Bab 4. Lebih Baik Bercerai

1036 Words
Saat berjalan menuju pintu depan rumah Beno, hampir saja Winda berubah pikiran, tiba-tiba saja dia mengingat malam panasnya dengan Keenan satu minggu sebelum Keenan pamit pergi untuk melakukan perjalanan bisnisnya ke pulau Kalimantan, tepatnya di kota Palangkaraya. Itu mungkin akan menjadi malam panas terakhirnya dengan suaminya. Seperti malam-malam sebelumnya, Keenan selalu saja kasar saat menyetubuhinya, mata pria tampan itu merah dan wajahnya terlihat garang. Tidak pernah ada kata-kata mesra untuknya selama berumah tangga, karena Keenan bukan pria yang romantis. “Akh.” Dengan keras Keenan menepis pant*t bulat Winda seraya menyerang tubuh istrinya kuat-kuat dari arah belakang bertubi-tubi. Saking kuatnya, Winda sampai harus menahan kepalanya dengan kedua punggung tangannya, agar kepalanya tidak terbentur ujung meja konsul yang ada di dekat pintu kamar. Keenan memang menyukai tempat-tempat yang tidak menyajikan kemesraan saat bersetubuh, di ruang tamu, dapur, laundry room, juga di kolam renang. Keenan bahkan pernah menjebak Winda untuk datang ke kantornya, ternyata dia sedang dalam keadaan keinginan yang sangat besar, dengan kasar dan brutal meyetubuhi istrinya di atas meja kantor, dan Winda gemetar karena dengan santainya Keenan menghujam tubuhnya dari belakang sambil mengangkat telepon dari rekan bisnisnya. “Sakkkittt.” Winda akhirnya mengaku sakit karena hujaman senjata Keenan di dalam tubuhnya semakin kencang tanpa ampun ke tubuh rampingnya, Keenan juga mencekik leher Winda. Keenan bertambah semangat, mendengar kata sakit dari mulut Winda, yang disertai erangan dan jeritan. “Aaaakh. Aku ke luarrrr. Ini minum, minum cepattt!” Dengan kasar pula, Keenan menarik kepala Winda dan memutarnya ke dekat pangkal pahanya. Winda seolah sudah mengerti keinginan suaminya saat pelepasan, menghisap miliknya dengan kuat sampai cairan benar-benar kering dan Keenan merasa kegelian, disertai amarah yang membuatnya benar-benar puas. Entah kenapa, Winda juga diam-diam menikmati kebrutalan Keenan selama menikah, terutama saat "bercinta". Keenan melenguh sambil mengumpat, tapi setelah itu dia memeluk tubuh Winda, dan memburu telinganya dan menggigitnya penuh napsu. Winda tepis bayang-bayang panas itu, dan sekarang dia malah merasa jijik dengan perlakuan dan sikap Keenan. Terutama saat mengingat suaminya yang telah tidur dengan Dinar, berselingkuh, dan Winda sudah tidak peduli alasan apapun. Winda sudah memantapkan hatinya, dan kini dia sudah berdiri di depan pintu utama rumah Beno. Winda terlihat sangat berbeda dengan make up dan wig yang melekat di kepalanya, juga pakaian resmi pasaran yang melekat di tubuhnya yang langsing, dan itu bukan gayanya, tapi tetap saja dia terlihat sangat cantik. Winda memang sangat dikenal cantik sejak lahir, dan banyak orang yang mengaguminya, banyak para orang tua yang mengenalnya, menginginkannya untuk menjadi seorang “menantu”. Tidak hanya cantik, Winda juga cerdas dan pandai mengolah emosi. Satu hal, dia memiliki dua Yayasan amal bagi anak-anak yang kekurangan, juga beberapa sekolah bagi anak dari keluarga kurang mampu. Winda benar-benar sosok yang sempurna, tapi sayang, pernikahannya kini di ambang kehancuran. “Saya Asriana, utusan asuransi Chu**, saya sudah memiliki janji dengan Pak Beno.” Winda berbicara dengan seorang wanita setengah baya yang baru saja membuka pintu untuknya, wanita itu berpakaian kedaerahan, kebaya kuno pendek dipadu jarik batik. Winda dengan cepat menebak bahwa wanita setengah baya itu adalah salah satu asisten rumah tangga keluarga Beno, terlihat dari cara dia menyambut, cara bicaranya yang sangat halus dan penuh hormat, dengan logat Jawa yang khas. Meskipun tinggal di daerah Bogor, tampaknya Beno memperkerjakan orang-orang dari kampung halamannya di daerah Jawa. Raut wajah wanita itu berubah heran, “Waduh, pak Benonya sedang ke luar, Mbak. Saya … juga kurang tahu ke mana.” Winda mempertahankan ekspresi wajahnya. Pikirannya melesat membayangkan mungkin saja Beno pergi dengan suaminya. Sepasang mata di balik kacamata yang bertengger di hidung bangirnya secepat kilat melirik ke arah dua tas yang dikenalinya, dua tas milik Keenan, yang tersusun rapi di atas lantai ruang tamu, tepat di samping sebuah lemari. Winda dengan cepat pula merubah ekspresi di wajahnya. Melihat Winda yang memendam sedikit kekecewaan, Ibu itu lalu membujuk Winda untuk duduk di dalam ruang tamu, tapi Winda menolak dan memilih untuk duduk menunggu di teras depan. “Saya ke dalam dulu.” Ibu itu pamit setelah memastikan Winda duduk. Winda membalasnya dengan anggukan kecil. Lagi-lagi, Winda melihat jejak lain suaminya, yakni sepasang sepatu kulit mengkilat mahal yang berada di atas rak sepatu paling atas, di teras depan rumah. Winda benar-benar menyimpan kegeramannya dalam hati, Keenan telah bermain api. Dia kembali mengingat pertengkaran hebatnya dengan Keenan yang terakhir, menyoalkan Keenan yang membatalkan rapat penting di kantornya demi menemani Dinar jalan ke mall, hendak membelikannya sebuah tas branded terbaru. Keenan beralasan bahwa rapat di kantor bisa digantikan dengan wakilnya, dan dia memilih menemani Dinar. Winda marah lagi setelah Keenan pulang, karena Dinar menghubunginya dan memintanya untuk mengirim sejumlah uang. Dan pertengkaran malam itu lumayan membuat Keenan kesal, dan memilih untuk tidak pulang ke rumah dari perjalanan bisnisnya dari Palangkaraya, dan malah menginap di rumah keluarga gadis itu. Tiba-tiba Winda mendengar suara gadis merengek manja dari arah dalam rumah, dia tahu itu Dinar, karena sering mendengar suara Dinar dari ponsel Keenan. Keenan acapkali menghidupkan pengeras suara ponselnya saat menerima panggilan dari gadis yang dia anggap adiknya itu, dan dia tidak memperdulikan perasaan istrinya. Winda menoleh ke belakang, dan dari balik kaca jendela rumah, dia bisa melihat Dinar yang tengah memeluk Keenan dari belakang. “Jangan pulang, Mas Keenan. Di sini aja lagi nginaaaap.” Mungkin bagi orang yang belum mengenal Dinar akan mengira Dinar gadis yang baik dan penurut, tapi di mata Winda gadis itu licik dan penuh siasat jahat. Terutama setelah dia menerima foto-foto kemesraannya dengan Keenan di dalam sebuah kamar. Winda menyimpan perasaan jijiknya dalam-dalam di dasar hatinya. Dia sama sekali tidak dendam dengan Dinar, Winda menganggap apa yang dia lakukan sekarang ingin menunjukkan bahwa kesabarannya sudah hilang, selama tiga tahun menahan amarah dan kekesalan, dan Dinar yang semakin menjadi-jadi. “Iya, iya. Nih, Mas kan masih di rumah kamu.” Winda mengamati Keenan yang mengacak rambut Dinar, saat posisi Dinar berubah di depan tubuh tingginya. Dinar balas perlakuan Keenan dengan memeluknya. “Ciuuum.” Keenan mengecup dahi Dinar dalam-dalam saat Dinar masih memeluknya. Setelahnya, Winda tidak mau lagi melihat adegan mesra itu, dia mendengar Dinar menggumam manja dan sudah berani berkata sayang ke Keenan. Menurut Winda hubungan kakak adik itu sudah tidak wajar, dan dia merasa keputusannya sudah benar, lebih baik bercerai dari pada harus menanggung perasaan tersiksa setiap saat. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD