1 - Kafe
"Apa kita benar-benar akan menikah," tanyanya pada laki-laki dihadapannya, tanpa melihat keadaan ataupun dimana mereka sekarang padahal sekitarnya sedang ramai.
Diberbagai sudut terlihat beberapa orang yang sedang berbincang, ada juga yang sedang berdiri antri di kasir. Memang ramai tapi baginya berbicara dengan orang yang ada di depannya adalah hal yang paling penting.
"Hmm."Jawabnya tanpa ekspresi sama sekali,
Mendengar jawaban dari pertanyaannya hanya gumaman, ia mengulangnya "Apakah kau akan menikah denganku," ucapnya bersemangat tanpa peduli pelayan restoran yang memandanginya heran. Beberapa orang juga sesekali mencuri pandang kearahnya karena menurut sebagian orang sang perempuan sangatlah bersemangat dan sangat ceria.
"Hmm."Jawabnya lagi, masih dengan gumaman.
"Apakah kita... Maksudku apakah kau dan aku akan menikah," ia terus mengulang kata dengan artian yang sama, hatinya sangat ingin memastikan semuanya. Bukan karena tidak percaya hanya saja menurutnya akan lebih baik baginya mendengarkan langsung dari orangnya daripada orang lain walaupun sang pemberi berita adalah orang tuanya sendiri.
"Apakah sikap ingin taumu bisa hilang, Apakah jilbab panjangmu itu tdk bisa menutupi kecerewetanmu,"ujar laki-laki itu dengan nada datar tanpa candaan.
Sempat hening beberapa saat, bahkan perempuan itu tertegun dan melamun selama bebarapa detik. Sampai akhirnya ia bertepuk tangan senang, pelayan restoran yang ada diantara mereka semakin mengerutkan keningnya menatap bingung kedua pasangan didepannya.
Tadinya ia dipanggil untuk memberikan bill makanan akan tetapi malah terjebak dalam keanehan kedua orang ini, yang satunya sangat cuek bahkan tak memperdulikan apapun dan yang satunya lagi sangat cerewet. Ia langsung tersentak mendengar penuturan perempuan itu selanjutnya,
"Akhirnya kau bicara panjang juga," seru perempuan itu lalu menatap pelayan restoran itu," kau dengar... Ia berbicara sangat panjang tadi,biasanya ia hanya diam dan hanya mengatakan iya dan tidak. Tapi tadi... Ma syaa allah."Ujarnya,dan pelayan restoran itu hanya tersenyum.
Merasa jengah dengan kelakuan pasangannya ia berdiri "Ini bill-nya,kami permisi," ucapnya datar lalu melangkah pergi,dan menatap Senja agar mengikutinya segera.
Seakan mengerti,Senja ikut berdiri,tetapi menatap pelayan restoran dan berbicara beberapa kata "Assalamu'alaikum Mbak,kami permisi dulu mohon dimaklumi dia memang seperti itu,dia itu kulkas berjalan...."
"Senja! Pulang," potong laki-laki itu. Padahal perempuan itu masih ingin berbicara panjang tadi. Ia hanya tersenyum lembut bahkan memperlihatkan deretan gigi putihnya pada pelayan tadi lalu berjalan mengikuti langkah lebar Rendra.
Senja mengikuti langkah Rendra dengan tergesa-gesa, sulit sebenarnya tapi karena Menurutnya Rendra itu tidak suka dibantah apalagi berbicara basa-basi tapi bukannya daritadi Senja sudah berbicara basa-basi ya? Tapi kan menurut Senja itu bukan hal tidak penting tapi sangat penting malah.
"Masuk." suara datar Rendra terdengar lagi, Senja mendongak menatap wajah datar tanpa ekspresi itu.
"Senyum dong, smile." Senja menyimpan kedua jarinya di samping mulutnya seolah memperlihatkan pada Rendra cara senyum.
"Hmm...masuk." tetap dengan muka datarnya.
"Kak Endra... Senja nyuruh Kakak senyum loh kenapa engga diturutin sih! Senja kan cuman mau lihat Kak Endra senyum, lagian senyum itu ibadah engga ada yang larang. Jadi, coba senyum?" ulang Senja lagi.
Rendra memperlihatkan senyumnya tapi sangat tipis, bibirnya hanya melengkung sedikit kemudian kembali datar, Senja tentu sudah bahagia melihat hal itu, susah sebenarnya untuk membuat seorang Rendra tersenyum tapi karena Senja itu cerewetnya tiada habisnya maka akan lebih baik mengikut saja.
Dengan senyum ceria Senja masuk kedalam mobil memperbaiki duduknya kemudian menatap Rendra yang masih berdiri disamping mobilnya. Melihat Senja sudah duduk tenang Rendra menutup pintu mobilnya kemudian berjalan kearah samping membuka pintu kemudi, duduk disana melanjukan mobil.
"Rendra,kenapa kau seperti pada pelayannya dia itu harus dihargai,Harus disegani. Dia juga manusia seperti kita,Sesama manusia.... "
"Diam!" desisnya, suara perempuan disampingnya sangatlah menganggu konsentrasinya.
"Kak Endra masih seperti kulkas yaa. Padahal kita sbentar lagi akan menikah. Bunda dan abi sudah menetapkan.... "
"Diam,"ujarnya lagi dengan sedikit meninggikan suaranya agar perempuan itu benar-benar mendengarnya dan segera merapatkan mulut cerewetnya itu.
Bukannya terdiam ataupun tersinggung dengan perkataan Rendra ia hanya tersenyum senang dan baru saja ia akan berbicara lagi,akan tetapi Laki-laki berjas hitam itu sudah menyalakan radio dengan suara yang cukup keras.
Perempuan itu diam menikmati sholawat yang terputar. Sambil bergumam mengikutinya "subhanallah... Alhamdulillah.. Laa ilaaha illallah.. Wa lahaula wala quwwata illa billah..."
Laki-laki itu menghembuskan nafasnya lega,merasa sangat tenang. Akhirnya Senja benar-benar bisa berhenti bicara.
ia memutar ingatannya tentang kelakuan senja di restoran tadi, terasa sangat memalukan. terdapat sedikit rasa bersalah karena beberapa saat lalu telah membesarkan suara padanya. Ia sangat bersyukur Senja tidak merasa tersinggung atas perlakuannya tadi.
"Kak Endra...?"panggilnya, setelah beberapa waktu bergumam dengan shalawat yang terputar,
Laki-laki itu hanya fokus menyetir tak merespon panggilan senja, dan perempuan itu memaklumi.
"Kak Endra pasti tidak suka dengan kecerewetan Senja ya? Maaf ya! Senja hanya senang sekali karena pada akhirnya yang menjadi imam Senja adalah Kak Endra sendiri,padahal tak pernah sekalipun dalam fikiran Senja sampai sejauh ini."
"Iya." Hanya kata itu, dan perasaan bersalah dalam dirinya kini menghilang dan kembali menikamti alunan shalawat yang terus berlanjut.
Sedangkan Rendra sempat merasa tertegun tetapi kembali menormalkan ekspresi datarnya seperti semula.
Mereka berdua memang baru bertemu lagi hari ini, Rendra baru tiba di Indonesia kemarin dan hari ini mempunyai waktu untuk bertemu dengan Senja, perempuan yang beberapa tahun lalu menjadi teman kecilnya dan tentunya perempuan yang akan dijodohkan dengannya.
"Di Amerika banyak cewek cantik engga kak? Cantikan Senja atau mereka? Atau mereka lebih pintar dari Senja? Atau disana itu suasananya Bagus engga? Ihh! Senja juga mau kesana, pasti adem engga kayak disini." celutuknya dengan posisi menyamping menatap Rendra dengan muka malasnya.
"Tidak ada yang cerewet sepertimu." jawabnya.
"Waah! Cie. Berarti Kak Endra kangen sama Senja dong, kok bilang gitu? Ciee... Hahaha, ternyata Kak Endra kangen Senja juga. Biasanya nyuruh Senja diam tapi kangen juga sama cerewetnya Senja, ih! Dasar kulkas." Senja terkekeh sendiri,
"Gila." Rendra bersuara dengan wajah kulkasnya.
"Senja engga gila loh ya! Mending Kak Endra ngaku deh! Hayoo!! Kangen kan sama Senja? Gitu aja engga mau ngaku. Gengsi aja terus, padahal kita cuman berdua dalam mobil." Senja tertawa lagi, ia sampai menangkup wajahnya karena menurut Senja ini memang lucu.
Rendra tidak menanggapi ucapan Senja, ia memilih fokus mengemudikan mobilnya sedangkan Senja menatap mobil yang sedang padat. Padahal tadinya Senja berharap Rendra itu mengaku kalau ia benar-benar kangen sama Senja tapi yaudahlah,mending Senja diam saja.
"Disana Kak Endra kerja apasih? Sekolah apa emangnya disana? Kok lama banget sampe Senja capek nunggunya." Rendra mematung sejenak kemudian kembali fokus. Raut wajahnya tetap sama tapi tentu Senja tau perubahan ekspresi itu.
"Bukan urusanmu." Senja berdecak kesal.
"Idih! Sok banget, pasti mau bilangin Senja kepo kan? Padahal Senja kan cuma mau tau Kak Endra kerja apa disana? Kenapa malah bilang gitu? Kalau Senja kuliahnya ambil bidang Sastra aja sih, soalnya suka baca n****+ dan sejenisnya." Senja kembali bersuara dengan kata panjangnya.
"Kepo." sahut Rendra
"Ish! Bodoamat. Kak Endra menyebalkan." Senja membungkam mulutnya, menatap ke arah luar.
"Ngambek." Senja malas menanggapinya.
"Biarin, pokoknya kak Endra nyebelin. Senja nanya baik-baik malah dibilangin kepo. Jangan-jangan Kak Endra kerjanya jahat ya? Jangan-jangan kak Endra bunuh orang disana? Ihh! Senja engga mau punya suami yang kerjanya gitu. Ayo jawab, pasti kerjanya jahat." Senja menodongkan jari telunjuknya didekat wajah Rendra yang sedang fokus menyetir.
"Tidak." jawab Rendra.
"Kalau engga, terus kenapa engga mau kasi tau Senja kerjaannya apa disana? Pas kuliah kemarin ambil jurusan apa? Kan Senja jadi curiga Kak Endra. Atau jangan-jangan disana kak Endra sudah punya istri lagi?" Senja menyipitkan matanya, menatap Rendra dengan mata selidiknya.
"Diam." desisnya, Senja mengerucutkan bibirnya kesal kemudian memalingkan wajahnya dari Rendra.
"Tidak ada.'' sahut Rendra beberapa menit kemudian tapi Senja tidak menanggapi karena menurut Senja calon suaminya itu benar-benar menyebalkan.
"Senja engga mau bicara kalau kak Endra engga mau jawab soal tadi itu, apa sih susahnya dijawab aja. Mulut itu dipake untuk bicara engga dikunci mulu atau mau Senja bantu?" Rendra menoleh kearah Senja karena didepan sana sedang lampu merah, wajahnya masih datar Tapi hal itu tidak terlalu Senja permasalahkan karena memang muka Rendra itu seperti kulkas.
"Cantik." kata Rendra
"Engga bakal mempan, pokoknya Senja itu lagi kesal sama Kak Endra. Jangan gombalin Senja deh! Sok-sok'an bilangin Senja cantik tapi malah sebagai bujukan aja. Pokoknya Senja mau mogok bicara selama seminggu. Titik." Senja memperagakan seolah jarinya sedang mengunci bibirnya tepat didepan Rendra.
Rendra tersenyum tipis melihat hal itu kemudian kembali mengarah kedepan mengemudikan mobil nya karena didepan sana Lampu sudah berubah menjadi kuning. Senja menyandarkan punggungnya pada kursi mobil dengan pandangan menatap pemandangan diluaran sana. Susah sebenarnya karena Senja tidak terbiasa tidak berbicara tapi kan ini ceritanya lagi ngambek.
"Eskrim?" tawar Rendra
Senja menoleh kearah Rendra kemudian menaikkan jari telunjuknya didepan wajahnya. Menggoyangkan kekanan dan ke kiri seolah mengatakan, "tidak Kak Endra, pokoknya Senja lagi ngambek." kemudian kembali memalingkan wajahnya kearah lain.
"Coklat?" tawarnya lagi.
Senja kembali memperagakan apa yang dia lakukan tadi.
"Menyebalkan." kesal Rendra,
"Ihh! Kok malah Senja yang menyebalkan sih? Kan Senja tadi cuman nanya di amerika sana Kak Endra pas kuliah ambil bidang apa? Terus kerjaan Kak Endra disana apasih? Suasananya disana itu gimana? Baik atau biasa aja? Atau jangan-jangan benar kata Senja tadi kalau Kak Endra itu sudah punya Istri? Ish! Kak Endra mau jadiin Senja istri kedua ya? Tuh kan, Senja punya banyak pertanyaan bukannya dijawab malah milih diem padahal bicara itu gratis engga bakal bayar apapun. Lagi-"
Senja berhenti berbicara, ia menerima sebotol air yang Rendra sodorkan padanya. Meneguknya beberapa kali kemudian menyimpannya di dashboard mobil. Rendra terlihat fokus menyetir.
"Lagian ya Kak Endra, kita itu bentar lagi nikah engga papa dong kalau misalkan Senja mau tau apa yang kak Endra lakukan pas di amerika sana. Masa iya Senja nikah terus nantinya pas ditanya sama orang lain Senja cuman jawab maaf bu, Senja engga tau. Istri macam apa Senja ini?" Senja kembali melanjutkan kekesalannya, Rendra tetap diam, membuat Senja semakin kesal.
"Kak Endra..." rengeknya kesal.
"Hmm." jawab Rendra.
"Ngomong dong, Senja sudah memberikan banyak pertanyaan tapi engga dijawab sama sekali." kesalnya.
"Disana saya ambil jurusan bisnis terus kerjanya di perusahaan. Kalau mengenai situasi disana pergaulannya bebas tidak seperti disini pasti mempunyai ketentuan sendiri. Saya belum menikah dan saya pastikan kamu adalah satu-satunya, jadi tidak perlu ngambek seperti itu." Senja mengerjapkan matanya mendengar perkataan Rendra.
Beberapa menit berlalu tapi perempuan cerewet itu masih diam dengan tatapan menatap Rendra takjub. Rendra hanya tersenyum tipis kemudian kembali mendatarkan wajahnya.
"Ma Syaa Allah." hanya itu yang bisa Senja ucapkan.
Setelahnya Senja memilih diam, bukan karena malas berbicara hanya saja Senja mengerti kalau Rendra butuh berkonsentrasi dalam mengemudi. Jadi ada baiknya Senja diam saja sambari memikirkan mengenai tugas kuliah yang tiada abisnya. Begitulah mungkin.