera memulai. Beranikan diri menatap ayahnya. Halim agak melembut hanya sebentar. “Biar aku saja, Chocolate girl...” Sagara mencegah Felora bicara, sebagai laki-laki, dia yang harus memulai. Halim menyaksikan itu, dari awal sampai. Sikap dan bahasa tubuh keduanya menunjukkan hal lain. Dari tatapan mata, bahkan berani pegangan tangan, seolah sedang menunjukkan ada yang spesial, berbeda antara mereka. Hati dan pikirannya sudah mengarah pada satu alasan, meski mati-matian dia menampiknya. "Mana mungkin Felora san Sagara punya hubungan berbeda dari yang kutahu selama ini?! Felo, ayah mohon jangan merusak percaya padamu!" Begitulah sekiranya isi hati Halim yang cemas hingga buat kepalanya pening tujuh keliling malam ini. Ia yang berpikir akan makan malam bertiga, mengenang seperti dulu tinggal di Hamburg, sebelum punya tambahan tiga anak laki-laki, seketika buyar dengan fakta kehadiran Sagara dan putrinya berbohong. “Sebelumnya, aku berterima kasih untuk waktu dan kesediaan makan malam hari ini. Juga maaf karena ada keterkejutan di dalamnya.” Sagara membuka dengan sikap yang cukup tenang, ia menatap Felora sejenak untuk mendapatkan energi positif melanjutkan, “Aku dan Felora sudah merencanakan malam ini, aku sudah reservasi resto, tetapi terpaksa membuat seolah-olah Felo ingin makan malam bertiga dan aku pun bilang pada Mama-Papa, makan keluarga.” “Ya, memang kita keluarga. Ini memang makan keluarga, Mama tidak keberatan akan itu. Kecuali Halim,” sindir Fay langsung. Halim tidak menanggapi kakak sepupunya. “Dalam rangka apa kamu buat pengaturan malam ini?” tanya Alyan yang sebagai orang tua dari putranya, yang tampak sudah membuat Halim tak nyaman dan tidak sabar, harus membuat putranya mengatakan tujuannya segera. “Ada yang ingin Saga dan Felora sampaikan, Pa.” Jawab Sagara. “Silakan,” angguk Alyan. Sagara tidak langsung bicara, selain menarik napas dalam-dalam lebih dulu. Tekanan ketegangan bersamaan seluruh atensi mengarah padanya buat dia tak hanya berdebar, tetapi tengkuknya merinding. “Saga,” panggil Felora. Sagara memberi anggukan, bersamaan dengan ia kembali memegang tangan Felora lebih berani. Mata Halim semakin melotot tajam mendapati itu. Fay dan Kikan sudah kian tahu arah tujuan makan malam dan pertemuan. “Kalian bersama?” tanya Kikan dengan suara pelan, mengartikan sendiri dengan tidak sabar. Jantung ibu empat anak itu berdebar kuat, mendapati putrinya akan mengejutkan dirinya dan sang suami. “Ya,” “Iya,” angguk Sagara dan Felora bersamaan. Kikan kian tegang, pertama kali yang ia lakukan sebagai respons adalah menatap suaminya. “Mas—“ “Teruskan,” Halim langsung meminta. Namun, mata Kikan menatap kedua tangan Halim yang langsung mengepal. Suaminya terkejut tetapi menahan diri. Lihat saja ekspresi dengan garis wajah yang tegang. Kikan mengenal baik saat Halim siap marah. “Maafkan aku dan Felo yang baru mengakuinya,” “Baru? Artinya sudah lama?” tanya Fay. Sedangkan Alyan tetap tenang meski memikirkan harus bagaimana menyikapi pengakuan putranya sekaligus ia mengingat ucapan Sagara siang tadi yang bilang akan segera mengenalkan kekasihnya. Ternyata kekasih yang dimaksud ialah sepupunya sendiri. Putri dari adik sepupu istrinya. “Dua tahun—“ Kalimat Sagara terhenti saat mendengar Halim berdecak, “wah!” “Ayah—“ “Selama itu?” tanya Kikan. Sagara menghela napas, memberi anggukan. “Dua tahun lalu, tepat sehari setelah perayaan ulang tahun Felora yang ketujuh belas, aku mengutarakan perasaanku.” “Sebentar, pas kamu pulang ke Jakarta? Hanya beberapa hari di sini, bahkan tidak memberitahu Mama-Papa? Kamu bilang ada yang perlu di urus soal berkas-berkas izin tinggal di sana sebagai mahasiswa?” “Aku berbohong, aku pulang dengan sengaja untuk memberi Felora kejutan.” “Putraku ternyata bisa sangat effort untuk gadisnya!” Fay malah berdecak kagum, Halim sampai menoleh dan memberi tatapan agar Fay tidak memuji di waktu yang menurutnya tidak tepat. “Lagi tegang lho ini, Mama.” Bisik Fayra pada ibunya. Menahan tawanya. Ada saja tingkah ibunya sejak tadi. Fayra jadi tahu sikapnya menurun dari sang Ibu. Ruangan itu seperti punya dua atmosfer yang siap perang, ibunya yang tampak santai dan senang, lalu sisi lain, pamannya yang tak pernah terlihat segarang ini. Fayra tak menyesal ikut. Halim kembali menatap hanya pada Felora yang menunduk. “Kami memutuskan bersama bukan sebagai sepupu lagi, tetapi kekasih. Kami terpaksa menyembunyikan dari kalian, terkhusus Uncle Halim karena tahu tidak akan setuju.” “Sudah tahu aku tidak akan setuju, kalian tetap melakukannya? Bahkan dua tahun! Luar biasa, selama ini aku dibodohi putri dan keponakanku sendiri!" ujar Halim berdecak tak habis pikir. Kalimatnya sangat sarkasme. Felora merasakan hatinya sakit. “Jangan salahkan Sagara, Ayah... Felo juga ambil andil dalam pilihan kami bersama.” Felora beranikan diri bicara. Halim menatap putrinya lagi, lekat hingga Felora yang sudah berkaca-kaca menunduk karena tak kuasa menatap ayahnya lebih lama. Dia tahu sudah mengecewakan ayahnya. “Kalian sepupu, harusnya tetap begitu. Tidak bisa ada cinta di antara kalian.” Kata Halim dan siap berdiri. “Aku sudah memutuskan,” Felora kembali bicara. Sagara dan dirinya saling tatap, sampai Sagara mengeratkan genggaman tangan mereka. “Ada lagi, pengakuan ini bukan sebatas agar kalian tahu.” Halim bersedekap. “Cara kami memang salah, aku meminta maaf terutama pada Mama-Papa. Bunda Kikan dan Uncle Halim. Sebagai laki-laki, harusnya aku lebih bersikap gentleman. Datang pada Uncle, dan meminta izin. Bukan bersama Felora seperti selama dua tahun ini. Diam-diam. Karena itu, kami memutuskan untuk mengatakannya malam ini pada kalian. Dan, kami membicarakan sesuatu juga dua hari lalu—“ “Sebelum operasi transplantasi jantungku, aku ingin menikah dengan Sagara. Aku ingin menjadi istrinya.” Felora mengambil alih. Tak tahan jika hanya Sagara yang disalahkan. Semua kalimat yang mengalir dari bibirnya impulsif. Dia beritahu begitu saja pada semua orang di ruangan tersebut. Halim kali ini langsung berdiri, gerakan yang tiba-tiba hingga tak sengaja tangannya mengenai gelas, yang bagusnya tak jatuh hingga menjadikan backsound menambah ketegangan, hanya membuat isinya sedikit keluar. Begitu juga Kikan yang ikut berdiri. Fay dan suaminya juga terkejut. Sangat syok dengan pernyataan Felora jika mereka ingin menikah muda. Sudah sejauh itu dirinya memutuskan. “Felora,” Kikan dengan suara agak syok, mengakibatkan nadanya agak gemetar memperingatkan putrinya. “Kamu bilang apa?” “Bunda, aku serius. Aku tidak sembarang bicara. Aku mengutarakan keinginanku pada Sagara.” “Dan aku pun sudah memutuskan, aku ingin menikahi Felora.” Sagara menatap Halim yang sudah berdiri dengan ekspresi tegangnya. “Uncle, Bunda... tolong beri kami restu—“ “Kita pulang Kikan!” Halim berucap tegas, bahkan langsung melangkah, istrinya menatap bingung dengan Halim yang malah mengajaknya meninggalkan ruangannya. Jelas ia kenal sikap suaminya, diam Halim lebih buruk dari meledak-ledak. Apa yang harus Kikan lakukan? Putrinya bersalah, ia pun sangat terkejut dapati Felora ternyata tak seterbuka itu pada dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD