bc

The Fault

book_age18+
4.5K
FOLLOW
88.8K
READ
one-night stand
love after marriage
friends to lovers
pregnant
arrogant
dominant
badboy
badgirl
drama
like
intro-logo
Blurb

17+ [Ada kata jika yang membuatku terus berharap kata iya]

.

.

.

Ini tentang suatu kesalahan yang berbuah sesuatu yang tak seharusnya ada.

Semua berawal dari malam panjang yang mereka habiskan bersama pada sebuah kelab malam. Di sanalah semua berawal. Atta yang tanpa sengaja merebut kehormatan Vei dan berakhir harus menikahinya.

Vei merasa hidupnya hancur hanya dalam waktu sekejap. Impiannya seketika itu runtuh. Keyakinannya akan sesuatu pun goyah. Menurutnya, Tuhan itu selalu tidak adil kepadanya. Mengapa Tuhan memberinya cobaan hidup yang selalu beruntun?

Sedangkan Atta adalah laki-laki yang mempunyai hati sekeras batu. Sikapnya dingin, sedingin es yang berada di kutub utara dan di kutub selatan yang tidak bisa mencair. Bahkan Atta tidak punya perasaan sama sekali.

Padahal dalam hati laki-laki itu juga mempunyai masalah. Namun, tak seorang pun tahu. Luka di hatinya masih belum sembuh. Masalah dan luka. Dua hal yang berkaitan dan saling berhubungan.

Berbagai masalah seakan terus menghantam mereka berdua. Entah takdir seperti apa yang telah Tuhan tetapkan untuk mereka berdua melalui kesalahan yang telah diperbuat.

------

"I love you, Kak Atta."

-Raveira Livira Shabira-

"I love you, more than you love me."

-Atta Mahesa-

Demi kenyamanan Anda saat membaca cerita ini, dimohon untuk memfollow akun ini terlebih dahulu. Terimakasih ?.

