Under Your Skin

1019 Words
Aku berbaring di atas rumput belakang mansion, merasakan panas matahari yang menghangatkan tubuhku. Kacamata bertengger di hidung mancungku sementara tubuh kurusku memakai shirt longgar dengan celana jeans pendek yang mengekspos seluruh kaki jenjang hingga pahaku. Aku menyangga kepala dengan kedua tanganku yang kusilangkan di belakang kepala, menikmati hidupku yang mulai berwarna semenjak kehadiran pria itu. Anthonio.... Aku merasakan deru nafas panas di sekitar leherku, tersenyum geli ketika bulu halus di rahangnya menggelitik leherku. Aku membuka kacamataku dan mengaitkannya di kepala, aku menatapnya dengan intens. Seperti biasa, ia selalu bertelanjang d**a memamerkan d**a bidang dan lengan besarnya. Dengan gaya khas topi koboi dan celana jeans yang selalu aku sukai. Maha besar Tuhan yang menciptakan makhluk seindah ini, mata birunya yang indah, hidung mancung serta bibir tipis yang sangat seksi. Nilai tambah dengan tubuhnya yang sangat proporsional membuat kadar ketampanannya bertambah. "I don't wanna lose you." kataku tepat di depan wajahnya, ia hanya menyunggingkan senyum, ia selalu begitu jika aku menyungging perihal hubungan ini. "Well, bagaimana jika harus?" "Maka aku akan memperjuangkanmu." jawabku. "Mengapa?" "Karena aku mencintaimu." ia mendengus sambil tertawa pelan, aku mengernyitkan kening melihat reaksinya. "Kau tak percaya?" Tanyaku lalu mengikutinya duduk di atas rumput. "Bukannya aku tidak percaya, maksudku kau adalah golongan elit, dan orang-orang seperti itu dapat mengeluarkan uangnya secara cuma-cuma untuk sesuatu hal..." keningku makin berkerut mendengar penjelasan Anthonio. "Mengapa kau bisa berbicara seperti itu?" Tanyaku terus mendekat kewajahnya. "Karena aku takut kehilanganmu..." "...ketika kau dihadapkan dengan dua pilihan maka mana yang akan kau pilih Verone?" Tanyanya yang akhirnya menatapku setelah sedari tadi membuang muka. Aku melihat keseriusan di mata indah memabukan itu, mengapa pertanyaannya jadi sesulit ini? Bukankah kita telah menjalin hubungan cukup lama dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan? "Daisy tidak akan tahu, Anthonio..." "Mana yang akan kau pilih Verone!?" Tanyanya menuntut. Aku hanya bisa terdiam seribu bahasa, tidak tahu jawaban mana yang harus ku pilih. Aku tidak pernah memilih sebelumnya, karena di hidupku hanya ada Daisy. Dan aku tidak pernah menjawab pertanyaan yang sulit seperti ini. "Bisakah kita membahas yang lain?" Ujarku mengalihkan pembicaraan, ada apa dengan Anthonio? Ia tak pernah berbicara seserius ini sebelumnya, tiba-tiba ia berbicara seperti itu apakah ia bersungguh-sungguh dengan hubungan ini? Aku meracau dalam hati.. "Jika aku meminta sesuatu hal Verone, apa kau akan bersedia?" Suara berat itu terdengar serius, itu pertanda suatu hal dan aku mulai takut mendengar pertanyaan selanjutnya. "A-apa itu?" Kataku tergagap, padahal aku sendiri tidak ingin bertanya balik. "Apa kau mau menikah denganku kelak?" Jantungku terasa berenti berdetak, menatap netra birunya. Terlihat seperti ada kesedihan di bola matanya, aku tidak mengerti apa itu. Tapi sepertinya ia sedang menyimpan sesuatu atau mungkin perasaannya sedang tidak enak untuk saat ini, ada sesuatu yang lebih besar menunggu kami di kemudian hari, dan aku takut hal buruk akan menimpa kami. Tapi hal yang paling aku takutkan adalah ketika ketika kehilangan dirinya... "Pada akhirnya kau tidak dapat menjawabnya bukan?" Tanyanya meremehkanku, lalu beranjak pergi. Aku menarik lengannya namun karena keringat yang licin akhirnya aku tidak dapat mencegahnya pergi, hatiku terasa seperti teriris. Katakanlah diriku labil, aku begitu menginginkannya namun aku tidak dapat menjawab pertanyaan yang dinantikan oleh seluruh wanita di muka bumi. Bisakah aku meninggalkan Daisy? Aku melihatnya berjalan menuju balkon, bangunan itu hampir rampung dan itu artinya ia akan segera menyelesaikan pekerjaannya. Atau lebih tepatnya akan pergi dari sini, sebab itukah Anthonio bertanya? Mengapa aku baru menyadarinya? Aku mencintaimu Anthonio, hanya saja pertanyaanmu membuatku harus memilih... Semakin menjauh, ia semakin mengecil dan menghilang di kerumunan para pekerja itu. Mengapa saat aku sudah bahagia dengan hidupku, kini aku harus mengemban keputusan yang sangat berat. Aku menghembuskan nafas kasar, kembali menuju dalam mansion dengan berjalan lunglai. Kudengar deru mesin mobil dari luar, pertanda Daisy baru saja pulang dari acara berbelanjanya. "Hey litte sisy... lihatlah aku membawakanmu sebuah gaun..." "...oh, dan juga sepatu dan jaket seperti kesukaanmu." ujarnya ceria, ia mengeluarkan barang-barang yang baru saja ia beli dan sebenarnya tidak perlu dibeli karena aku masih memiliki banyak. Aku cukup terharu Daisy melakukan itu, jarang ia berbaik hati padaku seperti ini. Aku jadi tidak tega meninggalkannya seorang diri. "Ah, dan juga ini... thanks Gerald!" "Yes ma'am." aku melirik sekilas wajah Gerald, tepatnya si supir pribadi yang bertugas menjagaku. Aku menyipitkan kedua mata, pandangannya ke arah Daisy sangat berbeda. Seolah ia adalah seekor singa yang ingin menerkam Daisy tanpa Daisy menyadarinya. "Kau membeli semua ini, untuk apa?" Tanyaku ketika ia tengah sibuk memilih barang-barang miliknya dan milikku. "Kau bercanda? Aku membelinya dengan diskon 50%, jika aku tidak membelinya maka aku akan rugi, dan jika aku membelinya nanti maka aku akan rugi dua kali, harusnya kau mengerti bisnis little sisy...." Bla... bla... bla... Aku memutar kedua bola mataku bosan, Daisy tetaplah Daisy. Tidak akan pernah berubah. "Mau aku bantu?" Tawarku, ia mengangguk dan aku langsung bergegas mengangkat seluruh barang-barang itu ke dalam kamar Daisy. Dengan kedua tangan penuh dengan belanjaan, kami berdua memasuki kamar Daisy yang telah lama tak pernah aku masuki ini. Kamar dengan nuansa sangat kewanitaan ini begitu... pink... Seluruhnya berwarna merah jambu, mulai dari ranjang, sprei, gorden hingga meja rias dan warna catnya. Terakhir kali aku masuk ke dalam sini adalah setahun yang lalu, itu pun aku hanya mengambilkan berkas kantornya yang tertinggal di kamarnya. "Ini, barang-barangmu!" ujarnya seraya menyerahkan beberapa kantung belanjaan yang dengan terpaksa harus ku ambil, jika tidak ia akan mengamuk pastinya. "Terimakasih, tapi kau tidak harus melakukannya." "Well, sepertinya kau harus mengalami perubahan Verone. Pakailah pakaian yang aku belikan untukmu, karena sepertinya kau memiliki pacar sekarang." kata Daisy membuat wajahku memerah, dari mana ia mengetahuinya, ia pasti akan murka jika aku berhubungan dengan pria dengan strata kalangan bawah. "Tenanglah Verone, aku hanya bercanda." ujarnya sambil tertawa, aku pun ikut tertawa meski terasa kikuk. "Hahaha... lelucon yang bagus Daisy." balasku. "Uh, baiklah aku harus segera pergi dan melanjutkan tugas kuliahku." kataku bohong lalu meninggalkan kamar Daisy dan menutup rapat kamarnya. "Huh..." aku menghela nafas kasar seraya memegangi dadaku di depan kamar Daisy, aku pikir ia mengetahuinya. Aku tertawa sumbang. Namun seketika senyumku menghilang ketika mendapati Anthonio menuju kemari. "Anthonio! Apa yang kau lakukan di sini?" Tanyaku bingung, karena tak seperti biasanya Anthonio mengunjungiku di siang hari seperti ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD