CD 3

2126 Words
Sehari sebelumnya.... Debbina datang ke rumah sang sahabat dengan langkah tergesa-gesa. Iya dong, brownies itu paling enak kalau dimakan hangat-hangat. Apalagi yang bikin sang sahabat, dimana bahan dan cara bikinnya limited edition. Sebab Linzi tidak sering membuat langsung bolu atau semacamnya. Tunggu mood dulu baru sang sahabat akan membuat makanan dengan cita rasa manis itu. "Pokoknya, lo itu emang juara banget kalau bikin yang bisa buat gemuk ini, Zee," ucap Debbina dengan mulut penuh karena sedang mengunyah brownies. Linzi terkekeh kecil melihat pipi Debbina yang menggelembung, "Telan dulu, Bii, browniesnya, baru bicara." Setelah itu Linzi geleng-geleng kepala. Selama kenal Debbina, sang sahabat memang tidak bisa jauh dari makanan yang manis-manis. "Habis, ini enak loh, Zee." Lagi-lagi Linzi geleng-geleng kepala. Tubuh mereka meskipun hampir sama, tapi Debbina akan cepat gemuk kalau makan tidak terkontrol. Beruntung gadis berpenampilan tomboi itu rajin olahraga, kalau tidak. "Eh, ada Debbina, ya?" Aiza baru saja turun dari lantai dua rumah mertuanya. "Hai, Mbak Aiza," sapa Debbina ceria, "Cie pengantin baru, yang habis bulan madu." Bibir Aiza cemberut mendengar godaan Debbina, tapi dalam hati tetap berbunga-bunga. Dia berjalan mendekati dua gadis yang masih duduk di ruang makan. "Udah lama sampai, Bii?" tanya Aiza sembari mendudukkan diri di salah satu kursi. "Lumayan lama, Mbak, makanya brownies bikinan Zee hampir habis karena aku," jawab Debbina santai. Meskipun Debbina selalu membahasakan diri lo-gue ke Linzi atau Derry, sang kakak, tapi dia tidak mungkin membahasakan seperti itu ke Aiza. Sebab Debbina menghormati wanita cantik berambut ikal pirang itu. Ke Derry juga menghormati, namun mereka sudah terbiasa dengan bahasa lo-gue setiap hari. Jadi jangan heran ya.... "Oh iya, Mbak ada oleh-oleh juga buat kamu. Nanti ingatkan Mbak ambil ya, kalau kamu mau pulang." "Wah, terima kasih, Mbak." "Ah, Mbak besok mulai kerja?" tanya Linzi ke kakak iparnya. Hubungan Aiza dan Libra sudah cukup lama, makanya Linzi lebih santai dengan kakak iparnya. Aiza mengangguk dengan senyuman, "Iya, Zee. Banyak banget kerjaan yang harus Mbak kerjakan beberapa hari ke depan." Debbina mendesah panjang, "Kalian enak banget ya, sudah pada kerja. Lah aku, udah seperti pengacara saja. Pengangguran banyak acara." Aiza dan Linzi saling pandang lalu kembali menatap Debbina. "Kamu kan aku tawarin kerja di tempat aku, tapi kamu sendiri yang nggak mau," ucap Linzi sedikit cemberut. Debbina meringis tidak enak ke Linzi, "Gue nggak mau ngerepotin lo, Zee." Linzi memutar bola mata jengah. Padahal sedari dulu mereka bersahabat, dia tidak pernah pamrih ke Debbina. Tapi sahabatnya itu masih saja segan terhadapnya. "Bagaimana kalau kamu kerja di tempat adik Mbak, Bii?" tawar Aiza, "Kebetulan, yang Mbak dengar dari Madre, adik Mbak sedang butuh sekertaris. Kali aja kamu berminat. Nanti Mbak bilang sama tangan kanan adik Mbak." Mata Debbina berbinar seketika. Akhirnya ... pengangguran tomboi tapi cantik yang tersemat dari Derry sebentar lagi akan hilang. "Beneran, Mbak?" "Hooh, adik Mbak sedang cari sekretaris. Kamu mau?" "Mau, Mbak, mau banget," jawab Debbina antusias. "Ok, nanti Mbak kasih tahu ke dia." Debbina mengangguk, "Terima kasih, Mbak." "Sama-sama." Debbina tidak bertanya lebih lanjut siapa, dimana tempatnya. Dia tidak mau banyak tanya. Iya dong, dia tidak mau terlalu banyak omong. Sudah ditolong, harus berterima kasih dan terima apa adanya, yang terpenting pekerjaan itu halal. Dan ... karena calon atasannya adalah adik Aiza, jadi sedikit lega. Pasti adik Aiza juga sama-sama baik orangnya nanti. Maka jangan heran kalau Debbina melakukan apapun dengan semangat empat lima. Bangun pagi, menggunakan pakaian formal dan demi calon pekerjaannya, dia memakai rok span berwarna hitam. Tapi itu sebelum tahu wajah dan calon atasannya. Sekarang Debbina tahu siapa adik Aiza. Tanpa sadar dia mengumpat apa saja, dan sampai membawa nama-nama binatang yang ada di kebun binatang. Pria itu, astaga... Kalau kaya gini, haruskah dia mundur sekarang? Tapi bagaimana dengan Aiza yang sudah mau menolongnya. Sementara dua orang yang ada di satu ruangan bersama Debbina ternganga tidak percaya dengan apa yang dikeluarkan oleh bibir gadis cantik itu. Baru kali ini mereka bertemu dengan seorang cewek yang langka. "Lo!!" hardik Debbina menuding ke arah satu cowok yang ada di depannya. Napasnya memburu karena habis mengumpat tadi. Bagaimana bisa pria di hadapannya adalah ... tunggu dulu, berarti pria itu adalah adik Aiza. Astaga ... adakah yang lebih mengejutkan dari ini? Pria itu bangun dari duduk, kemudian berjalan memutari meja, lalu menyenderkan p****t ke meja dengan kedua tangan masuk ke saku celana bahan yang ia kenakan. "Kenapa?" tanya pria yang tak lain adalah Axel Xavier Baldwin. Adik bungsu Aiza Xaviera Baldwin. Pemilik Baldwin Entertainment, tempat Debbina akan melamar pekerjaan hari ini. Axel juga tidak menyangka bahwa gadis yang akan melamar kerja menjadi sekretaris adalah gadis unik yang menabraknya waktu di resepsi pernikahan sang kakak. "Gue nggak jadi kerja di sini!" Debbina berbalik badan ingin meninggalkan tempat itu. Emosinya menjadi naik seketika setelah melihat wajah pria blasteran yang ada di depannya. "Kalau kamu berani keluar dari tempat ini, saya akan tuntut kamu," ucap Axel seenaknya. Debbina menghentikan langkah, lalu berbalik badan menatap tajam Axel lagi, "Atas dasar apa lo mau tuntut gue?" tanya Debbina, emosinya semakin bertambah mendengar ucapan seenak jidat pria di hadapannya. "Kamu tadi habis mengumpat, menyumpahi, bawa semua nama yang ada di kebun binatang, kan? Kamu tidak tahu siapa saya? Kalau saya tidak terima, saya bisa loh ... tuntut kamu. Kebetulan dia adalah." Axel melirik Edward yang masih ada di situ, "Tangan kanan sekaligus pengacara saya." Edward terbatuk-batuk mendengar ucapan sang atasan. Apa sang atasan ingin menyerahkan dirinya pada gadis bar-bar itu. Mengorbankan nyawanya, istilahnya. Debbina mengeram. Ingin rasanya mengumpat lagi, tapi mencoba menahannya. "Kenapa Anda yang mau menuntut saya? Harusnya saya dong, yang menuntut Anda," desis Debbina tajam, menekankan setiap kata. Axel tidak peduli dengan kekesalan gadis di depannya. Baru kali ini dia bertemu dengan seseorang yang berani menantangnya. Seorang gadis lagi. Sangat menarik. Dan dia tidak akan melepaskannya begitu saja. "Saya punya uang, terserah saya dong." "Dasar sombong!" Dalam hati Edward ketar-ketir melihat perdebatan sengit antara sang atasan dengan gadis itu. Semoga saja tidak ada sesuatu yang buruk terjadi. Misal, bangunan tempat mereka bekerja rubuh. Misalnya loh, ya... Axel terkekeh pelan, "Emang saya sombong. Ada masalah dengan kamu?" Debbina melengos, tapi dalam hati mengutuk pria blasteran di depannya. Belum juga menjadi atasannya sudah bersikap semena-mena. "Bagaimana kalau saya tawarkan win-win solution?" Debbina mendengus lalu kembali menatap Axel, "Saya tidak mau," jawab Debbina sembari membusungkan d**a menantang Axel. Dia menggunakan bahasa formal karena takut dituntut Axel lagi. "Jangan langsung menolaknya. Dengar dulu apa isi dari perjanjian yang saya tawarkan." Debbina kembali mendengus. Ternyata kakak beradik Baldwin itu sangat berbeda. Padahal Aiza sangat baik, tapi adiknya bikin orang mengelus d**a. "Saya butuh sekertaris. Kamu datang ke sini karena butuh kerjaan, kan? By the way ... gajih di sini juga lumayan gede. Sekitar sepuluh juta bahkan bisa lebih untuk seorang sekretaris. Sangat besar dibandingkan dengan perusahaan lain. Bagaimana? Kamu terima tawaran saya?" 'Sepuluh juta lebih, Bii,' batin Debbina histeris. Nominal yang sangat besar baginya, karena uang jajan yang dikasih perbulan dari kedua orangtuanya tidak sebesar itu. Dia bukan Linzi yang kaya raya. Untuk mendapatkan uang sebesar itu jelas dia harus bekerja siang malam. Tapi ini, hanya sebagai sekretaris saja digajih sebanyak itu. Sangat menggiurkan sekali. Namun Debbina tidak mau langsung tunduk pada pria yang menatapnya dengan seringai paling menyebalkan di dunia versinya. Debbina mendengus, tampan tapi kelakuan kaya setan buat apa, "Saya tidak mau!" Axel berdecak kesal, ternyata gadis di depannya benar-benar keras kepala, "Terserah, berarti ini kamu saya tuntut ya?" Debbina memejamkan mata. Napasnya kembali memburu karena pria itu, astaga ... dia itu bukan cewek yang suka ditindas. Ah ... dia punya ide. Debbina membuka, lalu menatap Axel, "Baiklah saya mau. Tapi hanya beberapa bulan saja. Saya tidak mau menjadi babumu," sinis Debbina. Axel menghedikan bahu tidak peduli. Terserah mau beberapa bulan, toh gadis itu tetap bekerja dengannya. "Edward, siapkan kontrak kerja besok." "Baik, Pak Axel." "Engsel?" Axel melotot, sementara Edward menahan tawanya. Ini pasti bakalan seru. Selama ini tidak ada yang berani menantang sang atasan. "Sembarangan! Catat nama saya baik-baik di kepala kamu, nama saya Axel Xavier Baldwin, bukan Engsel!" Debbina memutar bola matanya malas, lalu melipatkan kedua tangan di d**a, "Terserah saya mau bilang apa," jawab Debbina membuat Axel mengeram kecil. "Lagian ngapain juga pake kontrak kerja segala," lanjut Debbina sedikit sinis. "Ya kali aja kan, kamu berubah pikiran nanti. Jadi saya bisa tuntut kamu saat itu juga, makanya saya akan membuatkan kontrak kerjasama antara kita berdua." Debbina menurunkan kedua tangan, lalu berkepal menahan diri untuk tidak mencekik pria songong yang ada di depannya. "Ok, besok saya tunggu kamu datang jam delapan pagi. Awas saja kalau kamu tidak datang." "Terserah Anda." Debbina berbalik badan, untuk meninggalkan ruangan Axel. Daripada dia meledak kan, lebih baik pergi saat itu juga. "Dasar Engsel setan," gerutu Debbina masih terdengar oleh Axel dan Edward. "Apa!!" Debbina membuka pintu ruangan Axel, lalu menutup pintu itu sedikit membanting. Biarin, dia sedang kesal sekarang. Axel mengeram, "Gadis itu...." "Pak, apa Bapak yakin akan memperkerjakan dia sebagai sekertaris Bapak? Dilihat dari kejadian ini saya cukup ragu," ucap Edward, setelah melewati drama sang atasan dengan Debbina. "Yakin dong!" jawab Axel. "Tapi, Pak, dia---" "Memang itu yang saya cari. Daripada cewek kecentilan yang bekerja dengan saya sebelumnya, lebih baik gadis yang seperti itu." Edward mengatupkan bibirnya seketika. Apa yang dikatakan oleh sang atasan memang ada benarnya juga. Sebelumnya Axel selalu memecat sekretaris baru karena terlalu kecentilan. Tapi yang ini beda. Masalahnya, dia takut kalau suatu saat nanti akan terjadi perang dunia ketiga antara sang atasan dengan gadis itu. Di sisi lain juga, Aiza sendiri yang meminta agar gadis itu diterima di perusahaan sang atasan. Haduh ... semoga tidak ada kejadian yang tidak mengenakkan di kemudian hari. "Urus semua berkasnya, Edward! Pastikan kamu dapat nomornya juga. Biar saya yang kirim pesan ke dia secara pribadi," perintah Axel datar. Axel sedikit kesal karena gadis itu memanggilnya 'Engsel'. Astaga ... awas saja, dia akan memberi perhitungan dengannya. Edward mendesah, lalu mengangguk patuh, "Baik, Pak, akan saya laksanakan." Setelah Edward pergi dari ruangannya, Axel menyeringai setan. Baru kali ini dia mendapatkan musuh yang sepadan dengannya. Dan sepertinya akan menjadi kesenangan tersendiri melihat wajah kekesalan gadis tomboi itu. Suara pintu yang terbanting keras terdengar di rumah Pratama. Nyonya rumah pemilik rumah Pratama meringis kecil melihat putri bungsunya, sementara Derry hanya melongo tidak percaya. Baru saja tadi pagi sang adik pamit dengan senyum merekah, karena akan melamar pekerjaan. Tapi sekarang, adiknya pulang ke rumah dengan raut wajah kesal dan membanting pintu kamar. "Bang, ada apa dengan adikmu?" tanya sang Mama, setelah menoleh ke Derry. Derry menghedikan bahu tidak tahu, "Entahlah, Ma. Abang juga tidak tahu. Nanti Abang bertanya dengan anak bungsu Mama." Sang mama mengangguk lalu mendesah. Sebenarnya tidak heran lagi dengan pribadi kedua anaknya. Debbina itu tidak seperti gadis pada umumnya yang suka bersolek. Justru anaknya selalu berpenampilan maskulin dan pemberani. Di kamar, Debbina mengambil bantal guling dan bantal guling itu menjadi sasaran tinju gadis cantik dengan rambut sebahu itu. "Dasar Engsel setan." Debbina terus memukul-mukul bantal, lalu merebahkan diri di kasur. Debbina menatap langit-langit untuk berpikir. Tidak lama kemudian, seringai licik mulai muncul di bibir Debbina, "Ok, kalau itu mau lo. Gue akan menjadi sekretaris yang bisa diandalkan." Debbina tertawa setan setelah itu. "Welcome to the hell, Engsel setan. Siap-siap saja." Setelah makan malam keluarga, Debbina sudah berada di kamar tiduran sembari berkirim pesan dengan Linzi. Linzi bertanya bagaimana dengan lamaran kerjaannya. Apa diterima di perusahaan Axel atau tidak. Linzi jelas tahu adik kakak iparnya si pemilik Baldwin Entertainment itu, begitu pula sebaliknya. Axel juga sudah tahu Linzi adik ipar kakaknya. Debbina harus jawab apa selain 'Ok', meskipun dalam hati tidak rela dan menahan kesal. Karena Axel yang memaksanya. Sudahlah, terima nasib saja. Tapi bukan Debbina namanya kalau tidak membuat Axel kesal selama kerja nanti. Begitulah yang ada di pikiran Debbina. Dia harus membuat Axel kesal, biar sama-sama emosi. Bukan begitu, Pemirsa? Beberapa menit kemudian, saat dia masih berkirim pesan dengan Linzi, ada nomor baru yang masuk dan mengirim pesan ke ponselnya. Debbina mengernyit, tapi kemudian dia mendengus sebal. Jelas dia tahu siapa yang kirim pesan padanya. Axel Xavier Baldwin. "Dasar pria arogan. Ih, kok bisa ya, Mbak Aiza punya adik menyebalkan seperti Engsel setan ini," gerutu Debbina kesal. Di situ Axel berpesan, dia harus datang pagi-pagi karena besok ada jadwal di luar. "Terserah lo deh, Pak Axel Yang Maha Perintah. Kita lihat saja, siapa yang akan bertahan dalam perang ketiga ini." Sementara di tempat yang berbeda. Axel terkekeh geli setelah mengirim pesan ke Debbina. 'Debbina'. Ternyata nama gadis tomboi itu Debbina. Tadi dia mengirim pesan ke Debbina untuk berangkat pagi-pagi karena ada acara di luar. Padahal bukan itu sebenarnya. Axel sudah merencanakan sesuatu yang akan membuat wajah gadis itu memerah karena kesal. Dia jadi tidak sabar menunggu esok. Akhirnya ... dia menemukan seseorang yang membuat moodnya naik di kantor nanti. "Gadis tomboi, kamu tidak akan bisa lari dari saya," ucap Axel dengan seringai licik di bibirnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD