"Nah gini dong, yang rajin ngetiknya bukan malesan terus dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal." kuputar bola mataku balas, kupilih menikmati lemon tea yang tinggal setengah.
"Tapi engga terlalu jahat untuk perempuannya? Dia ini udah berkorban banget masa cuman di modalin terus bertahan."
"Ayolah Mba. Itukan cuma n****+ kenapa harus memikirkan pake logika segala? Bukannya Bagus kalau konfliknya gitu? Banyak yang gregetan. Mau berhenti baca tapi nanggung, nantinya malah ketinggalan alur. Iyakan? Lagian aku yakin banget, diluar sana ada orang yang mengalami hal seperti itu."
"Pastinya bukan kamu kan ya,"
Tidak kujawab lagi, dan Mba Jena kembali meneliti hasil ketikan bab 3-ku semalam. Biasanya orang bahas ginian di tempat tenang dan jauh dari keramaian tetapi Mba Jena malah sebaliknya, lebih suka keramaian.
"Jahat ihh! Mba engga suka sama karakter cowonya. Masa meremehkan perempuan banget, ganti pemeran aja deh."
Tidak kutanggapi.
"Dibagian ini juga, udah tau engga bisa lepasin perempuan itu tapi masih main perempuan, jadi cowok kok menyebalkan banget. Si perempuan juga, udah tau dimainin terus masih aja tahan."
Aku bersenandung kecil, memainkan ponsel ditemani omelan dan hardikan Mba Jena pada karakter yang aku buat, padahal seharusnya Mba Jena mengoreksi typonya, kesalahan hurufnya dan hal sebagainya bukan malah memprotes tokohnya. Kurang kerjaan.
"Putri cantiknya mana Mba? Kok engga dibawa?" tanyaku memecah keheningan, walaupun di samping kanan kiri kami rame tapi tetap aja beda, kan mereka bicara dengan temannya bukan sama aku apalagi Mba Jena.
"Kamu coba cek hari deh, kamu kelamaan semedi dalam kamar makanya hari aja lupa dicek."
Ku ikuti anjuran Mba Jena, membuka tanggal yang ada diponselku. Aku meringis pelan mengetahui kalau hari ini adalah hari sabtu dan sekarang jam 9 lewat. Pastinya anaknya Mba Jena sekolah dong ya, bukan keluyuran kesana kemari.
"Dek, kamu itu harus sesekali memperhatikan tanggal bukan main sama huruf abjad terus."
"Kalau Mba minta gitu, aku mah ayo aja."
"Dihh, Itumah kamu mau istirahat aja bukan malah berhenti jadi penulis. Kurangnya apa sih? Kamu kan suka mengkhayal? Kamu punya banyak alur didalam otak kamu, kalau engga di salurkan dalam buku terus mau kamu apakan? Ditumpuk terus?"
Aku menggumam tak jelas, malas berdebat panjang dengan Mba Jena. Iyasih kata sebagian orang menjadi penulis itu gampang, tinggal menulis dan slesai.
Tapi engga segampang itu, mikirin alur tetap aman adalah sumber kepusingan. Kalau aku tidak mencatatnya di kertas, aku terkadang buntu, jadinya malas nulis. Jadinya lagi harus mendengar omelan Mba Jena selama seharian penuh karena mageranku kumat.
"Ada beberapa kata yang Mba ganti, kamu tinggal satuin ini dengan bab yang lainnya. Jangan kasi spoiler apapun ke pembaca, kamu harus menyelesaikan minimal sampe bab 10 keatas, terus kita upload 1 bab di website kamu. Penerbit dari kemarin minta n****+ baru,"
"Mereka memangnya engga takut rugi, Mba? Percaya diri banget mau menerima novelku padahal belum pernah di publish dimanapun. Gimana kalau engga ada yang mau beli?"
Mba Jena mengibaskan tangannya, "itusih urusan mereka, tugas kita hanya memberikan apa yang mereka minta. Lainnya udah oke, saran Mba kalau kamu ngetik perhatiin typo sama penggambaran suasananya. Beberapa suasana bacaannya kaku, Mba engga terlalu masuk sama suasananya."
Kuanggukan kepalaku beberapa kali sebagai tanda mengerti, semalam kan memang aku ngetiknya buru-buru banget jadinya aku kesannya bingung pada beberapa suasana.
"Dek, kamu terlalu banyak menggunakan kata 'jadi' dan 'setelah'. Padahal bisa pake kata yang lain untuk menggambarkan suasana," kepalaku mengangguk sekali lagi, Mba Jena mengangguk berarti rapat santai kami sudah selesai.
"Kita ketemunya hari jum'at nanti, soalnya besok Mba harus temenin suami ke suatu tempat." kepalaku mengangguk lagi,
Laptopku ia kembalikan, aku menyimpan hasil revisian Mba Jena dan mematikan laptop. Memasukkannya kedalam tas laptop yang sengaja kubawa kemanapun aku pergi, perjuanganku untuk menertibkan buku masih lama.
"Terus, karya kamu yang katanya engga kamu lanjutkan lagi itu gimana? Ngambang?"
"Malas Mba, ideku udah buntu. Lagian cerita itu aku buat untuk mengisi kekosongan aja, itukan baru 30'an bab, bingung mau aku bawa kemana endingnya. Mau sad ending tapikan aku pecinta happy ending,"
"Simpan aja dulu, siapa tau kamu dapat keajaiban."
Aku tertawa kecil mendengar apa yang Mba Jena katakan.
"Anin!" senyumku memudar mendengar panggilan itu.
"Alga! Sudah lama kita tidak ketemu."
Datangnya tidak kusambut karena aku memang tidak menginginkan kedatangannya, kubiarkan Alga berbicara dengan Mba Jena.
"Nin, pesanku kenapa engga kamu balas? Padahal aku hanya bertanya kamu dimana, niatnya pengen bawain kamu makanan tadi tapi Mba Jena ngasi kabar katanya kalian disini. Untung aku dan tim pemotretan daerah sini."
Bodoamat.
"Kalian masih lama?"
"Udah selesai, Mba juga sudah mau otewe pulang biasalah ibu-ibu rumah tangga. Mba duluan ya, Dek. Kamu jangan dingin banget sama cowok nanti nyesel pas Alga pergi." unutk perkataannya yang terakhir, Mba Jena sengaja membisikkan padaku dan dia berlalu pergi.
"Mau kuantar pulang?"
"Belum, masih pengen disini."
"Aku beliin kamu makanan dulu deh, biar engga bosan."
Kubiarkan Alga pergi, daerah sini ramai juga padahal tempatnya tidak begitu cantik. Hanya memandang jalanan yang begitu ramai dibawah sana dan rumah-rumah padat yang terliat sangat sesak.
Aku merindukan Pantai dengan suara ombaknya bukan cerita-cerita bualan disekitarku, harusnya tadi langsung ku iyakan saat Alga mau pulang. Ku lihat sekeliling, kuharap Alga segera datang.
"Lama ya?"
"Rambutnya engga diikat?" tanyaku balik dan itu membuatnya tertawa kecil, Alga mengeluarkan Karet tipis dan mengikat rambutnya asal.
"Tumben kamu perhatiin semuanya, biasanya mau natap aku aja engga mau. Mulai tertarik sama aku ya? Berarti aku harus berpenampilan beda supaya kamu perhatiin aku."
Ku gelengkan kepala, orang gila.
"Mama engga menemui kamu beberapa hari ini kan? Aku engga mau mama malah merusak mood kamu karena pembicaraan dia yang tidak penting. Kalau mama datang nemuin kamu, mending jangan dipedulikan. Kamu pergi aja atau anggap mama aku engga ada."
"Bawel." ketusku, Alga tertawa lagi dan membuka kentongan yang tadinya ia bawa.
"n****+ kamu selanjutnya gimana? Papaku tertarik dengan n****+ kamu yang di platform, katanya pengen jadiin next projectnya sama kamu. Tapi kata papa kamu engga ada niat lanjutin, padahal alurnya Bagus."
Kutopang dagu, "males, alurnya sudah engga jelas. Lagian itu cerita lama, biarin ajalah kayak gitu."
Aku berpikir sejenak, "aku lagi buat n****+ terbaru, tentang perempuan yang mau aja diduain berkali-kali demi uang. Kalau n****+ yang kamu maksud sih itu tentang perempuan lugu yang mau aja dimanfaatin sama pacarnya, capek jadiin dia polos terus. Jadinya aku mau fokus ke n****+ yang sekarang, lupakan yang lama."
"Pasti banyak pembaca yang kecewa,"
"Ya kita engga bisa paksakan keadaan dong, Al. Penulis engga selamanya konsisten pada satu cerita, butuh waktu panjang untuk mengendingkan satu cerita. Asal tulis malah kesannya buru-buru banget, aku pengen dari segala sisi semuanya dapet bukan sekedar lanjut aja."
"Aku engga ngerti."
"Aku pengennya tiap ceritaku punya pengalaman tersendiri untuk pembaca, udahlah fotografer kayak kamu mana paham dunia kepenulisan."
Entah sudah keberapa kali Alga tertawa, sayangnya aku tidak bisa merasakan debaran yang selalu perempuan puja-puji, Aku tidak bisa tersipu malu setiap kali Alga ataupun orang lainnya mengatakan aku cantik, walaupun sebenarnya aku kangen merasakan itu semua.
"Hari ini jadwalnya kemana?"
"Pantai." jawabku senang, membayangkan ombak membentur kerang sudah membuatku bahagia apalagi melihatnya langsung.
"Yaudah, aku antar kesana. Aku harus lanjut foto-foto."
Kami berdua berdiri, kantongan yang tadinya sempat Alga buka kembali ia tutup dan menentangnya. Pasti orang sekitar merasa aneh melihat orang sekelas Alga malah menentang kresek demi perempuan biasa sepertiku.
Tentulah aku tidak pernah merasa cantik.
"Atau kamu ikut aku aja ke tempat foto?"
"Engga mau, aku pengen ke pantai."
"Baiklah Tuan Putri, pengawalmu ini akan mengantarmu ke pantai sesuai dengan keinginanmu."
Bukannya tersanjung Aku menatapnya aneh, berjalan cepat kedepan meninggalkan Alga yang tertawa terbahak-bahak di belakang sana. Orang-orang pasti mengira aku sedang berjalan dengan orang gila.
"Kapan aku harus menemui Anin yang tersipu malu saat aku berusaha membuatnya bahagia?"
"Mimpimu!"
Aku berjalan lebih dulu lagi, malas juga berurusan dengan Alga dalam mode sperti ini. Untuk apasih punya pasangan, punya partner gitu. Lebih baik sendiri, bisa bebas kemanapun yang kita mau tanpa harus izin dululah, ngabarin dululah. Pacaran memang engga ada bagus-bagusnya.
"Mkirin apa Anin? Aneh ya?" tidak kujawab.
"Anin, aku ada pertanyaan."
Aku berhenti berjalan, alasan aku tetap Mau berteman dengan Alga adalah pola pikirnya yang kadang membuatku tak habis pikir.
"Menurutmu, kenapa penulis buku selalu ingin menampilkan yang terbaik? Padahal bisa aja kan mereka tinggal menulis. Toh pembaca malah suka kalau rajin publish,"
Aku terdiam, iyasih. Bisa aja aku tinggal mengetik tanpa perlu memikirkan bagaimana respon pembaca nantinya, aku cukup menyuguhkan kisah romansa yang dominan jadinya mereka akan membuat novelku jadi trending dan akhirnya banyak pembaca.
"Hmm yang aku mau bukan pembaca, Alga. Yang aku inginkan adalah menyalurkan perang pikiranku sendiri, kalaupun ada romansanya itu semacam bonus untuk pembaca karena mereka mau menghabiskan waktunya membaca ceritaku."
"Aku lebih suka pembacanya sedikit tetapi alur ceritaku tetapi pada porosnya, semuanya sesuai dengan apa yang aku khayalkan. Daripada pembacanya banyak tetapi alurnya acak-acakan banget, harusnya ke A malahan larinya ke B. Engga cocok banget,"
Alga tertawa lagi, aku menatapnya kesal.
"Ada apa? Kamu mulai suka padaku?"
"Tidak akan."
Aku berjalan duluan lagi dan suara tawa Alga kembali terdengar. Aku harus membuat Alga benci padaku, jadinya setelah ini dia akan melupakanku dan tidak akan menganggu keseharianku lagi.
Ayo Anin, kamu pasti bisa.