chap-preview
Free preview
•Prolog + Malam Malapetaka•
Ada kata jika yang membuatku terus berharap kata iya. Aku yakin jika kamu mencintaiku, maka iya aku akan mencintaimu. Aku percaya jika kamu menyayangiku, maka iya aku akan bahagia bersamamu. Aku tahu jika kamu memiliki perasaan yang sama sepertiku, maka perasaanku dan perasaanmu nantinya akan menjadi perasaan kita berdua. Itulah mengapa aku bertahan sampai detik ini, saat ini, dan mungkin sampai nanti. Sampai rentang waktu yang belum dapat ditentukan secara pasti. Namun, ada kata jika disetiap kalimat yang terucap. Kata jika yang membuatku terus berharap, bertahan, dan menyerah. ••••••••••• Malam Malapetaka• "Satu malam yang menghancurkan malam-malamku berikutnya." -Raveira Livira Shabira- __________ Orang-orang percaya bahwa setiap apa yang terjadi di dunia ini pasti ada alasannya. Tuhan mempunyai 1001 alasan atas semua yang terjadi, awal pertemuan, serangkaian perpisahan, dan akhir dari segalanya. Namun, yang perlu diketahui, tidak ada seorang pun yang tahu alasan itu sampai semua berlalu dan menjadi sebuah pelajaran yang tak ternilai harganya. Kenyataan yang terjadi dalam hidup ini seperti mimpi, benar dan salah, baik dan buruk, cinta dan benci. Semua hal itu akan terkubur seiring berjalannya waktu dan menghilang tanpa meninggalkan jejak. Tidak ada yang bisa tahu apa yang akan terjadi dalam hidup ini. Perempuan dengan rambut cokelat tergerai itu berjalan dengan tergesa-gesa seakan ia sedang dikejar sesuatu. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat menaiki eskalator, tangga berjalan. Pandangannya langsung tertuju pada dua perempuan yang sedang duduk bertopang dagu sambil mengaduk minuman coffe latte miliknya. "Maaf ya. Gue telat," ucapnya meminta maaf. "Kalian mau ngomongin apa sih? Emang penting banget ya?" "Duduk dulu kali, Vei." Rahma menepuk pelan kursi di sebelahnya yang kosong. "Gue nggak ada waktu," "Cuma bentaran doang." Mau tidak mau Vei duduk di samping Rahma. Lebih tepatnya Vei duduk diantara Rahma dan Livi. "Jadi, kalian mau ngomongin apa? Gue cuma punya waktu 30 menit." "Sebegitu sibuknya ya elo?" tangan Livi masih sibuk mengaduk-aduk minumannya. "Gue nanti malem ada acara." "Terus?" Vei memerhatikan alat pengukur waktu yang melingkar pada pergelangan tangannya. "Gue nggak ada waktu, Liv." Bagi Vei, setiap waktu yang berlalu itu sangat berharga. Dan ia tidak mau waktunya terbuang percuma. Waktu adalah emas, itulah prinsipnya. "Gue mau nanti lo dateng," "Kan lo tau sendiri gue nggak bisa." "Bisa nggak sih sekali ini aja?" pinta Rahma. "Lo jarang banget ikut hangout sama kita lagi." Vei menghela napasnya secara kasar. "Kehidupan gue udah beda sama kalian berdua." "Gue tau," "Gue nggak bisa lagi berfoya-foya bareng kalian berdua," bola matanya menunduk memerhatikan tali sepatunya yang terlepas. "Gue sibuk cari uang untuk nyambung kebutuhan hidup gue." "Gue tau," "Kalo kalian berdua tau kenapa kalian masih pengin gue ikut hangout bareng kalian?" tanyanya dengan suara serak, sekuat tenaga ia berusaha agar tidak menangis sekarang ini. "Kalian tahu nggak sih? Gue juga pengin kayak kalian berdua. Jalan, nonton, pergi ke sekolah tanpa harus memikirkan apa yang terjadi besok, sedangkan gue? Gue masih harus mikir untuk ngelakuin itu. Gue besok makan apa? Gimana besok gue bayar sekolah? Apa yang harus gue lakuin besok?" "Kita tau, Vei." Livi meraih tangan Vei dan menggenggamnya seakan ingin memberikan kekuatan pada perempuan itu. Kekuatan untuk sabar menghadapi apa yang terjadi dalam hidupnya. Livi tahu kehidupan Vei dengan dirinya sangat jauh berbeda. "Berulang kali kita pengin bantu elo. Dan lo selalu nolak. Kenapa sih lo nolak?" "Karena gue masih bisa berusaha dengan kedua tangan gue," air mata Vei tertahan pada pelupuk matanya. Hal yang paling Vei hindari di dunia ini adalah menangis. Ia bukan tipe perempuan yang cengeng, itu yang selalu di tekankan pada dirinya sendiri. "Gue berusaha kuat, tapi pada akhirnya gue rapuh." Rahma dan Livi yang berada di samping Vei pun langsung memeluknya. Vei bisa merasakan pelukan hangat dari dua sahabatnya itu. "Maafin kita berdua, ya." Rahma dan Livi saling berpandangan. "Kita cuma pengin lo bisa ikut seneng-seneng kayak dulu lagi." "Acaranya di mana?" "Di kelab biasanya," jawab Rahma. "Lo mau dateng?" Vei mengangkat bahunya. "Nggak tau juga. 90% gue nggak bakalan dateng." Livi mendengus. "Yaelah... gue kira lo mau ikut." Vei terkekeh pelan. "Mungkin gue dateng pas kalian berdua udah pada balik ke rumah." "Kerjaan lo nambah lagi?" "Nambah dua," Vei mengangkat jari telunjuk dan tengahnya membentuk angka dua. "Cuma pas weekend aja sih." "Kalo lo butuh bantuan bilang. Biar kita bisa bantu." "Itu mah pasti," tangan Vei terjulur meneguk coffe latte. "Udah berapa lama di sini?" "Baru aja," "Baru dua jam," Seketika itu ia tersedak. "Dua jam?" "Udah biasa kita mah," Vei meringis. "Maaf," lalu ia berdiri, membenarkan letak slingbag miliknya. "Waktu gue udah abis. Gue balik dulu." "Buset dah... kita nunggu dua jam dan sekarang lo mau pergi gitu aja? Ck..ck..ck.." Rahma berdecak. "Kayak orang penting aja lo." Tambah Livi. ---------- Hidup ini memang harus dijalani sepenuh hati. Apa pun yang terjadi dalam hidup ini, sesulit apa pun itu, hidup ini akan terus berjalan. Dalam hati ingin sekali menyerah, tapi ia tidak ingin menyerah. "Maaf, Pak," ucap Vei seraya membungkuk. "Saya tadi salah." Kuping Vei terasa panas dan gatal. Saat ada seseorang yang sedang mengomelinya, ia akan menunduk dalam diam. Sambil sesekali meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya. Padahal, ia hanya melakukan kesalahan kecil, tapi mengapa kesalahan kecil itu seakan dibesarkan-besarkan oleh pemilik restoran tempat Vei bekerja saat ini. Uang bisa memperdaya seseorang. Uang jugalah yang menjadi tolok ukur dari kekuatan seseorang. Seseorang yang mempunyai uang banyak, alias kaya adalah orang dengan kekuatan yang kuat dan sulit untuk dikalahkan. Sedangkan seseorang yang mempunyai uang sedikit, alias kurang mampu seperti Vei adalah orang dengan kekuatan yang lemah dan sangat mudah dikalahkan. Yang punya banyak uang ialah pemenangnya, hampir dalam segala hal di dunia ini. "Kamu dipecat." Bola mata Vei terbelalak kaget. Kalimat itu adalah kalimat yang paling tidak ingin Vei dengar saat ia melakukan kesalahan dalam pekerjaan. "Pak, maaf. Tapi, say----" "Kamu diam. Dan sekarang silakan keluar dari restoran saya." Vei tahu orang kaya selalu bertindak seperti saat ini. Semena-mena, keras kepala, tidak mau mendengarkan orang lain, dan berhati dingin. Vei membungkuk, memberi tanda hormat untuk yang terakhir kalinya pada pemilik restoran itu. Meskipun, dalam hati ia ingin sekali mengumpat sejadi-jadinya. Cepat-cepat Vei pergi dari ruangan itu untuk meredakan amarah batinnya. Percayalah. Hidup seseorang di dunia ini tidak ada yang mudah. Semua orang pasti pernah mengalami masa sulit, masa kelam, masa sedih, masa senang, dan masih banyak lagi masa-masa lainnya yang dilalui oleh seseorang. Kepala Vei menengadah ke atas langit, menatap bintang yang berkelap-kelip. Jutaan bintang di langit yang berwarna biru pekat itulah yang menemani setiap langkah Vei saat ini. Di saat seperti ini, Vei sangat merindukan kedua orang tuanya. Sangat. Andai Papa sama Mama masih ada di dunia ini. Batin Vei. Pa, Ma, aku kangen. Itu yang selalu dikatakan Vei berulang kali dalam hatinya. ---------- "Otak gue rasanya kek mau pecah." "Kok bisa?" "Lo nggak lihat ada asep di atas kepala gue ini?" "Enggak," jawabnya polos. "Emang ada asepnya? Kok gue nggak lihat?" Laki-laki yang masih mengisap rokok di tangannya itu mengumpat sejadi-jadinya. "Gue heran. Kok bisa sih lo pacaran sama Rahma dengan tingkat kecerdasan elo saat ini?" "Gue terlalu cerdas, ya?" "Iya, terlalu cerdas. Sampai-sampai gue nggak habis pikir sama isi di otak lo itu." "Isinya sama kayak---" "Udah... udah... nggak usah dibahas," Dani menghentikan percakapan keduanya. "Lo tau sendiri kan Ribut kek gini itu karena dia lagi nggak dapet jatah dari si Rahma. Makanya otaknya rada konslet," ucapnya setengah berbisik pada Atta. "Nggak dapet jatah?" tanyanya. "Gampang, tinggal cari lagi aja." "Malem ini kita pesta. Kalo bisa sampai pagi." "Pesta pala lo peyang!" Atta memberi jitakan keras pada kepala Dani. "Kita baru aja UN. Asep di kepala gue aja belum ilang. Eh, lo ngajak pesta." "Lah justru itu, Nyet!" Dani ganti menjitak kepala Atta. "Habis UN kita perlu refreshing. Cari yang seger-seger. Dugem-dugem gitu." Ribut menepuk kedua pundak sahabatnya itu. "Gue ada ide." "Apa?" "Nanti malem kita adain pesta," Atta dan Dani hanya bisa menghela napas. Ribut memang mempunyai perilaku yang berbeda dari yang lainnya. Ia bisa menjadi dewasa dalam waktu yang relatif singkat, tapi ia juga bisa merubah perilakunya itu dengan cepat. "Tadi si Dani juga ngomong gitu kali, Nyet!" "Kita bakal adain pesta. Nanti gue bakal undang semua cecan-cecan. Terutama Rahma," ucapnya sembari memperlihatkan senyumnya yang melebar. "Sama temennya juga. Itu.. siapa sih namanya? Aduh... gue lupa." "Vei?" "Iya!" Ribut membenarkan. "Vei namanya. Tuh cewek cantiknya kelewatan." "Woi! Sadar woi! Lo udah punya Rahma, masih aja cari yang lain." "Hehehe..." Ribut terkekeh geli mengingat kecantikan alami yang terpancar di wajah Vei. "Please, nggak usah ngajak Rahma apalagi sama temennya. Lo tahu sendiri kan Adek gue tuh bawelnya minta ampun." "Yaelah, Ta." Ribut mendengus. "Gue kan ngajak Rahma sama Vei bukan ngajak Adek lo." "Sama aja, g****k!" tangan Atta terjulur, ingin menjitak kepala Ribut. Namun, laki-laki itu menghindarinya. "Adek gue sama Rahma sama temennya satu lagi tuh... siapa namanya tadi?" "Vei," jawab Dani. "Lah itu maksud gue... mereka bertiga itu selalu bareng-bareng. Nggak mungkin Rahma nggak ngajak Adek gue." "Bener juga sih," Dani menganggukkan kepalanya. "Di mana ada Adek lo... di situ ada El. Pasti." "Kok jadi bawa-bawa si El sih?" "Abisnya tuh cowok resek." "El itu enggak resek. Dia cuma rada alay sih." "Terus aja belain Adik ipar lo itu." "Idih... Adik ipar dari Hongkong? Kita cuma tetanggaan aja kali." Tangan Atta meraih ponsel Ribut. Sejak tadi Atta memerhatikan Ribut yang selalu aja memainkan ponselnya. Laki-laki itu membaca beberapa pesan antara Ribut dengan Rahma. "Anjir lo! Udah gue bilang nggak usah ngajak Rahma. Lo batu, ya!" Ribut mengangkat kedua bahunya. "Tenang. Gue juga ngajak Vivi kok." Atta langsung bungkam saat Ribut menyebutkan nama Vivi. ---------- Alunan musik dengan volume yang memekikkan telinga memenuhi tempat hiburan itu. Lampu yang kerlap-kerlip menghiasi ruangan. Ada beberapa orang yang asyik b******u, berdansa, atau hanya sekadar ke sana untuk meneguk minuman pahit yang bisa membawanya ke dalam dunia lain. Melupakan sedikit masalah yang sedang dihadapinya saat ini. "Jauhin tangan lo!" Atta memperingatkan Dani yang mulai menggoda Livi. Livi tidak tahu sudah berapa gelas minuman keras yang ia minum. Yang jelas ia mulai merasakan pusing di kepalanya. Livi memang perempuan yang tidak kuat jika terlalu banyak minum minuman beralkohol. Ya, seperti saat ini. "Bang Atta, pulang, yuk!" ajak Livi. Atta yang sedang menggoyangkan badannya bersama perempuan yang bisa dibilang sexy pun mengabaikan ajakan adik perempuannya itu. "Mending pulang bareng Abang aja." Tangan Dani mulai mencoba meraba-raba bagian tubuh Livi. Perempuan itu menundukkan kepalanya sembari memegangnya kuat-kuat. Dunianya seakan berputar-putar. Livi mendongak, mencari keberadaan Atta. Ia mengabaikan rayuan-rayuan laki-laki yang ada di sana termasuk rayuan dari Dani. "Bang... ayok pulang..." Livi merengek pada kakak laki-lakinya itu. Keadaan Atta saat ini sama seperti Livi. Laki-laki itu juga sudah mabuk sekarang. Malah bisa dibilang ia lebih mabuk dari Livi. Atta menarik tangan Livi, menyuruhnya duduk. "Lo duduk di sini. Diem aja." "Livi pengin pulang, Bang. Pusing." "Bentar lagi." Atta mulai berdansa lagi, meninggalkan Livi yang duduk sendirian. Perempuan itu bangkit lalu menarik ujung baju Atta. "Bang, pulang!" Atta menggeleng-gelengkan kepalanya mengikuti alunan musik yang sedang diputar. Ia mengabaikan tarikan-tarikan di ujung bajunya. "Bang! Livi pengin pulang, ayok!" Atta mengabaikan Livi. "Bang!" "Bang Atta!" Livi tetap mencoba menarik perhatian Atta. "Diem! Lo bisa diem nggak?" "Kepala Livi pusing, Bang." "Lagian siapa suruh sih lo ikut dugem di sini? Nyusahin orang aja." Atta menarik tangan Livi kasar membuat perempuan itu merintih kesakitan. "Lepasin, Bang!" suara bentakan dari seseorang yang dikenalnya itu membuat Atta melepaskan tarikan tangannya pada Livi. "Pelindung elo udah dateng nih." "Nggak usah kasar sama cewek bisa nggak sih?" Atta mendorong tubuh Livi, membuat perempuan itu terhuyung ke depan tepat pada d**a bidang milik seseorang yang dikenalnya itu. "Anterin dia pulang. Nyusahin aja di sini." Setelah mengatakan itu Atta berlalu pergi. Livi menyunggingkan senyumnya. "Pelindung gue udah dateng." "Udah gue bilang! Nggak usah ke tempat kayak gini. Nggak usah dugem." "El... kepala gue pusing." Penglihatan Livi mulai kabur. Kepalanya saat ini benar-benar terasa pusing sekali. "Lo ke sini sama siapa?" "Sama Rah... ma." "Di mana dia?" Livi menunjuk tempat gelap yang berada di kelab itu. El tahu betul apa yang sedang dilakukan Rahma di tempat gelap seperti itu. Satu kaki Livi melangkah maju lalu memeluk El erat. Untuk beberapa saat El terdiam merasakan hangat pelukan Livi dalam dekapannya. Namun, itu hanya terjadi sebentar. Karena Livi langsung jatuh pingsan dalam pelukannya. Cepat-cepat El menggendong Livi dan membawanya keluar dari tempat yang pengap itu. Bersamaan dengan keluarnya El dan Livi dari sana ada perempuan dengan rambut cokelat tergerai yang baru saja memasuki kelab itu. ---------- Perempuan itu mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan dua sahabatnya. Sebenarnya tempat itu termasuk tempat asing baginya. Meskipun, sebelumnya ia sudah pernah ke sana, tapi ini sudah sekian lama perempuan itu tidak ke tempat seperti itu lagi. Seperti sekarang ini. Bola mata perempuan itu terhenti pada sosok laki-laki bertubuh jangkung. Laki-laki yang dikenalnya. Kenal di sini maksudnya, hanya sekadar kenal nama, tidak lebih dari itu. Entah keberanian dari mana ia mendekat ke arah laki-laki itu. "Kak..." sapaan lembut darinya membuat laki-laki itu menoleh. "Livi di mana?" tanyanya to the point. Laki-laki itu membuang pandangannya, melanjutkan aktivitasnya. Mengabaikan perempuan berambut cokelat yang berada di sampingnya. "Vei... lo di sini?" "Eh, iya, Kak." Vei tersenyum canggung pada Dani. "Lo ada perlu sama Atta? Mending lo duduk di sana dulu." Dani menunjuk sebuah sofa yang terletak tak jauh dari tempatnya. Vei menurut. Ia melangkahkan kakinya dan duduk di sofa itu. Pandangan mata Vei menunduk, tidak ingin melihat betapa banyaknya orang yang sedang b******u di sekitarnya saat ini. "Lo haus?" pertanyaan Dani itu membuat Vei sedikit mendongak. Dani menuangkan minuman berwarna bening seperti air putih ke dalam dua gelas. Satu gelasnya sudah habis ia teguk. "Lo mau?" Vei menggeleng lagi. Ia hanya memerhatikan Dani yang sedang minum minuman keras itu. Cukup lama Vei duduk di sana. "Ngapain lo di sini?" tanya Atta. Tangannya mengambil satu gelas minuman keras yang baru saja dituangkan oleh Dani. "Eng... gue lagi nyari Livi, Kak." Atta tidak bersuara lagi. Laki-laki itu sibuk meminum minuman keras. Padahal kondisinya saat ini sudah terbilang dalam keadaam mabuk berat. "Lo haus, Vei?" Dani bertanya saat ia melihat gelagat Vei seperti orang yang kehausan. "Sedikit, Kak." Vei memegangi tenggorokannya. Dani menyodorkan segelas minuman yang sedari tadi dituangkannya untuk Atta. "Ada minuman yang non-alkohol nggak, Kak?" Itu merupakan pertanyaan yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa di tempat seperti itu ada minuman non-alkohol? Jawabannya jelas tidak ada. "Bentar, gue ambilin dulu," kata Dani beranjak dari tempat duduknya. "Kak, Livi ada di mana?" Atta tidak menjawab pertanyaan Vei itu. Laki-laki itu hanya bergumam tidak jelas. "Nih," Dani membawa segelas air putih dan memberikannya pada Vei. Vei langsung meneguk air putih itu "Kok air putihnya pahit sih, Kak?" Dani hanya bisa tersenyum menyeringai. Minuman yang baru saja diminum Vei bukanlah air putih baisa. Itu termasuk ke dalam minuman berakohol. Meski Vei hanya meminumnya sedikit, tapi ia bisa merasakan dengan jelas efek setelah meminum minuman itu. "Kok gue pusing, ya? Gue pengin tidur." Vei mabuk. "Gue juga," kata Atta. Atta juga mabuk. "Kak Livi, ada di mana?" Vei masih ingat betul apa yang membuatnya berada di sana saat ini. Ia ingin menghabiskan waktu bersama dua sahabatnya, Livi dan Rahma. "Lo mau ketemu Livi?" "Iya," "Ikut gue!" Atta menarik tangan Vei. Membawanya ke tempat yang jauh dari kebisingan saat ini. Vei benar-benar jadi perempuan yang penurut. Ia mengkuti setiap langkah Atta. Vei seperti sedang berada di alam bawah sadarnya. Ia tidak sadar jika saat ini tengah berada di dalam kamar hotel. Iya, kamar hotel yang berada dalam kelab itu. Ia hanya berdua bersama Atta. Berdua saja. Tidak ada orang lain lagi. "Livi di mana, Kak?" "Di rumah?" Atta memiringkan kepalanya. Vei mengernyitkan keningnya, bingung. "Hah?" "Livi udah pulang sama El," Vei mencoba mencerna apa yang Atta ucapkan saat ini. "Terus Rahma di mana?" "Rahma?" laki-laki itu menyipitkan matanya. "Lagi ngasih jatah buat pacarnya." Kepala Vei seperti dihantam oleh sesuatu yang keras, sampai-sampai ia merasakan pusing yang luar biasa saat ini, mungkin efek dari minuman tadi. "Sekarang giliran lo yang ngasih jatah ke gue." Atta merapatkan tubuhnya pada tubuh Vei. Membuat tubuh Vei menegang. "Kak... Kak Atta mau... nga...pain?" tanyaVei dengan gugup. "Mau puasin nafsu gue." Bersamaan dengan itu Atta memegang dagu Vei. Perempuan itu tahu jika Atta sebentar lagi akan melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Maka dari itu, ia mencoba melepaskan diri dari Atta. Vei meronta, tapi usahanya itu sia-sia. "Bisa diem nggak?!" Atta malah semakin mencengkeram dagu Vei. Niat awal Vei datang ke kelab itu adalah ingin menghabiskan waktu bersama dua sahabatnya. Sudah lama sekali Vei tidak melakukan hal itu. Namun, mengapa ia malah berakhir dengan berduaan di kamar hotel dengan Atta? Yang terjadi saat ini adalah sebuah kesalahan. Atta memagut bibir mungil Vei. Menjelajahi setiap inci rongga mulut Vei. Perempuan itu hanya bisa pasrah terhadap semua perlakuan Atta terhadapnya. Laki-laki bertubuh jangkung itu mengakhiri pagutan bibirnya saat dirasa ia perlu menghirup oksigen. Napas keduanya sama-sama memburu. Terburu oleh hawa nafsu yang membelenggu. Vei pikir, jika ia membiarkan Atta mencium dirinya, laki-laki itu akan mengakhiri semuanya. Ternyata, semua itu tak cukup sampai di situ. Atta merasa kurang dan ingin melakukan lebih terhadap tubuh Vei. "Kak... ja...ngan... gue mohon." "Diem!!!" Atta malah membentak Vei dan merebahkan perempuan itu dengan kasar ke tempat tidur. Atta menanggalkan pakaiannya secara cepat. Seakan terburu-buru oleh sesuatu. Memang benar, ia sedang terburu. Terburu oleh hawa nafsunya sendiri. "Kak Atta... jangan lakuin ini." Tubuh Vei mulai bergetar. Bagaimana tidak bergetar? Ini adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi pada dirinya. Kedua tangan Vei terangkat ke atas. Atta mengunci sisi kiri dan kanan Vei dengan kedua tangan kokohnya. Vei bisa melihat tatapan gelap dari mata Atta. Laki-laki itu benar-benar menginginkan tubuhnya. Vei tahu itu. Ada perasaan bersalah saat Atta menindih tubuh Vei dengan kasar yang terkesan sangat menginginkan tubuhnya. Meskipun, itu benar adanya. Sebenarnya, Atta juga tidak ingin melakukan hal ini. Namun, ia juga dipaksa. Dipaksa oleh nafsu syahwatnya. "Maaf. Tapi, gue harus ngelakuin ini." Setelah mendengar perkataan Atta itu, Vei menutup matanya secara perlahan. Bagi Vei, melawan pada saat seperti ini adalah hal yang sia-sia. Percuma. Vei tidak yakin setelah ia melewati satu malam panjangnya bersama Atta di sini, apakah malam-malam berikutnya akan tetap sama? Bersambung...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

See Me!!

read
87.9K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

Pernikahan Kontrak (TAMAT)

read
3.4M
bc

Sekretarisku Canduku

read
6.6M
bc

Call Girl Contract

read
323.1K
bc

I Love You Dad

read
283.2K
bc

Will You Marry Me 21+ (Indonesia)

read
614.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook