My Chocolate girl

1417 Words
“Kenapa ada Saga jadi manja begini sih?” tanya Kikan heran saat putrinya tiba-tiba mengeluh bosan. Ingin Sagara temani ke taman. “Iya, ah... tadi kamu ke kamar mandi juga jalan sendiri tuh-aduh!” Fayra mengaduh saat mendapat cubitan kecil di lengannya, refleks dia menjauh. Lengkap juga dengan tatapan maut dari Felora. “Itu kan tadi, sekarang tiba-tiba lemas. Jadi, butuh bantuan Saga.” Alasannya sambil menyengir lebar. Sagara yang berdiri tak jauh darinya ikut tersenyum dapati tingkah Felora yang manja. “Kalau lemas, tetap di kamar. Tiduran saja, tidak usah minta jalan-jalan ke taman.” Kikan menanggapi meski yakin putrinya akan bersikukuh untuk mengajak Sagara. Felora tentu cemberut mendengar tanggapan Kikan. Bisa-bisa alasan untuk berdua-duaan dengan Sagara gagal. “Bunda,” Sagara yang sejak tadi diam saja pun ikut bicara, “penting menjaga mood Felora tetap baik, kan?” Kikan menghela napas, lalu tersenyum lembut. “Kamu mana pernah bisa menolak keinginan Felo sih, Saga? Jangan di manja, sudah dewasa sekarang.” Sagara mendekat, Felo dengan senang mengalungkan tangannya di leher pria itu yang dengan sigap dan kuat membawanya meninggalkan tempat tidur lalu berpindah duduk di kursi rodanya. “Justru semakin Felora manja, Sagara makin senang-senang saja, Bunda!” Celetuk Fayra lagi. Kikan menggeleng pelan, memerhatikan bagaimana lengan Sagara menjaga tubuh putrinya lalu didaratkan ke atas kursi roda elektronik dengan aman. Sagara tidak langsung pergi, memastikan jika Felora nyaman. Bahkan sebelum Kikan bergerak, ia lebih dulu berinisiatif mengambil selimut berwarna merah muda, membentangkannya untuk menutupi bagian bawah hingga kakinya. “Thank you, Saga.” Balas Felora. Kikan ikut tersenyum mendapati Sagara memerhatikan putrinya begitu baik nan lembut. “Bunda,” bisik Fay yang juga selalu berdecak tiap kali melihat tingkah Sagara yang bahkan tak selembut itu memperlakukannya sebagai adik. “Ya?” Kikan menoleh. Fayra mendekat, “mereka cocokkan Bun?” Kikan menyipitkan mata, “cocok,” kemudian berlalu merapikan tempat tidur putrinya. “Kamu tidak ikut jalan-jalan ke taman?” tanya Kikan berikutnya yang mendapati keponakannya itu justru kembali ke sofa, mengambil tas dan mengecek ponsel. Fayra mendongak, “aku mau pamit pulang sekalian,” “Terima kasih ya sudah menginap semalam di sini, jaga Felo.” Fayra mendekat setelah memakai tasnya, “sama-sama, Bunda.” “Kamu langsung pulang, kan?” tanya Kikan. “Ini sih pasti Mama yang minta Bunda pastikan aku langsung pulang?” Kikan mengangguk, Fayra sudah cukup hafal. “Aku langsung pulang, ada tugas kuliah yang harus diselesaikan.” Jika Felora menjadi mahasiswi kedokteran, maka Fayra menjadi mahasiswi hubungan internasional. Hanya mereka berdua yang tetap melanjutkan pendidikan di universitas dalam negeri, berbeda dengan beberapa saudara mereka. Sementara Felora dan Sagara menuju taman, “kamu sampai jam berapa?” Sagara menemani pamannya, Hamish ke Singapura dalam rangka pekerjaan. Sekitar dua hari. Felora menghentikan kursi rodanya dekat dengan kolam ikan, di tengahnya ada air mancur yang aktif. Suara gemerciknya air membuat siapa pun yang mendengar sambil menatap ikan-ikan dalam kolam menjadi jauh lebih damai. Sagara mendekat, duduk di sisi kolamnya, menghadap Felora. Dengan berada di luar seperti ini, mereka mendapat privasi sebagai kekasih. Bukan lagi sepupu yang tampil di hadapan orang tua. Sagara menatap rambut panjang sepunggung Felora yang tergerai, sesekali bagian sisi yang mengenai wajah, ia atur ke belakang telinga. “Sebentar, aku punya sesuatu.” Ujarnya sebelum menjawab Felora. Felora memerhatikan pria berusia dua puluh satu itu mengambil sesuatu dari saku jaketnya. “Kamu ke sini pakai motor?” “Iya, dari Bandara langsung pulang dulu. Absen ke Mama kalau aku udah pulang walau sebentar. Terus cuman ganti jaket, ambil motor buat ke sini.” Jawabnya bersamaan mengeluarkan sebuah jepit rambut yang cantik berwarna lilac dengan hiasan berupa sayap kupu-kupu. “Punya Fayra?” “Tidak, aku sengaja beli buat kamu.” Katanya sembari bergegas ke belakang Felora. “Uncle Hamish dapat titipan macam-macam dari Hansika dan Megumi.” Felora tertawa kecil membayangkan pamannya itu pergi ke toko pernak-pernik wanita, membeli pesanan saudarinya. Tawa Felora terhenti saat jemari Sagara mengambil bagian sisi rambutnya. Jemarinya terasa menyisir dan tenggelam di rambutnya. Kemudian di satukan dan dijepit. Sagara menunduk, mencium sisi kepala Felora, sempat menghirup aroma rambutnya, tentu saja itu tindakan yang membuat jantung Felora berdetak lebih cepat hingga ia bisa merasakannya. “Uhm... Aku belum keramas sejak dua hari masuk Rumah sakit,” jujurnya. Takut Sagara mencium bau kurang nyaman. Sekaligus meminta Saga untuk berhenti, sebab tak baik untuk jantungnya. “Wangi kok, walau tetap minyak kayu putih paling tercium.” Jawabnya ditutup dengan ciuman kecil di puncak kepalanya. “Saga!” Kesal Felora dan mendorongnya. "Ini tuh kerjaan Bunda, dikit-dikit balurin kayu putih. Enggak skalian aja minta aku berendam kayu putih!" decaknya. Sagara tertawa kecil, kemudian meraih jemarinya. Ia menyatukan jemari mereka. Sagara kemudian terdiam, menyelami mata Felora yang berwarna coklat madu. “Saga,” “Yes, My Chocolate girl?” sautnya. Sudut bibir Felora tertarik, rona merah malu-malu menghiasi wajahnya. Jika Ayah yang pertama kali memberikan nama kesayangan itu, maka Sagara orang kedua yang memanggilnya dengan sebutan sama. Tentu dengan sensasi yang berbeda. Sagara membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Detak yang menyenangkan. Sementara terdiamnya Sagara sambil berusaha menebak, apa Felora sudah tahu jika kemungkinan ia akan segera menjalani operasi besarnya. Jantung barunya? “Hm, aku mau tanya sesuatu.” Ragu tampak terasa, Sagara memilih diam menyimaknya. “Kalau seandainya, belum juga ada jantung baru yang cocok untukku. Keadaanku semakin tak memungkinkan untuk hidup lebih lama. Kamu bakal sedih, aku pergi—“ “Sssthh!” Sagara meletakan jemari di bibir Felora, menekannya. “Bukannya prinsipmu tidak mau ada kata ‘seandainya’? kamu lebih suka menjalaninya saja...” Felora menghela napas dalam-dalam, arti lainnya memang Felora belum tahu yang Kikan sampaikan pada Felora. “Iya sih, aku lebih suka pakai prinsip begitu. Tapi, tetap saja...” ia menghela napas dalam, Felora menatap lurus ke pancuran airnya. “Kamu boleh bersedih, tapi janji sama aku kalau sedihmu tidak akan menghentikan langkahmu untuk tetap melanjutkan hidupmu.” “Chocolate girl—“ “Kamu masih muda, meski saat sekarang membayangkan kamu jatuh cinta pada gadis lain dan hidup bersamanya, sulit. Menyakitkan untukku... aku tetap lebih sakit jika kamu terus bersedih.” Sagara menghela napas, kemudian menggeleng pelan. “Berpikir negatif, apalagi sampai overtinking, tidak baik untuk kamu.” Felo menahan salah satu lengannya, mengeratkan jemari mereka yang bertaut. Saat dulu Sagara menyatakan perasaannya, Felora sempat berbohong dan tidak langsung mengatakan jika ia pun mencintainya. Ada banyak pertimbangan yang sangkut paut dengan kesehatannya. Usia memang rahasia Tuhan, tetapi garis takdirnya sejak kecil adalah gadis dengan jantung tak normal. Ia tidak mau memberikan rasa sakit kehilangan luar biasa pada Sagara jika akhirnya dirinya tiada. “Felo, manusia memang tak boleh menggantungkan hidupnya pada sebuah harapan yang terkadang tidak sesuai. Namun, kita dibekali keyakinan pada Sang Pencipta. Itu saja cukup untuk membuat kita tidak memikirkan yang belum tentu terjadi.” Felora mengangguk, mungkin rasa cintanya pada Sagara menjadi bagian terberat membayangkan bagian terburuknya jika ia tiada, setelah mencemaskan orang tuanya. Sagara beranjak, kemudian membawa tubuh Felora ke dekapannya. “Kamu akan segera mendapatkan jantung barumu, operasi transplantasi jantungmu akan berjalan dengan baik. Setelahnya, kamu akan panjang umur.” Bisik Sagara. Tangannya mengusap bahu kekasihnya. “Aku sangat menantikan hari itu tiba,” Felora melerai pelukan, dengan jarak cukup dekat ia menatap Sagara dengan senyum termanisnya, “lalu kita akan umumkan hubungan ini pada orang tua kita dan keluarga. Jadi tidak sembunyi-sembunyi lagi.” Sagara memberi anggukan tanpa ragu. Ia baru hendak memeluk Felora lagi saat melihat jelas keluarganya berjalan mendekat ke arah mereka berada. “Kamu lihat siapa?” Felora menoleh ke arah pandangan Sagara, kemudian dapati Fayra berjalan ke arahnya tidak sendiri, melainkan bersama salah satu bibi mereka. Salah satu yang belum boleh tahu tentang hubungan mereka. “Aku bertemu Aunty Lea tadi pas mau ke sini,” ujar Fayra begitu sampai. Felora menatap bibinya, dengan pakaian formal namun cukup modis, menegaskan posisi penting di rumah sakit RMC. Felora memberikan senyumnya, terutama saat Aunty kesayangannya mengeluarkan sebungkus cokelat favoritnya. “Satu boleh, banyak yang tidak boleh.” Katanya saat memberikan itu padanya. “Yeah, jatah cokelatku hari ini! Makasih Aunty dokter!” katanya, siap membukanya tetapi lebih dulu diambil Sagara. Felora melebarkan pupil matanya, “Sagara—“ Dia pikir, Sagara akan seperti Ayah yang belakangan sangat ketat. Bahkan menjauhkannya dari makanan favoritnya tersebut. Ternyata, Sagara mengambil untuk bantu membukakan bungkusnya. “Kali ini boleh, kandungan cokelat ini akan buat perasaanmu jadi lebih bahagia.” Katanya dan menyuapi Felora langsung cokelat berbentuk bola-bola tersebut. Di hadapan bibinya yang menganggap itu bentuk perhatian biasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD