Chapter 2| Jia Ann Zeina
POV Ethan Kal Vardhan
Hari ini pun dia bersikap seperti biasa. Saat melihatku yang sudah pulang lebih awal, dia memang sempat sedikit terkejut. Sejujurnya selain karena selesainya pekerjaanku lebih awal, aku juga ingin memastikan. Hidangan makan malam setiap jumat yang selalu tersaji apakah benar-benar dimasak olehnya, atau sesuai asumsiku selama ini bahwa dia membelinya dari luar.
Tapi…
Dia yang baru saja datang dengan dua kantong belanjaan membuatku seolah menemukan jawabannya saat itu juga.
Aku hampir tidak pernah menyalakan televisi di ruang tengah, namun hari itu aku melakukannya. Sesekali meliriknya yang menyiapkan hidangan makan malam dengan kedua tangannya sendiri.
Aku tidak tahu bahwa dia bisa memasak…
Meski dia hanya memasak di hari libur penjaga rumah kami…
Dia menghampiriku setelah sekitar satu jam menyiapkan makanan. “Sudah waktunya” ujarnya pelan yang membuatku mematikan televisi dan mengikuti langkahnya menuju meja makan.
Kali ini, dia menghidangkan iga bakar, miso soup, tumis sayur dan salad. Aku tidak melihat piring makannya. Lagi-lagi dia tidak makan malam di rumah, mungkin sudah makan malam bersama dengan pria dari telepon sebelumnya. Hal tersebut tidak begitu mengusikku, aku juga tidak begitu peduli. Aku menyantap hidangan makan malam itu, rasanya lezat seperti biasanya. Dia benar-benar yang masaknya selama ini.
Setelah selesai, aku kembali ke kamarku begitupun dengannya.
Keesokan paginya, kami harus pergi keluar kota bersama. Event dari salah satu cabang hotelku akan segera dilaksanakan, aku pergi bersamanya untuk acara itu.
Kami hanya akan berbagi kamar yang sama saat melakukan perjalanan dinas. Dia tidak keberatan dan akupun demikian, toh kami sama-sama tidak saling memperdulikan satu sama lain bahkan ketika tidur di ranjang yang sama.
Biasanya begitu…
Namun notifikasi ponselnya yang terus berbunyi ketika dia sedang mandi menarik perhatianku. Sebuah pesan tertera di jendela ponsel.
“Aku sudah di bandara, kau benar-benar tidak menjemputku padahal aku sangat merindukanmu dan ingin memelukmu? Dasar wanita kejam”.
Sepertinya pria kali ini berbeda dengan yang ada di telepon tempo hari. Aku menatap pintu kamar mandi selama beberapa saat. “Berapa banyak simpanannya?” gumamku sambil mengalihkan pandangan dan berjalan menuju balkon.
Aku sudah menduga bahwa dia pasti memiliki seseorang.
Tapi aku tidak menduga bahwa dia bermain dengan beberapa pria sekaligus.
Padahal dari sikap dan perilakunya, dia sering berlagak suci dan memandangku dengan hina beberapa kali.
Gadis itu…
Diluar dugaan…
Dia keluar kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Tetesannya membasahi pejama yang dia kenakan. Aku memperhatikannya yang duduk di tepian tempat tidur sambil membuka ponselnya.
Harus ku akui, dia memang gadis yang cantik.
Tidak…
Sebenarnya dia sangat cantik. Bahkan di mataku yang tidak menyukainya, bisa dibilang dia gadis paling cantik yang pernah kutemui. Mata tajamnya yang berwarna kuning amber, hidungnya yang kecil dan mancung, kulitnya juga sangat indah, dan bibirnya. Aku pernah sekali menciumnya saat di upacara pernikahan dulu, bibirnya yang mungil dan sedikit berisi terasa sangat manis. Bahkan tanpa lipstik, bibirnya tetap terlihat begitu indah, merah dan menawan.
Belum lagi tubuhnya…
Dia dikaruniai tubuh yang menjadi idaman setiap gadis.
Payudaranya terlihat besar dan bokongnya pun demikian. Dia tidak setinggi model namun tingginya terlihat sangat pas. Dia terlihat manis, imut, cantik dan sexy secara bersamaan.
Kadang kala…
Cukup sulit melihatnya saat dia seperti ini, ketertarikan seksual bisa muncul bahkan tanpa adanya perasaan. Aku masih memperhatikannya, bibirnya terlihat mendesah kecil, dia tampak kesal. Sepertinya tengah berselisih dengan kekasih gelapnya.
Aku mengalihkan pandanganku…
Dia tidak sesuci yang kukira…
Saat malam datang, aku dan dirinya turun dari kamar hotel kami untuk makan malam. Dia mengenakan gaun makan malam berwarna hitam dengan belahan d**a yang sangat rendah. Tidak biasanya dia mengenakan pakaian yang terbuka. Aku bisa melihat belahan dadanya dengan jelas, aku terus memalingkan wajahku saat berhadapan dengannya.
Kami tidak saling bicara, hanya berjalan seolah tidak ada hal lain yang bisa membuat kami saling tertarik untuk terlibat percakapan satu sama lain. Sampai seorang gadis muda yang aku ketahui adalah sekretaris barunya datang menghampiri dengan wajah yang sedikit pucat.
“Maaf” gumamnya pelan. Perjalanan kami berhenti, aku masih berdiri di belakangnya, memperhatikan punggung yang terbuka karena model gaun itu.
“Anda mau saya mencari gaun lain? Saya berjanji akan menemukannya dengan cepat” gadis itu terlihat ketakutan. “Kau mau aku mengganti dirimu atau tokonya?” jawabnya sambil berlalu pergi. Gaid itu membeku setelah Zeina mengatakan itu. Aku tanpa sadar menarik sudut bibirku, sepertinya ini kali pertama ku melihatnya kesal sampai seperti itu. Setahuku dia memang jarang mengenakan pakaian yang terlalu terbuka, rupanya kali ini pun ada kesalahan sampai dia tidak ada pilihan selain mengenakannya.
“Raihan Sanjaya, dia yang mewakili pertemuan kali ini. Tujuan kita mendapatkan investasi untuk membuka cabang di London, aku dengar ayahnya suka mengoleksi lukisan” Aku sedikit mencondongkan tubuhku untuk berbisik padanya. Pertemuan makan malam kali ini akan menjadi pintu penghubung untuk investasi di masa mendatang. Aku bisa mencium aroma parfumnya dari jarak dekat.
Sepertinya dia mengganti parfumnya kembali ke parfum lama.
Dia mengangguk kecil mendengar ucapanku. Dia kemudian meraih tanganku, menggandengku saat memasuki area restoran hotel untuk menghampiri Raihan. Seperti biasa, setiap pria yang baru pertama bertemu dengannya akan terpaku sesaat seperti ini.
“Ethan Kal Vardhan” ujarku sambil memperkenalkan diri–menjabat tangannya yang masih terus curi pandang pada gadis disampingku. “Dan ini istriku, Jia Ann Zeina” Dia mengulurkan tangannya menjabat tangan pria itu sambil tersenyum. Senyumannya hanya muncul saat kami harus menghadapi investor, aku hampir tidak pernah melihat dirinya tersenyum saat kami hanya berdua.
“Tolong panggil Ann” ujarnya sambil melirik tangan Raihan. Pria itu masih enggan melepaskan jabatan tangan mereka. “Silahkan duduk” ujarnya yang akhirnya bisa melepaskan jabatan tangan dari pria itu.
Aku melihat arah pandangan pria itu…
Aku tahu isi kepalanya…
Siapapun yang melihatnya pasti ingin menenggelamkan kepala di tempat lembut itu. Terkadang, wajah cantiknya memang bisa mempermudah negosiasi.
“Aku dengar anda bersekolah di London” Raihan membuka obrolan. Zeina, gadis itu tersenyum tipis sebelum mengangguk. “Saya bersekolah di sana sejak usia sebelas tahun” jawabnya singkat. Dulu aku mengira bahwa sikap acuhnya ini nyata, namun jika dipikirkan, dia memang pandai membuat pria untuk lebih tertarik padanya.
Melihat dia yang bahkan memiliki lebih dari satu simpanan, aku tentu akan mengakui kemampuannya.
“Mengapa memutuskan untuk bersekolah di luar negeri di usia yang masih begitu muda?” Raihan jelas ingin mengulik lebih jauh. Zeina mengangkat kepalanya dan menatap Raihan selama beberapa saat “Entahlah, saat itu tidak memiliki alasan pasti, hanya ingin saja”. Raihan tersenyum dan terlihat tidak bisa memalingkan pandangannya.
“Ayah anda saat ini menjabat sebagai Wakil Presiden kan. Apa sulit bertemu dengannya?” Zeina terdiam selama beberapa saat sebelum kembali tersenyum palsu. “Tidak juga, terkadang kami bertemu di pertemuan keluarga setiap satu bulan sekali” jawabnya dengan penuh keyakinan.
Aku tentu tahu bahwa semua itu hanya omong kosong.
Jelas dia menikahiku tidak lain tidak bukan untuk mendukung kampanye ayahnya. Ayah yang menjual putrinya untuk mendapatkan dana politik, lucu sekali saat dia mengatakan bahwa mereka rutin bertemu di pertemuan keluarga.
Gadis pembohong ini…
Dia bersedia menikahiku tidak lain dan tidak bukan karena memang tidak memiliki pilihan. Nenekku yang bersikeras menginginkannya sebagai menantu, dan ayahnya yang menginginkan dana politik. Dia terjebak di tengah paus besar dan berakhir bersama hiu sepertiku.
Mungkin karena itulah dia mencari pelarian dengan bermain bersama beberapa pria.
Bahkan pria yang saat ini, jika Zeina menginginkannya, pria itu mungkin akan langsung menurut padanya.
Istri kontrakku yang bermanfaat sekaligus berbahaya.
Benar-benar menawan…
Aku terus memperhatikan bagaimana pria itu memandang Zeina. Terkadang aku ingin berbuat usil disaat seperti ini. Aku menggeser kursiku, merangkul pinggang Zeina dengan lembut sambil mencondongkan wajahku pada lehernya.
Aku mengecup singkat leher Zeina, dia tidak lagi terkejut dengan tindakanku. Hanya sesekali aku melakukan hal ini saat diikuti paparazi atau berada di tengah keramaian. Bertingkah seolah kami memiliki hubungan harmonis.
Aku mengulurkan tanganku menuju bagian belahan pakaiannya, membetulkan pakaiannya, membuatnya menatapku seolah dia menyuruhku berhenti. Uniknya, Zeina tidak akan berkata banyak jika aku melakukan hal ini di depan umum.
“Kau membuatku tidak nyaman” bisikku yang bisa didengar oleh Raihan.
Aku membetulkan posisi dudukku seperti semula. Aku bisa melihat bagaimana pipi Raihan memerah menatap Zeina. Inilah yang selalu laki-laki rasakan, insting mereka semakin menggila saat sesuatu yang menawan berada di tangan orang lain.
“Ah aku dengar kau suka memanah. Istriku lumayan pandai memanah” ujarku membuat Raihan tampak semakin bersemangat. “Kalau begitu anda tidak akan keberatan jika kapan-kapan meluangkan waktu memanah bersama saya kan?” tawarnya sambil terus menatap Zeina.
Aku tahu, Zeina pasti tengah mengutukku karena membuatnya merasa terbebani saat ini.
“Tentu” jawabnya sambil tersenyum palsu.
Tidak ada negosiasi, tapi aku tahu bahwa pertemuan ini berhasil.