Good looking Man

1077 Words
"Verone, apa kau mempunyai kekasih?" Seketika aku menyemburkan minuman yang ada di dalam mulutku mendengar pertanyaan Rose barusan, apa wanita itu bercanda? Aku bahkan tidak pernah dekat dengan pria mana pun. Rose buru-buru membersihkan jus jeruk yang aku semburkan barusan di meja, sisanya menetes dari bibir dan turun ke leher dan dadaku. Aku mencari tisu untuk membersihkannya, namun tak menemuinya hingga akhirnya aku menggunakan jemariku mengelap d**a dan leherku. Tapi beberapa detik kemudian, aku merasa seperti diawasi. "Aku hanya bertanya dan reaksimu berlebihan miss yeager.." canda Rose yang tak kutanggapi karena memperhatikan taman belakang, daun pohon dan bunga bergerak di sana, tapi tidak ada angin di siang bolong seperti ini. "Rose, tidakkah kau melihat sesuatu?" Tanyaku pada Rose, karena hanya ada kami berdua di ruang makan yang mengarah langsung ke dapur. Rose mengikuti pandanganku tanpa berkomentar, namun sepertinya ia tidak sepeka diriku. Atau mungkin hanya perasaanku saja... "Kau terlalu berperasaan Verone, mungkin sebaiknya aku menyingkirkan bacaan Novelmu." katanya, Rose memang wanita tua yang sering membuatku kesal, layaknya mendiang ibuku, aku sudah menganggapnya ibuku sendiri. "Aku akan menyembunyikannya sebelum kau melakukannya, Rose." balasku, ia terkikik geli, namun pandanganku masih tertuju pada taman belakang yang masih membuatku penasaran hingga detik ini. "Well, aku lihat kau suka menguntit beberapa pekerja itu?" Godanya, wajahku langsung bersemu merah. Apa ia mengetahuinya? Oh, aku merasa malu... "Tidak!" Bohongku. "Benarkah? Aku lihat bos mereka sangat tampan, masih tergolong muda dan memiliki otot yang keras, bukan begitu Verone?" Godanya lagi, aku menaikan kedua bola mataku, mengapa Rose bisa mengetahui kalau aku begitu mengagumi pria dengan d**a bidang itu. "Aku tidak perduli." ujarku bohong melanjutkan meminum jusku. "Namanya adalah Anthonio, dia berasal dari Las Vegas dan dia masih single." jelas Rose, jujur saja mendengar informasi tentangnya membuat hatiku senang. Dan tentu saja aku telah mengetahui namanya, nama yang cukup menggelitik hatiku, Anthonio... terdengar sangat menarik. "Oh..." bibirku terbuka membentuk huruf O, dan terdengar helaan nafas dari Rose. "Akui saja kau mengaguminya." "What? Aku? Oh, tentu tidak Rose. Banyak lelaki di kampusku yang mengejarku, tapi dia bukan tipeku." kataku sombong. "Setahuku tidak ada satu lelaki pun yang pernah kemari mengunjungimu." Shit... Itu cukup membuatku kesal. "Yang ada hanya para pria Daisy yang menginap di sini.." sambung Rose yang sedang mencuci piring. Aku mengerucutkan bibirku, Daisy dan Daisy... mengapa wanita itu sangat populer di kalangan pria? "Aku sudah selesai." kataku seraya membanting gelas ke atas meja dan meninggalkan ruang makan itu, dari kejauhan aku masih dapat mendengar suara tertawa Rose. Wanita itu benar-benar mengerti caranya membuatku kesal. Aku menuju pintu belakang, berjalan ke arah taman guna menghilangkan gerutuku pada Rose. Ini masih hari libur, dan Daisy pergi entah kemana. Mungkin saja dia sedang berlibur dengan teman-teman sosialitanya, atau mungkin menghabiskan waktu di ranjang dengan para prianya yang tidak jelas itu. Entah mengapa Daisy tidak pernah serius dengan suatu hubungan hingga di usianya yang berkepala tiga. Krek... Sekilas aku mendengar suara ranting pohon, aku menuju ke sumber suara dengan penasaran. Rasa penasaran ini tak pernah hilang semenjak malam itu, aku begitu yakin ada seseorang di sekitar sini yang mungkin sering keluar masuk rumah. Seseorang mungkin memiliki niat jahat sehingga menyusup ke dalam rumah milik kami. Aku mengitari taman yang penuh dengan tanaman bunga dan pohon, menyingkirikan beberapa dahan yang menghalangi jalanku. Beberapa kali berkeliling, beberapa menit kemudian aku tertunduk lesu. Tidak ada siapapun disini... Yeah, mungkin Rose benar. Itu hanya perasaanku saja. Aku menaikan bahuku dan berjalan mengitari sisi rumah menuju halaman depan, bermain di dekat kolam ikan yang ada di sana mungkin akan sedikit membuat diriku yang suka berkhayal ini menjadi gadis yang normal. Aku berjalan dengan cepat dengan wajah masam sambil mengerutu. Brak!!! Aku terjatuh ke atas tanah seketika menabrak sesuatu yang besar, bokongku terasa sakit. Seperti aku baru saja menabrak tembok yang kokoh. Namun tiba-tiba saja aku melihat sebuah tangan besar dengan urat-urat yang tercetak jelas di sana terulur ke arahku. Aku mendongakan kepalaku, kedua mataku berkedip beberapa kali. Apa aku tidak salah lihat? "Hey miss, are you okay?" Tanyanya dengan senyuman mempesonanya, membuat hatiku terasa meleleh karenanya. "Anthonio?" Bisikku pelan. Aku menegak salivaku sendiri, dengan gugup aku menyentuh tangan besar itu. Mungkin saat ini jemariku terasa dingin dan bergetar, tapi aku berusaha setenang mungkin di hadapannya. Telapak tangannya lebih besar dari tanganku, terasa keras dan sangat hangat. Aku menggigit bibir bawahku sendiri, ini pertama kalinya aku menyentuh seorang lelaki, dan beruntungnya aku dia adalah pria yang sangat aku kagumi. Dia membantuku berdiri, membersihkan celana jeansku dari tanah yang kotor. Jujur saja, aku ingin berteriak saat ini juga.... "Maafkan aku, aku tidak melihatmu miss yeager... aku sedang terburu-buru." katanya menatapku dengan intens, aku tidak tahu apa artinya itu. "Just Verone, please jangan terlalu formal." sahutku gugup. "Well, Verone... kau mau kemana?" Aku menatap kedua mata seindah langit itu, biru dan bersinar, membuat hatiku terpaku ingin terus melihatnya. Suara bariton yang terdengar sangat besar namun intonasinya sangat halus dan lembut serta sopan, membuat hati wanita mana pun dapat meleleh mendengarnya. "A...aku... ah, aku mau kedepan." jawabku tergagap, sial Verone, mengapa di saat seperti ini kau tidak dapat mengendalikan dirimu... Ia mengernyitkan kening, mungkin bingung dengan cara bahasaku yang canggung. "Ke taman..." jelasku, ia akhirnya mengangguk mengerti. "Mau ku temani?" Tawarnya. Oh, jantung... berhentilah berdegub kencang, aku malu jika ia mendengarnya... Aku mengangguk meng-iyakan, seakan terhipnotis dengan segala pesonanya. Aku merangkul lengan besarnya yang ia tawarkan kepadaku, dan sialnya otot-otot itu begitu keras. Pada akhirnya, kulitku bersentuhan dengan kulitnya, dan itu semua membuat wajahku bersemu, aku berani bertaruh pasti wajahku kini telah memerah. "Apa kakakmu tidak akan marah jika kau berjalan dengan seorang pria seperti ini." Ya, tentu saja. Dan dia pasti akan murka dan membunuhku. Jawabku dalam hati. "Kakakku adalah tipe wanita yang protektif." jawabku, kami masih berjalan bergandengan menelusuri halaman besar yang ada di mansion ini. "Hm, dia sangat menyayangimu." balas Anthonio, dan entah mengapa perkataannya barusan dapat membuat hatiku menghangat. Daisy menyayangiku, aku tak pernah tahu karena ia tak pernah mengatakannya padaku. Ia hanya bisa mengomeliku dan menilai semua pekerjaanku. "Entahlah... aku seperti terkurung dalam rumah besar ini." kataku, seakan bulir bening akan membasahi wajahku ketika aku mengeluarkan kalimat itu. "Mungkin kau bisa bergabung dengan kami ketika malam, jika kau mau..." tawarnya lagi, aku tertawa renyah. Daisy akan mengamuk jika itu terjadi. "Mungkin tidak, terimakasih. Aku tidak terbiasa berada di khalayak ramai." jawabku. "Baiklah, kau bisa mengunjungiku saja." katanya dengan senyum manisnya, sungguh menggetarkan jiwa. Kami berhenti di tengah jalan, saling bertatapan dan aku seperti terhipnotis warna kebiruan matanya. "Akan kupikirkan nanti." jawabku masih menatapnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD