Bab 9. Kemenangan Dinar

1282 Words
Beno sangat menyayangi adiknya dan selalu mendukungnya, akan tetapi dia kurang setuju dengan apa yang telah Dinar lakukan terhadap rumah tangga sahabatnya. Menurutnya, tindakan itu bisa menjadi bumerang bagi Dinar sendiri, karena itu bisa menjadi bukti-bukti dalam proses perceraian, dan nama Dinar yang akan tercoreng. Akhirnya Beno meminta Keenan untuk menjaga nama Dinar dengan memenuhi permintaan Winda untuk mengikuti proses perceraian yang dikehendaki Winda dengan tanpa menyinggung Dinar, dan Keenan pun menyetujuinya. “Lain kali kalo bertindak mikir-mikir dulu. Jangan suka sembarangan bikin ulah,” tegur Beno saat Dinar tengah bersantai di ruang keluarga. Dia sudah menjelaskan kepada Dinar bahwa tindakan Dinar itu bisa dipidana, apalagi sudah mencampuri ranah rumah tangga orang lain. Dinar dinilai Beno sangat ceroboh. Bibir Dinar mengerucut saat diberi nasihat oleh kakaknya. Dia tidak membantah dan tidak pula membenarkan tindakan yang sudah dia lakukan, tapi dia tidak menyesal karena tujuannya telah tercapai, yakin Keenan dan Winda akan bercerai. “Jangan ganggu mas Keenan dulu.” “Berapa lama, Mas?” Dinar bertanya dengan gaya manjanya. “Ya, tunggu saja. Lebih baik tunggu sampai dia yang memulai hubungi kamu.” Dinar menggigit bibirnya, menunggu adalah pekerjaan yang amat membosankan. Tapi apa boleh buat, dia harus menuruti saran kakaknya, dan dia menyadari bahwa Keenan pasti butuh waktu untuk menenangkan diri. Dinar berharap tidak akan selama yang dia bayangkan, dan Keenan bisa segera menghubunginya. *** Malamnya, Dinar yang mulai bosan, menghubungi Rara, ingin berbagi cerita tentang kejadian di rumahnya pagi ini, bahwa Winda mendatangi rumahnya dengan menyamar sebagai petugas asuransi, dan apa yang dia harapkan terjadi, Winda ingin bercerai dari Keenan. “Gila itu orang ya? Berani banget menyamar memakai identitas orang lain. Mentang-mentang banyak duit jadi bisa seenaknya.” “Nggak masalah, Ra. Yang penting kan misiku berhasil.” “Dasar. Kamu juga nggak ada takut-takutnya. Bisa-bisa malah kamu lo yang dituntut.” “Nggak bakalan, Mas Beno kan intel, mungkin dia yang duluan nyaho.” Terdengar tawa renyah Rara. “Jadi apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?” tanyanya kemudian. “Menunggu.” “Menunggu?” “Ya, menunggu waktu yang tepat. Kakak kamu kan pasti masih sedihlah sekarang, jadi aku ingin dia tenang dulu.” “Hm … hebat banget kamu, Din. Sabar dan bijak.” “Iya, dong. Musti sabar dapetin kakakmu. Berkali-kali aku kasih kode dan dia nggak ngerti-ngerti juga. Kamu dong yakinin dia sama aku.” “Hah? Aku kamu suruh yakinin dia? Mama dan papaku saja lewat, apalagi aku? Sekarang itu justru kamu yang harusnya yakinin dia.” Dinar berdecak sebal, “Bantuin dong, masa bantu doa doang.” “Emangnya dengan aku memihak kamu dianggap nggak bantu kamu? Kamu tau sendiri mas Keenan bagaimana sulitnya dikasih saran, dan dia mau dengerin kamu, ‘kan? Kamu yang lebih dia dengar daripada aku.” “Iya sih. Tapi aku tuh takut, Ra. Kalo aku nuntut lebih, ntar dia berubah lagi.” “Dinar, Dinar. Selalu itu yang kamu keluhkan, belum juga mencoba. Menurutku sekarang kamu nggak usah takut lagi. Nggak lama lagi juga dia jadi duda dan kamu bisa bebas deketin dia.” Dinar menatap langit-langit kamar memikirkan kata-kata Rara bahwa dirinya tidak perlu takut memulai untuk menyatakan perasaan yang sebenarnya kepada Keenan. “Ya, memang sudah saatnya aku jujur sama mas Keenan.” “Nah, begitu dong. Yang optimis.” “Tapi seandainya dia berubah?” “Dinar. Jangan menyerah, kita sekeluarga menyukai kamu daripada Winda. Kamu itu sekarang posisinya sudah bagus. Setelah mas Keenan bercerai, otomatis kamu yang jadi satu-satunya perempuan yang dekat dengan mas Keenan.” Dinar diam sejenak sambil memikirkan dua kemungkinan yang akan dia hadapi jika dia mencoba mendekati Keenan, Keenan yang mungkin saja menjauh atau sebaliknya, Keenan yang lebih dekat dengannya. Gadis itu menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembusnya perlahan. Ada sedikit kekhawatiran yang muncul seandainya Keenan menjauh darinya. “Mikirin apa, Dinar? Mas Keenan ‘kan nggak akan ke mana-mana. Winda? Sudah pasti akan enyah dari hidup mas Keenan.” “Wajar dong aku khawatir, Ra.” “Tenang saja, aku selalu dukung kamu.” “Raraaaa, aku ingin kita iparaaan.” “Iya dong. Aku juga nggak sabaran punya keponakan.” Dinar tersenyum lebar, baru saja menyadari bahwa dirinya benar-benar di atas angin, Keenan yang akan bercerai dan pasti tidak akan berurusan dengan Winda lagi, dan keluarga Keenan yang menyukai dirinya. Saat Rara mengatakan bahwa keluarganya menginginkan anggota baru, Dinar yakin bahwa dirinya bisa memenuhi keinginan mereka jika menikah dengan Keenan. Dinar jadi bersyukur dengan keadaan ini dan tidak menyesal telah berhasil membuat Keenan menandatangani persetujuan perceraian. Dia tidak peduli berapa lagi mereka akan secara resmi bercerai, baginya tahap ini akan menjadi awal yang baik. *** Keenan tetap bekerja seperti biasa awal minggu ini meskipun emosinya kurang stabil setelah menandatangani kesepakatan bercerai. Kehadiran Keenan di kantornya kali ini membuat orang-orang di kantor menyapanya dengan hangat, karena hampir satu minggu dia tidak masuk kantor karena baru pulang dari perjalanan bisnis di Palangkaraya. Keenan merupakan pemimpin kantor yang baik dan pekerja keras, juga sangat teliti di setiap pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Tak heran, di kantor dia sangat dihormati baik di kalangan junior maupun senior. Kelebihan di fisiknya serta penampilannya yang rapi, membuat kaum hawa di kantor terkagum-kagum. Apalagi isu perceraiannya dengan cepat sekali menyebar, membuat Keenan terlihat makin memesona. Seorang sekretaris cantik berpakaian rapi mengikuti langkah Keenan yang tergesa-gesa memasuki ruang kantor. Begitu tiba di dalam kantor, Keenan dengan sigap dan teliti menandatangani tumpukan dokumen yang dibawa sekretaris. “Kamu tau bu Winda bekerja di bagian mana, Ris?”tanya Keenan kepada sekretarisnya yang juga bekerja sebagai asisten pribadinya. Riska hafal kehidupan pribadi atasannya, termasuk perihal pertengkaran hingga perceraian Keenan. Sambil memperhatikan dokumen yang ditanda tangani Keenan, Riska menjawab, “COO, Pak. Di kantor pak Damian di Sudirman.” Keenan memelankan gerakan tangannya di atas kertas-kertas, dia tampak sedang berpikir. Riska yakin pasti Keenan sedang memikirkan tentang Winda, dia juga sudah tahu isu keretakan rumah tangga atasannya itu, juga mengenal Dinar, perempuan yang dekat dengan Keenan. Keenan sudah menyelesaikan tanda tangannya. “Kamu awasi Bu Winda, dan laporkan kepada saya temuan terbaru tentang dia.” “Baik, Pak.” Meskipun agak bingung dengan perintah Keenan, Riska tetap saja menyanggupinya. Dia pikir tugasnya hanya mengawasi Winda dan melaporkannya ke Keenan. Riska tidak yakin Winda macam-macam. Entah kenapa Keenan sedikit mencurigai Winda. Dia kembali mengingat pertengkaran-pertengkaran dalam rumah tangganya, yang hampir setiap kali berakhir di atas ranjang. Dia dengan kejam menyetubuhi Winda, dan dia sampai sekarang terngiang-ngiang akan teriakan-teriakan Winda yang justru berujung tawa puas. Dia dan Winda sama-sama memiliki fantasi se* yang kurang lebih sama. Akan tetapi, kenapa Winda pada akhirnya ingin bercerai darinya, apa ada pria lain dalam hidup Winda? Keenan tampaknya belum menyadari bahwa Winda sangat menyesalkan kedekatannya dengan Dinar. “Hari ini saya tidak mau dihubungi siapapun, jadi jangan beri izin kepada siapapun ke ruang kerja saya, kecuali peserta rapat siang ini.” “Baik, Pak. Hm … termasuk Bu Erina, atau … Mbak Dinar.” “Siapapun.” Riska mengangguk mengerti. Biasanya Keenan membolehkan dua orang itu menghubunginya atau menemuinya di sela-sela kesibukannya di kantor. Tapi sepertinya Keenan sedang ingin mengatur emosinya hari ini dan mungkin di beberapa hari ke depan. “Baik, Pak.” Riska dengan cepat mengambil dokumen-dokumen dari atas meja kerja Keenan dan membawanya ke luar. Keenan menghela napas panjang setelah melihat pintu kantornya tertutup. Semalam dia dihubungi papa mertuanya yang menanyakan hasil perjalanan bisnisnya dari Palangkaraya. Irman sama sekali tidak menyinggung rumah tangganya. Tapi Keenan tahu bahwa sebenarnya Irman hanya ingin memastikan keadaan emosinya setelah menandatangani kesepakatan bercerai. Selama ini Irman tidak pernah menghubunginya pada jam-jam malam, lalu bertanya tentang pekerjaan. Keenan pasrah saja seandainya Winda melaporkan foto-fotonya bersama Dinar ke papanya, dia akan tetap menjelaskan sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD