Chapter 5 | Tamparan Uang
POV Ethan Kal Vardhan
“Aku dengar kau menolaknya” Tiga orang itu menghampiri. Ditengah keramaian pesta Zeina terlihat enggan berurusan dengan ketiga orang yang tidak kukenal itu. Zeina melirik sekitar, sesuai dugaanya, semua orang memandangnya. Genggamanya pada lenganku menguat, aku merasakan ketidaknyamanannya.
“Selamat datang, meski tidak ingat pernah mengundang kalian atau tidak, aku harap kalian bisa menikmati pesta ini” Aku menariknya menjauh, berusaha melonggarkan cengkraman tangannya di tangan kami yang saling bertautan. “Bukankah ada yang harus kau jelaskan” bisikku pelan sambil berjalan dan menyapa beberapa tamu undangan.
Tidak ada jawaban dari Zeina, sepanjang pesta suasana hatinya terlihat semakin buruk dan jelas ia ingin segera kembali ke kamar, terlalu malas berurusan dengan begitu banyak orang.
“Kendalikan ekspresimu” bisikku lagi yang membuatnya justru melepaskan tautan tangan kami dan pergi begitu saja dari pesta. Zeina selalu benci saat aku menyuruhnya berakting berlebihan, dia akan pergi seperti ini ketika aku terlalu banyak menuntut. Aku melihat punggungnya. Seperti yang kutahu, dia bukan tipe orang yang repot-repot mengontrol ekspresinya. Entah memang malas atau tidak begitu mahir, aku tidak begitu mengetahuinya.
Sampai…
Saat pesta hampir berakhir, aku yang keluar dari aula melihatnya di teras hotel, tampak bertengkar dengan salah satu dari tiga orang asing itu. Si sutradara, terlihat terus mendesak Zeina. Aku berjalan mendekat dan mereka melihat ke arahku.
Wanita yang bahkan tidak diketahui namanya itu tersenyum sambil melirik Zeina dengan tatapan puas. Langkahnya mendekati Zeina, menyentuh pundak Zeina dengan sedikit memberi cengkraman. Dapat kulihat Zeina tersentak saat menahan rasa sakit akibat tekanan pada cengkraman.
Apa dia mendapatkan ancaman?
“Apa suamimu tahu?” tanya wanita itu sambil terus menatapku. “Kira-kira apa yang akan terjadi jika dia melihatnya?” Tanya wanita itu membuat Zeina menoleh padanya dan menatap marah. “Sudah kukatakan bahwa keputusanku tidak akan berubah” Wanita itu ikut menatap Zeina.
“Ambil keputusan setelah rapat” Wanita itu melirik. “Punya waktu sebentar? Kita harus mengadakan rapat sekarang” aku melihat Zeina yang seolah memintaku untuk menolak. Rasanya, ada hal yang berusaha ditutupinya. Bagaimana jika hal itu berpengaruh buruk padaku? Dia bukan tipe orang yang akan membuat kekacauan, namun bukan tidak mungkin jika dirinya terlibat sebuah kekacauan bukan? Lagipula jika dia membuat masalah, akulah yang akan terkena imbasnya. Jadi harus dibereskan lebih awal.
“Tentu” Aku berjalan lebih dulu, menuntun mereka untuk masuk ke dalam ruang rapat setelah meminta resepsionis untuk memanggil sekertarisku. Kami langsung duduk begitu sampai di ruang rapat. Zeina duduk di samping kananku, sedangkan wanita itu duduk di sisi kiriku, tepat di hadapan Zeina. Pria asing dengan dandanan aneh dan stelan jas merah muda itu duduk di samping si wanita sedangkan si sutradara duduk di samping Zeina.
Zeina menoleh pada pria itu seolah menyalahkan. “Setujui saja” ujarnya sambil tersenyum. “Sebelumnya perkenalkan, aku Daffa Daniyal, dia Elsa Wyn kami berdua adalah pelukis. Lalu dia Reynand Roderick, sutradara yang akan menggarap dokumenter kami” Pria bersetelan merah muda memberi penjelasan.
“Aku tidak pernah setuju” timpal Zeina membantah. “Kau harus setuju” jawab wanita bernama Elsa dengan tegas. “Berhenti berkata omong kosong” Zeina masih menolak dengan gamblang. “Tidak ada gunanya menolak, bukankah ini juga baik untukmu? Sejujurnya ini akan menguntungkan kita semua. Kau dengan studio dan galeri senimu, suamimu dengan hotelnya dan kami dengan karir kami” pria bernama Daffa berpendapat.
Zeina tertawa kecil sambil memandangi kedua pelukis dihadapannya itu. “Menguntungkan?” tanyanya keheranan. “Kenapa? Karena merasa lebih hebat kau jadi enggan bekerja sama?” Zeina bangkit dari posisi duduknya, aku merasa tidak bisa ikut campur dari permasalahan ini lantaran hal ini diluar kuasaku. Dia benar-benar terlihat enggan, dia sudah membuat keputusan dan aku tidak akan menghalangi ataupun mengganggu keputusannya selama tidak akan mendatangkan kerugian.
“Lebih hebat? Tentu saja. Bahkan meski kalian membencinya semua itu adalah fakta. Keuntungan sama rata hanya akan diperoleh saat kau setara. Lagipula apa yang dimaksud dengan menguntungkan?” Zeina melirik pria bernama Daffa “Kau terjebak skandal perjudian dan kekerasan”. Kini matanya melirik pada wanita bernama Elsa. “Aku dengar kau dikucilkan asosiasi setelah pameran terakhir? Sepertinya usaha dan studiomu tidak berjalan lancar sampai kau bisa mendatangiku seperti ini” Lalu kini matanya melirik pria yang sedari tadi memberi tatapan mengusik “Dan kau terjebak isu plagiarisme” Zeina menghela nafas “Pada dasarnya kalian hanya ingin menggunakanku untuk membawa keuntungan bagi diri kalian sendiri” Zeina menarik tanganku untuk berdiri. “Tidak ada lagi yang harus kami dengar. Setidaknya jika ingin memberi penawaran lakukan dengan benar. Lagipula aku sama sekali tidak berhutang, kenapa aku harus terjebak bersama kalian?” Zeina berjalan lebih dulu sambil menarik tanganku.
Belum membuka pintu, sebuah benda terlempar mengenai kepalanya hingga surainya berantakan. Aku melirik ke bawah dimana gepokan dollar berserakan di sana. Dengan wajah terkejut dia menoleh dan memandang wanita bernama Elsa.
“Apa begini caranya?” tanya Elsa pelan. “Apapun alasanya, aku rasa aku tidak pantas diperlakukan seperti ini” tegas Zeina. Aku bisa melihat dirinya menahan amarah, namun jauh di dalam sana. Aku lebih melihat raut kesedihan, seperti rasa tidak percaya dan kekecewaan yang mendalam.
Dibandingkan marah, gadis ini lebih merasa sedih.
Kira-kira mengapa demikian? Hubungan mereka jelas tidak baik.
Mungkin dia hanya terkejut karena baru pertama kali mendapatkan perlakuan demikian.
“Empat tahun lalu, rasanya kau seperti melakukan ini. Kau boleh melakukannya sedangkan aku tidak?” Mata Zeina menajam, genggaman tangan nya dia lepaskan. “Aku tidak mengerti, kenapa kau–”
“Kau mau berkata bahwa karena kau tidak berhutang apapun, sikapku jadi tidak bisa dibenarkan? Kau bertindak sesukamu dan membuat kami hampir bangkrut. Kau mau berkata bahwa kau bertanggung jawab dan menanggung segalanya. Selain uang, apa yang kau punya?” Elsa mengeluarkan sebuah koper dan melemparkan gepokan dolar lain ke arah Zeina hingga beberapa kali menghantam tubuh dan kepalanya.
Pria bernama Daffa mencoba menghentikan, namun Elsa berontak dan melanjutkan kegiatannya melempari Zeina dengan uang. Lalu, Reynand kini justru sudah berada di hadapan Zeina.
Aku sempat mengira mereka tidak memiliki hubungan spesial dan diriku telah keliru. Namun melihat tatapan itu yang tertuju pada Zeina, jelas aku menyadari bahwa pemikiranku tidaklah salah.
“Ini aneh, kenapa suamimu tidak melakukan apapun?” bisiknya yang tentu dapat kudengar. Zeina mengangkat kepalanya dan menatap Reynand, surainya berantakan terkena lemparan uang. Tangan Reynand terulur dan merapikan surai Zeina yang berantakan.
Lemparan demi lemparan uang masih Elsa berikan, menghantam punggung Reynand yang menghalangi tubuh Zeina.
“Apa yang coba kalian lakukan?” tanya Zeina pada Reynand. “Aku? Aku hanya ingin bertemu denganmu” Jawabnya acuh sambil kembali melirikku. Reynand tersenyum ke arahku “Lagipula, bukankah sudah waktunya kau kembali?” tanyanya pada Zeina dengan tatapan yang masih terarah padaku.
“Kau harus kembali, Jia”.