Chapter 3

1117 Words
PoV : Susan Di tempatku berdiri, kutajamkan pendengaranku. Apa sebenarnya yang dikatakan Rosa sebelum meninggal? Sehingga Jovi nampak begitu serius dengan perbincangan ini. Cuaca dilangit semakin terlihat panas, begitu pula dengan atmosfir pada mereka berdua.   Kiasanku sepertinya berlebihan, tapi mereka memang terlihat semakin menegang. Kebungkaman Jovi yang menimbulkan rasa penasaran juga membuatku geram. Hingga akhirnya dia mulai membuka suara. Inilah saatnya Jovi mengatakan kalimat Rosa sebelum meninggal.   “Rosa bilang, ‘Fadli sangat mencintaiku. Dia bilang dia tidak akan meninggalkanku, apapun yang terjadi. Tapi ketika aku diperkosa,  dia bahkan tidak ada untuk menolongku. Aku ingin dia datang meyakinkanku jika aku tidak pernah kehilangan harga diriku. Tapi semakin hari, dia justru semakin menjauh dariku. Padahal kejadian ini salah satunya disebabkan oleh dia. Jika saja malam itu dia tidak egois dan mau menemuiku, ini semua tidak akan terjadi. Mungkin aku memang bodoh, berharap dia memperlakukanku seperti tokoh dalam cerita n****+, drama atau komik. Tapi, selama apa aku menunggu dia, dia tidak datang juga. Sampai aku dihadang tiga pemuda yang tak kukenal. Aku sudah mencoba melawan, di jalanan itu sepi, dan tidak ada siapapun. Kecuali aku dan mereka bertiga. Sampai kejadian itu menimpaku.’ Rosa menangis tersedu. Apakah yang dikatakan Rosa itu benar, Fad?”   Jadi, itu sebabnya Jovi begitu keras menyalahkan Fadli. Karena kejadian itu terjadi saat Rosa hendak menemui Fadli. Percakapan mereka menarik. Wajah Fadli juga terlihat semakin pucat saja. Itu artinya semua yang dikatakan Jovi benar.   “Kenapa diam saja, Fad? Remaja-remaja seperti kita itu memang mudah terdoktrin sama cerita-cerita fiksi. Yang dilakukan Rosa itu sebuah bukti kalau dia mencintai kamu. Jujur saja, jika Rosa bukan sepupuku, aku akan menyatakan cintaku padanya. Aku akan merebutnya dari pelukanmu. Yang bilang padanya tidak akan pergi untuk meninggalkan itu bukan kamu saja. Aku juga bilang padanya. Bedanya, kamu mengucapkannya sebagai omong kosong. Sedangkan aku mengucapkannya dalam hati dengan tulus.”   “Jovi, aku mohon jangan terus menyudutkanku. Kamu hanya tidak tahu, aku memang tidak akan meninggalkannya. Aku hanya sedang butuh waktu untuk sendiri.” Fadli mulai menangis.   Jovi tersenyum licik lagi. Dia bertanya, “Sampai kapan? Itu hanya alibimu saja. Nyatanya kamu tidak akan bisa menerimanya lagi kan.”   “ITU TIDAK BENAR!” Fadli meninggikan suaranya.   “Santai. Kendalikan emosimu. Aku juga sudah mengendalikan emosiku. Padahal bisa saja sedari tadi aku menghajarmu. Hah, aku hanya mau bilang sama kamu, aku itu tidak akan pernah meninggalkan Rosa. Dan aku akan ikut kemanapun dia pergi.”   Aku tidak bisa mempercayai pendengaranku. Setelah Jovi berdiri menghela napas, menatap langit. Mungkinkah yang dimaksudnya ‘ikut kemanapun dia pergi’ itu, dia akan bunuh diri juga?   “Apa maksudmu?” Fadli terlihat gemetar.   “Saat aku melakukan hal yang sama seperti Rosa, ingatlah! Bahwa sebenarnya kamu telah menghilangkan dua nyawa. Kecuali kalau kamu juga mau ikut. Rosa pasti senang jika ternyata kamu tidak mengingkari janji.” Matanya terlihat berbinar saat kalimat itu terucap. Bisa jadi Jovi adalah Iblis berwajah malaikat. Dia mengucapkan kalimat manis yang sebenarnya menyakitkan.   “Aku. A ... a‒ak ... aku ...” Fadli gelagapan.   “Kamu tidak bisa melakukannya? Aku sudah bisa mengiranya. Kalau begitu, tunggu berita kematianku, ya. Nanti aku juga akan menyampaikan pada Rosa jika kamu tidak bisa ikut. Ya sudah, sebenarnya aku mengajakmu bertemu di sini hanya ingin menyampaikan itu. Bye.”   Jovi meninggakan Fadli dengan sebekas luka yang mendalam. Di balik Fadli yang diselimuti wajah muram, Jovi terlihat tersenyum bahagia. Seolah semua sudah dia sampaikan dengan jelas. Fadli terlihat memegang erat kepalanya kemudian dia menangis. Kedua lututnya bertemu tanah. Tak lama dia berteriak dan menangis.   Aku yang menyaksikan itu hanya bisa menggigit lidah, menutup mulut dengan kedua tangan, dan  tidak ingin mereka tahu jika aku mengupingnya sedari tadi.   ***   Pikiranku kalut oleh Jovi, apakah benar bahwa dia akan bunuh diri? Kalau dia mengikuti apa yang Rosa lakukan, itu artinya dia juga akan terjun dari ketinggian. Itu artinya, mungkin saja dia akan lompat dari atap gedung sekolah ini. Tunggu! Berita kematian? Itu artinya dia akan segera melakukannya. Apa yang harus aku lakukan?   “Susan,” Soraya menghampiriku. Dia adalah dalang dari perisakan yang aku alami selama ini. Dia yang mulai mengungkit masa laluku hanya karena sebuah kesalahan kecil. “Happy birthday, ya. Sebentar lagi bel pulang. Aku pengen kasih kamu hadiah,” katanya tersenyum mencurigakan.   “Apa?” aku menelan ludahku. Rasanya ada sesuatu yang dia rencanakan. Bodoh sekali! Kenapa tadi aku bertanya ‘apa?’ padahal seharusnya kukatakan saja, “Tidak, terima kasih.”   Bel berbunyi seraya suara gaduh dari murid-murid yang keluar kelas. Tanganku ditarik oleh Aya. Dia menggandengku berjalan dengan sangat erat sampai aku tidak mampu melepaskan gandengan ini.   “Mau kemana kita?” tanyaku dengan perasaan gelisah.   “Santai saja. Kita akan merayakan ulang tahunmu. Semua teman-teman kita juga ikut kok.” Sontak aku menengok, mereka semua memang berjalan di belakang kami.   Sampailah kami di halaman belakang sekolah. Gandengan tangan itu Aya lepaskan. Dia mendorongku sekuat tenaga sampai aku tersungkur. Saat aku menoleh, sebuah telur melayang ke arahku. Selanjutnya ada terigu dan air yang baunya sangat menyengat.   Kudengar mereka tertawa begitu lepas. Tidak hanya itu, mereka juga menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Mereka bilang bahwa mereka ikut berbahagia untuk usiaku yang ke tujuh belas.   Tapi BOHONG!   Mereka semua hanya mengolok-olok. Aku bahkan tidak habis pikir. Bagaimana seseorang bisa berbahagia saat orang lain begitu menderita. Dunia ini memang semakin kejam. Terlebih dengan adanya dunia maya. Penindasan terasa semakin berlipat ganda.   Aku bisa menyimpulkan sekarang. Kini orang jahat bukan hanya mereka yang bersenjatakan pistol atau benda tajam. Namun, mereka menggunakan ponsel sebagai alat untuk menyebarkan potret memilukan dari seseorang. Contohnya ya seperti aku ini. Mereka menayangkan perisakan ini secara langsung di i********:.   “Hei, Susan. Lihat sini!” Aku bahkan sudah tidak tahu lagi siapa yang memanggil.   Mereka saling bergantian mengolok diriku dengan menodongkan ponsel. Sedangkan pandanganku buram, kepalaku juga sakit. Aku menahan beban dari amarah yang kutahan agar tidak meledak. Setelah mereka puas, mereka meninggalkanku yang lemah dan lusuh hanya seorang diri.   Di mana para guru?   Mereka harus tahu akan kejadian memilukan ini. Mereka harus tahu jika didikan mereka itu gagal. Tiga puluh satu murid kelas 3-F sama sekali tidak bermoral. Tega merisak salah satu bagian tubuh dari kelas itu. Tapi, bagaimana jika para guru menilainya dari jumlah? Tentu aku akan kalah dari yang ketiga puluh satu itu. Aku akan dianggap sebagai seseorang yang mencoba mencari perhatian saja.   AKU TIDAK PEDULI!   Langkah kaki yang begitu berat membawaku masuk lagi ke pekarangan depan. Beberapa siswa-siswi yang melihatku bergidik. Aku terus berjalan ke tengah lapangan. Sinar matahari menggantung tepat di atas kepala, aku meratap sedih.   Pandanganku terangkat menatap langit. Sinarnya membuat mataku silau hingga berkunang-kunang. Di atap gedung kulihat seeorang berdiri. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Aku hanya melihat raga yang nampak hitam. Tak lama dia menjatuhkan dirinya. Darah pun mengalir disekitar badannya. Semua orang berteriak histeris dan berlari. Tapi aku hanya berdiri mematung, kakiku terasa kaku.   Fadli? Itu Fadli? Dia bunuh diri? Tapi kenapa bukan Jovi?   Aku melihat Jovi berdiri di antara beberapa orang yang berteriak histeris dan ketakutan itu. wajahnya datar, sesekali terlihat senyum puas. Aku semakin tidak mampu bergerak dan mendengar suara-suara mereka. Yang ada dalam mataku hanya mayat Fadli, dan Jovi yang berdiri dengan kedua tangan yang melipat.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD