Bab 15. Reuni

1259 Words
Keenan : Sore jam 5 Bagian bawah Dinar berdenyut saat membaca pesan Keenan, dan dia membalas dengan semangat bahwa dia akan datang ke rumah orang tua Keenan lusa. Merasa belum mencapai kepuasan, Dinar yang penasaran, melepas celana dalamnya, sambil membayangkan Keenan menindih tubuhnya dan meraba-raba miliknya. “Akh, Mas Keenan. Dinar kangen, akh.” Malam menjelang tidur, Dinar mengaduk miliknya sampai di ujung kepuasan, tubuhnya mengerjang hebat hingga cairan lengket dari dalam tubuhnya memenuhi miliknya hingga lengket di pangkal dua pahanya. Setelahnya, Dinar tidur lagi dengan perasan tenang. *** Sejak menikah dengan Keenan, Winda ogah memenuhi undangan reuni teman-teman kuliahnya di Jakarta. Namun, setelah yakin akan bercerai, dia sudah merasa bebas dan bisa bertemu siapa saja, hingga Winda pun mau menghadiri undian reuni kuliahnya di sebuah hotel berbintang di Jakarta, yang terdiri dari beberapa mahasiswa dari Indonesia yang berkuliah di kampus yang sama di Singapura, dari tiga angkatan. Winda datang sendirian malam itu, dan ada beberapa teman yang masih mengingatnya. Ternyata isu dirinya yang akanbercerai dari Keenan sudah banyak yang tahu, dan Winda dengan tenang menjawab pertanyaan mereka dengan cara elegan dan tidak peduli jika mereka membicarakannya dan sinis di belakangnya. “Jadi, kamu datang di acara reuni kali ini, ingin menunjukkan bahwa kamu sekarang bebas dan sedang mencari jodoh?” Seorang teman Winda menyinggung Winda sambil mengamati tubuh Winda dari atas kepala hingga ujung kaki. Banyak mata-mata kagum tertuju ke Winda malam itu. Winda saat kuliah, dikenal sosok perempuan yang sempurna, dia sangat cantik, memiliki tubuh sempurna, otak yang cerdas, bicara yang tegas, dan tidak bertele-tele. “Ya, Why not? siapa tau aku akan menemukan satu laki-laki yang ada di sini, yang tentunya sedang tidak memiliki hubungan apapun dengan perempuan lain,” tanggap Winda yakin. Jawaban Winda membuat orang-orang tersenyum, padahal dia belum resmi menyandang status janda, namun dia yakin Keenan pasti akan mempermudah jalan menceraikannya dan itu lebih baik. “Winda … Winda. Jangan mentang-mentang papa kamu punya kuasa dan kamu bisa seenaknya berpikir bahwa apa yang kamu inginkan selalu terwujud.” “Kita sedang tidak membicarakan papaku, kenapa kamu bawa-bawa papaku? Kamu iri dengan kehidupanku yang di atas segala-galanya, ha?” “Eh? Congkak sekali kamu, Winda. Pantas Keenan tidak tahan dengan perempuan congkak seperti kamu.” “Aku harus congkak di depanmu, karena kamu yang memulai menyindir aku dan rumah tanggaku!” Meski kata-kata yang keluar dari mulut Winda menusuk, tapi Winda tetap pandai mengatur emosinya. “Karena kedatanganmu mengundang tanya, Winda.” Ada sosok lain yang membela orang yang “menyerang” Winda. “Aku punya hak datang atau tidak datang. Kalo kalian tidak senang dengan kedatanganku jangan ajak aku bicara, dan kalian tidak berhak mengusirku.” Dua orang perempuan itu langsung menjauh dan mengajak yang lainnya meninggalkan Winda sendirian. Hampir semua meninggalkan Winda, tapi ada seorang laki-laki tampan yang tidak beranjak dari posisinya. Laki-laki itu justru mendekati Winda dengan langkah elegannya, dan aksinya membuat orang-orang yang meninggalkan Winda terkesima, dan semua menoleh ke arahnya. “Winda, yang selalu tidak berubah sedari dulu.” Winda bukannya senang didekati laki-laki itu di saat yang lainnya meninggalkan dirinya. Dia justru menunjukkan wajah curiganya. “Kenalkan, saya adalah Jaya Krisna, Bu COO.” “Ah.” Barulah Winda tersenyum. “Jaya, apa kabar?” Winda menjabat erat tangan kanan laki-laki yang dia kenal dengan nama Jaya. Laki-laki yang sangat populer di kampus yang sempat tergila-gila dengannya. “Panggil Krisna. Kamu tau aku tidak suka dipanggil Jaya. Hanya kamu yang memanggilku begitu saat kuliah dulu.” “Aku senang menyebutnya, karena aku selalu merasa berJaya.” Krisna menggeleng tertawa. Dia lalu mengajak Winda duduk di bangku yang ada di dekat mereka berdua. Mereka berdua menyadari ada banyak mata-mata yang tertuju ke arah mereka. Tapi Winda tidak mempedulikan, dan Krisna yang tampak nyaman-nyaman saja. “Kamu lupa denganku?” “Sekarang nggak. Aku mungkin masih tersulut saja dengan kata-kata sinis Poppy barusan.” Winda menyebut nama perempuan yang tadi menyindirnya. “Membuat aku jengah dan lupa dengan orang-orang di sini, termasuk kamu.” Krisna lagi-lagi menertawakan Winda. Lalu keduanya menatap rombongan Poppy yang dikenal heboh dengan mulut sadisnya, tapi herannya selalu banyak yang mendekatinya. “Poppy, dia tidak seperti ini dulu kan?” gumam Krisna bertanya. “Iya, aneh saja. Aku terkejut dengan kata-katanya, untung saja aku terbiasa menghadapi mulut-mulut seperti itu.” Krisna lalu beralih ke Winda. “Aku turut berduka dengan perceraianmu.” Winda menertawai kata-kata Krisna yang yakin dia akan bercerai. Entah kenapa kata “cerai” menjadi kata favoritnya sekarang. “Aku justru bersuka cita, dan lihat … aku bebas bisa datang ke reuni ini.” “Jadi kapan kamu resmi menjanda?” “Tunggu saja kabarnya. Aku belum bercerai saja sudah banyak yang tau.” Krisna lagi-lagi tertawa, dan dia bertanya lagi, “Jadi kamu baru kali ini datang ke acara reuni teman-teman kuliah?” “Ya, terutama sejak aku menikah. Aku pernah datang hadir di tahun pertama dulu, hm … ramai dan menyenangkan, tapi … aku nggak ketemu kamu waktu itu.” “Aku pindah ke Jerman setelah tahun pertama kita selesai kuliah, dan baru tahun ini aku bisa datang, karena … mendengar kamu yang akan bercerai dan bersedia untuk datang. Aku melihat daftar nama-nama yang hadir dalam acara reuni besar ini, dan kabar kamu yang aku selalu tunggu-tunggu.” Winda tertawa menggeleng mendengar kata-kata Krisna yang mulai menggodanya. “Bukannya kamu kerja di Singapore?” “Iya, dua tahun di Jerman, lalu aku pindah ke Jurong.” Krisna menatap wajah Winda dengan seksama. “Jadi selama menikah kamu tidak pernah datang hadir di acara reuni ini?” Winda mengangguk. Krisna tertawa sinis, lanjut berkata, “Well, apa Keenan yang melarangmu untuk mendatangi acara reunian seperti ini? Dia pencemburu?” Winda berdecak dan tertawa sinis. “Dia tidak melarang, aku justru tidak datang karena ingin menjaga perasaannya, dan ternyata aku salah menilainya. Pencemburu? Hm ….” Winda meragukan Keenan yang pencemburu. Mungkin selama menikah, boleh dikatakan Winda tidak pernah berulah, memulai menjalin komunikasi secara terus menerus dengan lawan jenis misalnya, juga dia yang banyak menghabiskan kesehariannya di rumah dan sesekali di luar, seperti cafe atau restoran, janji bertemu dengan Sandra. Tentu Keenan tidak bisa mencemburuinya. Kini, dia sudah merasa bebas dan bebas berjumpa dengan siapa saja. Apakah Keenan akan cemburu melihatnya sekarang yang bebas dan tenang bisa berbincang dengan laki-laki lain? Ah, untuk apa memikirkan Keenan, Keenan saja tidak pernah mau tahu bagaimana perasaan Winda yang jelas-jelas mengetahui kesehariannya yang selalu berkomunikasi dengan Dinar. “Kamu sudah menikah?” tanya Winda tiba-tiba yang tidak ingin menyinggung mantan suaminya. Krisna tertawa kecil, “Belum. Aku sempat dijodohkan dan berkenalan, tapi perempuan itu menolak.” “Ha?” Winda terkejut, Krisna yang tampan ditolak? “Kenapa?” “Rasanya tidak mungkin kamu ditolak. Kamu … look at you.” “Kamu saja menolakku dulu.” “Aku memiliki alasan menolak.” “Apa itu?” “Kamu menyukaiku di saat yang sama sekali tidak tepat, aku sedang tidak ingin berpacaran waktu itu.” Krisna memandang kagum Winda. Meski dikenal angkuh, di matanya justru Winda perempuan berpendidikan yang memiliki keteguhan yang luar biasa. “Jadi, seandainya aku melamarmu, kamu nggak akan menolak?” “Tetap saja ada kemungkinan aku menolak, dan sekarang juga bukan waktu yang tepat.” Winda masih menyadari statusnya yang masih menjadi istri Keenan, dan belum bercerai. Krisna sudah menduga jawaban Winda. Mungkin dirinya memang bukan sosok yang diinginkan Winda. “Apa alasan perempuan itu menolakmu?” tanya Winda ingin tahu. “Dia tidak mau pindah ke Jakarta.” “Ah, aku baru ingat … kamu sebelumnya bertemu Sandra, kan? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD