Chapter 11 | Misi Pertama, Tangisan Zeina
POV Ethan Kal Vardhan
Aku baru membuka bagian pertama dokumenter ini, namun aku bisa menebak alasan mengapa ayahnya menginginkan tangisannya. Tiba-tiba aku teringat masa lalu, saat bertemu dengan Zeina ketika usianya masih sebelas tahun.
Gaun hitam yang dikenakannya terlihat menawan, namun tatapan matanya terlihat kosong. Saat itu aku berpikir bahwa, mentari yang cerah akhirnya kehilangan cahayanya. Dia hanya memandangi hamparan rumput yang mengering tanpa menunjukan raut wajah apapun.
Segala ekspresinya sirna sepenuhnya.
Aku merasa ingin melihat air mukanya lebih dekat, matahari redup seperti bintang mati. Berada tepat di hadapanku, menatap mataku.
Kali ini, dia akan mengingat wajahku.
Memfokuskan pikiran, aku kembali menyaksikan layar dan melihat bagaimana Reynand berusaha keras membuat Zeina menangis. Memasukan serangga ke tas, merusak barang, mengotori pakaian kesukaan dan semua tingkah nakal bocah lainnya telah dilakukan. Namun Zaina sama sekali tidak terpancing, gadis itu hanya akan menatapnya lalu mengatakan sebuah kalimat pada Reynand.
“Dasar bodoh” Zeina tidak memperdulikan tindakan Reynand sama sekali.
“Ini sudah satu tahun, dan aku hanya mendapatkan uang receh karena misiku sama sekali tidak terselesaikan. Aku tidak tahu kenapa anak yang sifatnya semakin memburuk itu harus menangis tapi demi kamera baru, aku akan membuatnya menangis” Reynand tersenyum ke arah kamera dan menulis sesuatu di papan.
“Aku mencarinya di internet, lidah yang tajam akan lebih cepat membuat seseorang menangis ketimbang sebuah pisau” Reynand tersenyum sempurna. “Aku sudah menghafalkan hal apa saja yang akan kukatakan padanya”. Layar menampilkan saat Zeina terlihat tengah melukis di studio kecilnya. Reynand menyembunyikan kameranya, masuk sambil menyiram lukisan Zeina dengan cat yang sudah di campurnya secara acak. Zeina menoleh acuh dan terlihat menghela nafas sebelum akhirnya berbalik pergi.
“Bereskan kekacauan yang kau ciptakan” ujarnya tidak begitu peduli dengan apa yang telah Reynand lakukan.
“Kekacauan? Untuk seseorang yang hidupnya kacau, apa masih bisa dibersihkan?” Zeina berhenti melangkah. Reynand tersenyum karena merasa bahwa dirinya mendapatkan perhatian Zeina akan tindakannya. “Setelah tidak bisa berjalan selama berbulan-bulan, kau yang berusaha keras untuk bisa berjalan lagi, mendapati kakimu yang cacat, kau pasti menyadari bahwa kau tidak lagi bisa menari. Karena itukah kau mencari keahlian lain dan memilih untuk melukis. Ah apa karena kakimu tidak lagi berguna? Kira-kira seperti apa rasanya mengacaukan hidupmu sendiri? Apa itu artinya, julukan genius balet tidak lagi bisa disematkan padamu? Atau sejak awal julukan itu memang bukanlah milikmu?”. Reynand berjalan mendekati Zeina dan kini berada tepat di samping Zeina.
“Sepertinya, perkataan ibumu yang mengatakan bahwa putrinya adalah anugerah yang dikaruniai bakat balet, seorang genius yang terlahir hanya beberapa ratus tahun sekali adalah omong kosong” Zeina menghela nafas kecil sebelum menoleh ke sisi kiri dimana Reynand berdiri. “Ingatanmu buruk. Ibuku mengatakan bahwa aku genius seni. Sepertinya kau terlalu bodoh untuk mengetahui perbedaanya” Zeina maju selangkah mendekati Reynand.
“Itu artinya, aku tidak hanya terlahir dengan satu bakat. Menari? Kau pikir aku hanya akan meraih kesuksesan jika tetap menari? Ada alasan mengapa seseorang mendapatkan julukan berbakat dan genius. Orang biasa sepertimu, tentu tidak akan mengerti” Zeina hendak beranjak pergi namun perkataan Reynand menahannya.
“Aku tidak yakin, bahkan saat inipun, semua orang yang dulu mengagungkan bakatmu telah melupakanmu. Apa kau bahkan bisa berhasil di percobaan keduamu? Pelukis? Apa kau bahkan bisa bertahan di industri ini dan mengejar ketertinggalanmu? Pelukis muda lain sudah memegang kuas bahkan ketika mereka belum belajar membaca” Zeina kembali menatap Reynand, gadis itu memasang ekspresi yang merendahkan.
“Sudah kukatakan, ada perbedaan antara kemampuan, bakat dan anugerah. Orang biasa sepertimu tidak akan mengerti” Zeina maju semakin mendekat. “Orang lain memulai lebih awal, yah aku akui. Tapi ada alasan mengapa orang sepertiku hanya muncul selama beberapa ratus tahun sekali, seperti yang ibuku katakan” Zeina mendorong bahu Reynand dengan jari telunjuknya.
“Kami ada untuk memperlihatkan perbedaan” Zeina lagi-lagi mendorong bahu Reynand. “Orang sepertiku tidak harus memulai di waktu yang sama” Zeina kembali mendorong bahu Reynand. “Melupakanku? Aku tidak peduli. Tapi karena kau sudah mengatakannya maka aku akan mengatakan apa yang aku pikir akan segera terjadi” Zeina mendorong bahu Reynand, kali ini sedikit lebih kuat hingga Reynand melangkah mundur.
“Aku baru mempelajarinya selama satu tahun terakhir. Tapi, kurang dari dua tahun lagi semua orang akan mulai tertarik padaku. Lalu tiga tahun setelahnya, semua orang akan membicarakan diriku. Hanya dalam waktu enam tahun sejak aku mempelajari ini, aku akan menjadi pelukis terkenal. Saat mendengar namaku, semua akan mengingat lukisan. Saat melihat lukisan, mereka akan mengingat namaku. Hal itu akan segera terjadi, jadi buka lebar-lebar matamu dan lihatlah sendiri” Zeina pergi setelahnya. Reynand masih tertegun selama beberapa saat dan menatap ke arah kamera tersembunyinya.
“Aku merasa merinding, dia bersikap arogan dengan sangat alami” Reynand menggeleng kecil. “Aku memiliki satu cara terakhir” ujarnya sambil tersenyum, berusaha mengembalikan semangatnya yang sempat hilang.
Kini, layar menampilkan saat dimana Zeina mendapatkan hadiah berupa sepeda dari ibu Reynand dan Reynand yang memaksanya untuk menaiki sepeda itu.
Raut wajah Zeina terlihat enggan. Reynand mengaku bahwa dirinya sudah mengetahui fakta bahwa Zeina tidak bisa mengendarai sepeda dan meminta ibunya untuk memberikan hadiah sepeda lantaran dulu Zeina sering mengendarai sepeda dengan membonceng pada ibunya. Reynand beralasan bahwa dia kerap kali melihat Zeina melihat sepeda dengan tatapan kerinduan. Ibunya termakan ucapan Reynand dan memberikan Zeina sepeda.
Disinilah mereka sekarang, sebuah taman indah dengan sungai kecil di sepanjang jalan. Reynand bersikeras mengajarkan Zeina, Reynand merekam kegiatan mereka layaknya seorang teman yang tengah membantu untuk belajar bersepeda.
Sejak awal Zeina terus menolak namun Reynand berhasil memojokannya dengan terus menyinggung betapa ibunya sangat gembira saat memilihkan sepeda untuknya. Zeina memasang wajah tidak suka sepanjang latihan. Reynand jelas berjanji untuk tidak melepaskan pegangannya pada bagian belakang sepeda Zeina dan memastikan bahwa gdis itu akan baik-baik saja.
Namun yang terjadi berikutnya, Reynand justru melepaskan dan mendorong sepeda Zeina hingga Zeina kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke sungai kecil di sepanjang jalan.
Sungai dangkal itu membuat seluruh tubuh Zeina basah dan berlumpur. Zeina yang terkejut menatap Reynand yang juga menatap kakinya yang berdarah terkena bebatuan sungai.
Secara perlahan, kening Zeina juga mengeluarkan darah. Reynand mulai terlihat panik, buru-buru turun ke sungai kecil itu dan membantu Zeina naik ke permukaan.
Hal yang lebih memalukan terjadi, dimana banyak orang yang menonton dan merekam mereka. Zeina yang sudah ada di atas kini berjalan dengan tergesah hingga meninggalkan Reynand. Reynand buru-buru mengejar, membawa kameranya tanpa memperdulikan sepeda Zeina yang masih ada di sungai.
Reynand terlihat ragu saat mendekati Zeina.
Zeina berjalan dengan kaki pincang dan pakaian basah berlumpur, semua mata melihatnya dan dia bahkan tidak bisa mengangkat kepalanya sedikitpun.
Begitu tiba di depan rumah, Zeina tidak melangkahkan kaki sedikitpun. Pandangannya terpaku pada seorang ibu dan putrinya yang mungkin baru berusia enam tahun tengah menaiki sepeda sambil membunyikan lonceng berbentuk bunga dengan riang.
Zeina terpaku tanpa mengatakan apapun sampai ibu dan anak itu melewati tempatnya berdiri.
“Aku dengar, seseorang menjadi lebih sensitif saat mereka sedang sakit” Reynand berujar sambil mendekati Zeina. “Aku tahu kau akan sangat marah dan ingin memukuliku sampai mati, tapi aku harap kau tidak terpaku pada emosi sesaat karena kau sedang sakit. Kau tahu? Membunuh seseorang dapat menghancurkan hidupmu. Jangan pernah berpikir untuk membunuh karena terbawa emosi” Reynand semakin mendekat dan berjalan ke hadapan Zeina yang sedari tadi memunggunginya.
Reynand terdiam, kamera di tangannya sampai bergetar kecil.
“Kau menangis?” tanyanya sambil menyibak surai Zeina yang lengket terkena lumpur.
“Sakit” Zeina mengangkat kepalanya dan memperlihatkan mata merahnya yang mulai meneteskan air mata. Reynand bergegas mengecek luka di kening Zeina dan tangannya sedikit bergetar.
“Maaf, aku benar-benar tidak bermaksud” Reynand terus memperhatikan wajah Zeina. Gadis itu jatuh terduduk dan semakin menangis keras. Tidak ada orang di rumahnya, Reynand terlihat kebingungan karena panik.
“Jia maafkan aku”.