BAB 7 Bayang-Bayang

1429 Words
Rasa penasaran menghantui pikiran Hannah. Selama semalaman, dia tidak bisa tidur dengan nyenyak. "Apa yang sebenarnya ingin Anneth bicarakan padaku tadi?" pikir Hannah dengan bimbang. Sebelum ia memulai tidurnya tadi, Anneth sempat mendatangi dirinya melalui jendela yang baru saja diperbaiki penguncinya. Anneth duduk di atas dahan pohon yang bersisian dengan jendela kamar Hannah, lalu gadis vampir itu mengetuk kaca jendela kamar Hannah. Sempat bingung dan ketakutan, namun saat itu Hannah membuka jendelanya karena mendengar suara Anneth dari luar. "Aku harus bicara denganmu, Hannah! Buka jendelanya." Hanya kata itu yang sempat Hannah dengar dari Anneth. Setelah ia benar-benar membuka jendelanya, ia hanya melihat Anneth sekilas. Lalu setelah itu sang gadis vampir dengan rambut pendek itu pergi. Berulang kali terbangun dengan perasaan tak tenang, dari nada suara Anneth, Hannah bisa menyimpulkan jika apa yang hendak dikatakan oleh teman vampirnya itu merupakan sesuatu yang penting. Tapi mengapa Anneth langsung pergi ketika Hannah membuka jendelanya. Bahkan Anneth belum sempat berbicara dengannya. Hannah kembali berusaha menutup matanya, namun ia merasakan udara semakin dingin memeluk dirinya. Tap tap tap Gadis musim gugur itu memeriksa penghangat ruangan di kamarnya. "Apa ini tidak berfungsi?" Dia bertanya-tanya sambil meniup-niupkan embusan napas ke arah telapak tangannya. Sreet Sekelebat Hannah melihat bayangan yang melewati tirainya. "Apa itu?" ujar Hannah dipenuhi rasa penasaran dalam pikirannya. Itu bukan kelelawar, burung atau hewan malam lainnya. Bayangan itu terlalu besar untuk disamakan dengan para hewan nocturnal tersebut. "Anneth?" Hannah menerka-nerka siapa yang berdiri di samping pohonnya. Sambil memegang erat jaket yang ia kenakan, Hannah berjalan ke arah jendela. Mencoba menyingkap tirai untuk tahu ada apa di baliknya. Tidak dipungkiri ada rasa takut yang cukup besar dalam diri Hannah saat hendak membuka tirai itu. Namun, ia harus mengalahkan rasa takutnya untuk bisa melihat ada apa di luar kamarnya. Grep Tangan itu meraih ujung tirai, Hannah menyiapkan diri untuk mulai membuka tirai tersebut. Sreet Brak Belum sempat Hannah membuka tirainya, ia mendengar suara sesuatu yang bergerak dengan kasar dari pohon di samping jendela kamarnya. Bayangan itu pergi. Hannah pun terburu-buru membuka tirainya. Tidak ada jejak sama sekali. Hanya daun yang berayun karena embusan angin. "Anneth kau kah itu?" Hannah mencoba berbicara sendiri. Ia belum membuka jendelanya, hanya sebagian tirai yang memperlihatkan pemandangan di luar kamar. Suasana di kamar Hannah menjadi kembali hangat. Udara dingin berhenti berembus di kamarnya. Tap tap tap Gadis itu kembali menghampiri penghangat ruangannya. "Sekarang kau kembali berfungsi dengan normal. Apa ada yang salah denganmu tadi?" Ia mempertanyakan performa alat penghangat ruangan pada diri sendiri. Hannah pun menghempaskan tubuhnya di atas ranjangnya dan berusaha untuk kembali menutupkan mata. Ia mencoba mengabaikan, namun ia terus teringat suara Anneth yang memanggilnya. "Apa Anneth memanggilku karena ingin membicarakan sesuatu tentang Max?" Hannah mengambil ponselnya dan berusaha menghubungi Anneth. Panggilannya tidak tersambung. Terus saja mengeluarkan bunyi 'tuut' berulang kali tanpa ada respon dari sana. "Kenapa Anneth tak bisa dihubungi?" Hannah menekan kembali kontak Anneth dan berusaha menghubunginya. Panggilan yang kedua, tak ada jawaban. Begitu pun dengan panggilan ketiga, keempat dan selanjutnya. Hannah pun memutuskan untuk meninggalkan pesan. [Anneth, aku sempat mendengar suaramu di sekitar rumahku tadi. Apa yang ingin kau bicarakan padaku?] Hannah menyimpan kembali ponselnya setelah ia mengirimkan pesan tersebut. Bayangan ia bersama dengan Max saat di mobil terulang kembali. Ia tak mengerti mengapa Max menolak ciuman darinya? Padahal berdasarkan cerita Anneth, para vampir membutuhkan ciuman untuk mengisi energinya. "Apa karena tadi kejadiannya masih siang?" Hannah bertanya-tanya pada dirinya sendiri. "Apa lain kali aku harus melakukannya di malam hari?" pikir Hannah yang membuat pipinya memanas. "Ah, Hannah. Kau terkesan menginginkan berciuman dengannya." Sambil memukuli kepalanya sendiri, Hannah menyesali pikirannya. * "Apa yang kau pikirkan?" cegah Max pada Anneth. "Lihat? Kau sudah tidak bisa lagi membaca pikiranku, bahkan kau perlu bertanya untuk mengetahuinya? Max, jangan terlalu kaku pada dirimu, aku hanya ingin membantumu." Anneth berusaha membuat Max mengerti. Menurut Anneth, mencium Hannah tidak akan merugikan sama sekali untuk Max. Max tidak akan menyerap energi Hannah sampai gadis itu meninggal, seperti jika Max harus mencium sesama vampir, tapi kenapa Max sangat tidak ingin mencium Hannah. Anneth memutar bola mata melihat lelaki vampir di hadapannya yang tak bisa berkata apa-apa. "Max, please! Just kiss her, so you and she will be safe," saran Anneth hanya membuat Max merasa lebih sebal. "Kau tidak tau apa-apa, Aneth." Max menyingkirkan Anneth dari hadapannya. "Kalau begitu beri tahu aku!" Anneth berlari mengejar Max dan tiba-tiba berada di depan gadis itu. Max berusaha untuk tetap tenang. Dia menghela napas panjang dan kemudian berusaha menghindari Anneth. "Max!" Anneth lagi-lagi menghalangi Max. "Dengar aku! Kondisimu sudah sangat parah, Max. Aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolongmu." Anneth tiba-tiba menangis di depan pria yang ia sukai sejak kecil itu. Ia seakan menyesal telah dilahirkan sebagai vampir, sehingga tak ada yang bisa ia lakukan untuk menolong Max. Max bisa mengerti kekhawatiran Hannah. Ia menatap mata gadis itu yang mulai meluruhkan airmata. Perlahan, didekapnya Anneth untuk masuk ke dalam pelukannya. Ia memeluk sahabatnya dan mengusap kepala Anneth. "Kau tidak perlu ikut campur, Anneth. Ini bukan urusanmu." Max berkata seraya dagunya menempel pada pucuk kepala sahabat perempuannya itu. Anneth melepaskan pelukan Max. Kepalanya mendongak dan ia melihat ke arah wajah Max yang rupawan namun begitu pucat. "Max, aku akan melepaskan barrier untuk Hannah jika kau tak mau mengikuti keinginanku." Anneth mengancam. Semenjak kejadian Edmund membawa Hannah di malam gerhana. Max menyadari, jika barrier yang ia pasang di sekitar Hannah melemah, sehingga ada vampir lain yang dapat mengendus bau dari hawa murni milik Hannah. Max pun meminta bantuan pada sahabatnya, Anneth, untuk membantunya memasangi barrier di sekitar Hannah. Begitulah mengapa, Anneth merasa jika dirinya berhak ikut campur pada kejadian ini. "Begitu ...?" tanya Max dengan manik yang berubah menghitam. Anneth mundur dari posisinya. Meski Max telah mulai kehilangan sebagian besar kekuatannya, namun bagaimanapun juga jika dalam keadaan mengeluarkan energi seperti ini, tenaga Max masih lebih besar dibanding Anneth. "Max kau mau apa?" Suara Anneth bergetar ketakutan. "Lepas barriermu pada Hannah, tak apa. Aku akan pasang barrier sendiri untuknya." Di tengah dinginnya gunung Rainier dan malam yang gelap, Max berbalik meninggalkan Anneth. Ia memutuskan untuk kembali ke tempat Hannah dan memastikan gadis itu tetap aman. "Max, kembali Max!" Teriakan Anneth tak ada yang ia gubris. Meski ia telah menggertak Max sedemikian rupa, namun Max sama sekali tidak mengindahkan peringatannya. Anneth tetap diam di tempat, sambil berkonsentrasi untuk melepas sebagian barrier yang ia pasang pada Hannah. Hanya sebagian, tidak semuanya. "Apa yang membuat sangat ingin melindungi Hannah? Apa karena kau sangat mencintainya?" Deg Pertanyaan itu sukses membuat Max berhenti dari langkah besarnya. Semakin larut pada malam, semakin kencang angin bertiup. Keduanya tak membutuhkan penghangat untuk mencegah hawa dingin membekukan darah mereka. Rambut pendek Anneth berkibar ke utara sesuai dengan arah angin bertiup. Gadis itu nampak semakin pucat dengan manik mata yang juga berubah menjadi hitam. Ia sedang berusaha melepas sebagian barrier yang ia pasang untuk Hannah. “Lepaskan saja semuanya, aku akan berada di sana untuk melindunginya.” Anneth semakin putus asa, kenapa Max bersikukuh tidak mau mencium Hannah. Ia merasa tak ingin kehilangan pria vampir yang ia cintai dengan cara yang seperti ini. Tangan Anneth mengepal dengan mata yang terpejam, angin masih berembus kencang ke arahnya. Namun ia tegar dan tak roboh oleh kencangnya angin. Kelopak matanya masih menghitam dengan kibaran rambut pendeknya yang bergoyang-goyang bagai gelombang transversal. Anneth merasakan keberadaan Max semakin menjauh, ia yakin pria yang dicintainya itu kini tengah pergi ke tempat Hannah. Hampir saja Anneth melepaskan semua barrier itu, namun tiba-tiba kelopak matanya kembali membiru. Tubuhnya melemas dan ia pun ambruk bersimpuh di atas tanah seraya menangis dengan kencang. “Jangan pernah mengorbankan diri lagi, Max.” Anneth merintih dalam tangisnya. Ia tak paham kenapa Max selalu ingin melindungi Hannah semenjak Max mengenal gadis berhawa murni itu. Bahkan Max rela mengorbankan energinya yang semakin menipis itu demi menolong seorang Hannah. Kini ia memilih kembali dalam kabin miliknya daripada rumah orangtuanya. Kabin milik Anneth berada di pinggiran Southland village, agak jauh dari rumah Natalie dan Lucas. Anneth kembali dengan keputus asaan. Seperti orang bodoh, ia berusaha menyelematkan orang lain yang tidak ingin diselamatkan. Begitu dalam pikir Anneth. * Sambil mengamati gadis berhawa murni yang sedang terlelap tidur, Max menungguinya di luar kamar. Dia berusaha memasang barrier jarak dekat untuk keamanan Hannah. Entah mengapa, ia begitu takut jika ada vampir lain yang akan memanfaatkan kemurnian Hannah. Max juga memeriksa barrier Anneth yang tersisa. Ternyata gadis yang menjadi kawannya itu tidak melepas semua barrier-nya untuk Hannah. Ia paham kekhawatiran Anneth sebagai seorang teman, namun Anneth pasti tidak mengerti jika Hannah juga akan berubah menjadi vampir jika menyerahkan kekuatan hawa murni padanya. Sekali lagi, Max tidak ingin Hannah menjadi seperti … ibunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD