His Prison

1077 Words
Rambutku kusut masai dan kini aku hanya bisa terbaring lemah di atas ranjang dengan seluruh tubuh polosku tertutup selimut. Sementara pria yang sangat ku benci setengah mati itu baru saja keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk di pinggulnya, memperlihatkan pahatan tubuh kokoh yang indah. Aku membuang muka, tak ingin melihat pemandangan yang lebih indah dari padang anggur tersebut. Emosiku masih meluap, darahku masih berdesir dan nafasku memburu. "Aku ingin pulang..." cecarku terhadapnya, tapi sepertinya ia tidak menghiraukan ucapanku. Anthonio memakai pakaiannya tanpa merasa malu dengan ketelanjangannya. "Tidak!" Balasnya ketus, aku menatap nanar ke arah punggungnya. Bisa-bisanya dia menahanku di sini. Aku beranjak dari tempat tidur sambil membawa selimut yang menutupi tubuhku, "aku bukan peliharaanmu, Anthonio!" Aku mengamuk ke arahnya, mencakar tubuhnya dengan kukuku dan ia mencoba menghentikanku. Anthonio memegangi kedua tanganku, hingga aku tak dapat berbuat apapun lagi selain menarik tubuhku dan akhirnya ia melepaskan tanganku. "Kau tinggal di sini sekarang Verone..." katanya enteng lalu meninggalkanku dan beralih ke lemarinya mengambil sepasang sepatu. "Aku bukan tawananmu." kataku sambil terisak. "Aku tidak pernah menganggapmu seperti itu." ia berbicara pelan sambil memakai sepatu botnya, merunduk melihat ke bawah seperti menyesali sesuatu. Ia berdiri dari duduknya dan menghampiriku, aku berusaha mengeratkan peganganku pada selimut yang hanya satu-satunya kain yang menutup tubuhku. "Aku mencintaimu Verone..." Deg- Entah mengapa mendengarnya berkata seperti itu membuat hatiku meleleh, ku cari kebohongan dari netra kehijauan tersebut namun tak urung ku dapatkan. Aku menatap kedua matanya secara intens, begitu pun dirinya balas menatapku. Aku menegak salivaku sendiri, mendongak menatapnya yang masih berdiri bagai patung Dewa Yunani di hadapanku. Deru nafas panasnya, tatapannya yang seolah-olah menandakan penyesalan dan rasa sakit. Aku belum mengetahui apa itu, tapi yang ku lihat hidupnya biasa saja dan terbilang sangat bahagia semenjak kepergiannya dariku. Memang sangat meninggalkan bekas luka, namun pria pandai menyembunyikan sakit hatinya. Tidak seperti wanita yang rela menangis berjam-jam hanya untuk membiarkan kenangan itu pergi. Perlahan ia mengangkat tangannya, aku hampir saja mengelak takut ia berbuat macam-macam lagi padaku. Namun usapan jemarinya yang lembut di pipiku berhasil membuatku sedikit tenang, ia menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajahku. Mengaitkannya ke belakang telinga dan kembali mengelus pipiku. Cukup lama ia melakukan itu, tapi aku hanya diam. Kebencianku masih besar kepadanya karena telah membohongiku. "Apa yang harus ku lakukan agar dapat memilikimu?" Bisiknya, kedua mata setajam elang itu tak seperti biasanya. Seolah ia sedang menahan sesuatu yang sangat dalam, seolah ia merasakan sakit yang sangat perih dan sebuah rasa penyesalan yang terpancar di sana. Hatiku terasa diremas melihatnya, melihat priaku yang dulu sangat kekar dan mempesona, namun sekarang terlihat lemah. "Kau tetap di sini Verone, kumohon jangan membantahku." katanya lalu meninggalkanku begitu saja. "Kelak kau akan tahu..." tambahnya, membuat seribu pertanyaan yang berputar di otakku. "Sampai kapan?" Tanyaku. "Sampai batas waktu yang tidak ditentukan." serunya dari kejauhan lalu menutup pintu kamarnya. Sementara diriku hanya termenung di kamar ini seorang diri, apa yang terjadi dengannya? Beberapa tahun berlalu ia masih terlihat sama namun aku tidak dapat mengartikan hatinya. Beberapa tahun berlalu aku kehilangan jati dirinya, sifatnya yang berbeda dan sesuatu dalam dirinya yang tidak aku ketahui. Anthonio menutup diri dan tidak ingin berbagi padaku, dan parahnya ia malah menahanku di sini. Sebenarnya aku sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi... ... Aku membongkar seluruh barang-barang Anthonio, mencari sesuatu yang dapat digunakan agar aku dapat keluar dari sini. Setelah membersihkan diriku, aku mengenakan kaos berwarna hitam milik Anthonio yang terlihat kebesaran untukku, dan juga mengenakan celana jeans pendek yang kutemukan dilemarinya. Mengacak seluruh brangkas yang tidak terkunci dan lemarinya, aku sempat terkejut terdapat banyak fotoku di sini. Aku tidak tahu jika ia masih menyimpan gambarku. Aku mengacak rambutku frustasi, tak kunjung menemukan sesuatu. Aku melihat ke arah luar jendela, berpikir sejenak lalu aku menarik meja nakas yang ada di sana. Brak!!! Suara pecahan kaca yang terdengar nyaring, aku menutup kedua telingaku ketika meja tersebut menghancurkan kaca besar yang ada di kamar itu dan terjatuh keluar. Aku melihat ke arah bawah setelah jendela berhasil pecah, tidak terlalu tinggi tapi dapat membuatku cidera mungkin. Segera mungkin aku merobek gorden dan mengaitkannya satu demi satu, mengikat kuat di pilar jendela dan aku memberanikan diri menuruni jendela seraya berpegangan pada gorden tersebut. Hingga kedua kakiku menyentuh tanah, aku berlari sekencang mungkin dengan bertelanjang kaki. Aku tahu aku telah gila, berlari di sekitar kebun yang luas tanpa tahu arah jalan. Tapi setidaknya aku telah berusaha, meminta pertolongan pada para pekerja dan berkata bahwa bosnya sudah gila menyekap seorang gadis di dalam rumahnya. Dan aku bersyukur pada tuhan akhirnya menemukan satu pekerja, "sir... tolong aku." jeritku. Ketika pria itu berbalik aku terkejut setengah mati. Dia pria kemarin yang berbincang dengan Anthonio. "Hey, apa yang kau lakukan di sini?" Ia bingung, tanpa banyak bicara aku lari darinya. Namun ia malah mengejarku, langkah besarnya mampu menandingiku. Ia menangkapku dan menarikku begitu saja, aku sempat berontak, namun tak ia perdulikan dan malah membopong diriku layaknya karung beras. Aku menjerit, meminta tolong dan memukul punggungnya, namun tidak berpengaruh sama sekali. Ia terus membawaku, ke dalam rumah yang suram itu lagi. "Tidak, kumohon.. aku mau pulang." rintihku, terlihat Anthonio berkacak pinggang di teras rumah. Kejadian yang hampir sama ketika aku memasuki rumah ini pertama kali, ia menungguku di teras rumahnya. Bokongku terasa ngilu, setelah pria itu membantingku begitu saja. Ia berbicara pada Anthonio, berkata bahwa aku mencoba melarikan diri. Bagaimana mungkin ia bisa tahu bahwa aku disekap? Sementara posisiku di sini hanyalah sebagai pengunjung kemarin. Ia kemudian pergi seraya menatapku tajam, kini yang tersisa hanyalah diriku dan Anthonio yang memandangku tajam. Aku tahu apa artinya itu, dan aku hanya bisa berdoa dalam hati agar ia tak menghukumku. "Kau benar-benar keras kepala Verone." ucapnya begitu tenang, namun dengan penekanan yang membuat bulu kudukku merinding. Aku masih terduduk di atas lantai, ia mencoba membawaku kembali ke dalam namun aku meronta sekuat tenaga. Menjerit kencang, tak perduli jika para pekerja itu menganggapku gila. "Kumohon Anthonio, biarkan aku pergi!" Ia tidak mengindahkan jeritanku dan terus menyeretku. Tapi kegiatannya terhenti setelah mendengar deru mobil dari kejauhan. Anthonio mendekapku sekuat tenaga, hingga aku dapat merasakan tulangku hampir remuk karena pelukannya yang sangat kuat. Mobil audi hitam itu berhenti tepat di depan rumah, terlihat Anthonio mengetatkan rahangnya seperti ia mengerti sesuatu. Mobil terbuka dan menampilkan seorang wanita cantik dengan tubuh seksi dan lipstik terang menyala dan cat kuku semerah darah menenteng tas hermes birkin dan sepatu heels di kaki jenjangnya. Aku melihatnya tidak percaya, melongo dan aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Bibirku terbuka mengucapkan sebuah nama.... Daisy....

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD