CD 9

1766 Words
"Abang ngapain di sini?" tanya Debbina, keningnya berkerut dan tatapan bertanya-tanya, sebab dia tidak menyangka bertemu dengan abangnya sekarang. Ini kan masih jam kantor dan tidak mungkin Derry berkeliaran sekarang. Ok, jabatan Derry di perusahaan bukanlah karyawan seperti dirinya, tapi sebagai pemilik perusahaan meskipun tidak sebesar Baldwin Entertainment atau perusahaan lainnya. Perusahaan Derry bergerak di bidang penerbitan, dan dia lah yang menjadi bos-nya. Eits, bukan itu masalahnya. Memang Derry seorang pemimpin, tapi biasanya jam kantor pasti berada di ruangannya. Tidak mungkin berada di kedai kopi sekarang. Bye the way ... Baldwin Entertainment, dan perusahaan Derry tidak terlalu jauh jaraknya. Maka dari itu, jangan heran kalau tadi pagi dia diantar sang abang kerja. Sekalian karena satu arah. Namun bukan Derry namanya kalau tidak gratis. Karena minta ditraktir digaji pertamanya nanti. Menyebalkan! "Calon kakak iparmu pengen kopi," jawab Derry sedikit berbisik dan dengan raut wajah cuek. Kening Debbina semakin berkerut mendengar jawaban sang abang. Aneh lah, padahal sang abang bisa menyuruh salah satu karyawannya, kenapa pilih membeli sendiri. Kecuali kalau--- "Abang lagi dihukum sama dia," lanjut Derry dengan raut wajah di datarkan, dia pun tidak peduli kalau sekarang adiknya sedang menahan tawa. Memang itu kenyataannya. Debbina yang tadi menahan tawanya, berdehem sebentar. Tidak enak kan tertawa karena ini tempat umum, lagipula wajah sang abang sedikit menyeramkan. "Dihukum kenapa? Abang ngelakuin apa, sampai dihukum sama Mbak Lia? Pasti hal aneh, 'kan?" tanya Debbina dengan mata memicing. Tidak mungkin Derry tidak melakukan hal-hal aneh, karena setahunya calon istri dari sang abang meskipun baiknya tidak ada lawan, tapi ia pencemburu akut. Sedikit saja bikin ia salah paham, auto tidak bisa tidur tenang malamnya. "Tadi ada seorang wanita, bisa dibilang salah satu penulis dan ia sempat-sempatnya menggoda Abang, pas sekali Mbak Lia baru sampai mengantarkan makan siang. Alhasil, seperti inilah. Padahal wanita itu tidak sampai meraba-raba tubuh Abang, tapi Mbak Lia tetap salah paham." Debbina seketika terkikik geli. Mohon maaf, sudah tidak bisa dibendung lagi tahan tawanya. "Berarti itu derita Abang." Debbina mengambil pesanan kopi sang atasan yang sudah siap. "Terima kasih, Mbak," ucapnya dengan senyuman. "Sama-sama." "Tumben lo beli kopi?" Kali ini Derry yang bertanya. Sebab setahu dirinya sang adik tidak terlalu menyukai kopi, atau bisa dibilang jarang sekali dia melihat Debbina minum kopi. Apalagi ini jam kantor. Tidak mungkin adiknya beli kopi untuk diri sendiri. Ditanya seperti itu, jelas Debbina mendengus kesal. "Apa tahu kan gue nggak suka kopi? Alasan gue beli kopi buat atasan gue di kantor. Dah, gue pergi dulu, Bang! Gue nggak lama si bos sinting itu semakin menjadi-jadi gilanya." Setelah menjawab pertanyaan Derry, dengan langkah kaki tergesa-gesa Debbina pergi dari kedai kopi, meninggalkan Derry yang sedang ternganga sekarang. 'Bos sinting?' Derry mendadak geleng-geleng kepala. Wah, adiknya memang ajaib sekali. "Mas, mau pesan apa?" Derry sedikit tersentak, karena tadi fokusnya memikirkan Debbina. Dia pun memesan kopi untuk sang calon istri tercinta. Mungkin dia akan cari tahu siapa bos yang dipanggil Debbina 'bos sinting'. Ah, dia jadi teringat sesuatu sekarang. Sebelum Debbina memutuskan pergi kerja di Baldwin Entertainment besok pagi, sore harinya setelah pulang dari perusahaan itu, sang adik marah-marah tidak karuan di kamar. Dia jadi semakin penasaran sekarang? Apa ada dengan beruang galak itu? Sementara Debbina, sama seperti waktu pergi berangkat beli kopi, kembali pun masih dengan bibir misuh-misuh. Dia bahkan tidak peduli, ada beberapa pegawai Baldwin Entertainment yang menatap heran dirinya. Ani way ... apa pekerjaan sekretaris itu sama seperti asisten pribadi sang atasan, atau lebih kasarnya seorang 'babu'? Dia pernah nonton di Drama Korea, What's Wrong With Secretary Kim. Dimana Kim Mi So yang jadi sekretaris sang atasan selain kerjanya sesuai jabatan, dia juga seorang pesuruh. Mungkin dia adalah 'Kim Mi So' di dunia nyata. Tapi ... ada tapinya. Dia ogah menjadi Kim Mi So di akhir episode, yaitu menikah dengan sang atasan. Tahu diri, dan dia tidak mau jatuh cinta pada pria semenyebalkan Axel Xavier Baldwin. Beruntung Axel tidak se-narsis atasan Bu Kim, yang selalu bilang 'Aura!'. Axel mengucapkan 'Aura!' bisa mendadak gumoh dia nanti. Dan tidak jelas tidak mau terjadi padanya. Debbina menarik napas panjang setelah sampai di depan pintu ruangan Axel. Kemudian dia masuk setelah mengetuk pintu. Tentu saja atas seizin Axel. Ternyata sang atasan sedang fokus membaca berkas. Semoga saja setelah pulang dari kedai kopi Axel agak waras sedikit. "Ini kopinya, Pak," kata Debbina sembari meletakkan kopi di atas meja Axel. "Ok, Terima kasih," balas Axel tidak menatap Debbina. Dia sedang fokus dengan berkas di tangannya. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak." "Hem." Setelah menutup pintu ruangan sang atasan, Debbina mengelus dadanya pelan. Syukurlah, sesuai seperti yang diharapkan tadi, Axel tidak menyebalkan. Misal, menyuruh dia pergi ambil sendok dan menyuruhnya membuang buih-buih yang ada di kopi, misalnya loh ya... Tapi kalau seperti itu sih sang atasan terlalu kebangetan. Hari ini boleh tidak sih dia ngelunjak mengharapkan sesuatu. Soalnya pulang nanti Linzi sang sahabat ingin mengajaknya pergi ke pusat perbelanjaan. Biasa, gadis cantik itu ingin membeli sesuatu untuk toko kuenya. Dia juga sudah bilang ke sang abang, tidak perlu menjemputnya pulang, karena sudah janjian dengan Linzi. Tinggal minta izin saja ke sang atasan pulang cepat. Semoga sih boleh. Kalau tidak ... dia akan mengutuk Axel jadi batu. Hiks Tidak terasa waktu sudah menunjukkan jam setengah lima. Tandanya dia harus siap-siap pulang. Kebetulan Linzi juga dalam perjalanan ke Baldwin Entertainment. Otomatis dia harus segera minta izin pulang ke Axel. Dengan perasaan berdebar-debar seperti akan bertemu dengan sang kekasih tercinta, Debbina memberanikan diri untuk mengetuk pintu sang atasan lagi. Dalam hati berdoa, semoga dia minta izinnya berjalan mulus seperti jalan tol. Kalau pun ada hambatan, semoga saja hanya kerikil kecil saja. "Permisi, Pak," ucap Debbina setelah berdiri tegak menghadap ke Axel. "Kenapa?" tanya Axel. Sekarang dia sudah lumayan santai, tidak seperti tadi. Pekerjaan menumpuk dan kalau tidak dikerjakan hari ini, dia yakin malam nanti tidak bisa tidur tenang. "Pak, saya ada janji dengan Zee--- eh, maksud saya Linzi, boleh saya pulang sekarang?" "Linzi?" "Iya, Linzi Sudjono, Pak?" "Owh, ok. Silahkan. Salam buat adik ipar Sis Aiza itu," kata Axel santai. Jelas dia tahu siapa Linzi Sudjono. Si Princess Sudjono yang kemunculannya dinanti-nantikan oleh awak media, terutama pemburu berita. Mereka sangat penasaran dengan gadis itu. Dia sendiri, kalau Linzi bukan adik iparnya sang kakak, tidak bakalan tahu alias penasaran juga. Meskipun sudah saling kenal, Axel hanya beberapa kali bertemu dengan gadis cantik berambut panjang itu. Dia bisa melihat sifat Linzi sangat pendiam, berbeda sekali dengan gadis di depannya yang bar-bar. Anehnya, dia malah menyukai sifat aneh Debbina, daripada sifat kalem Linzi. Kening Debbina berkerut saat melihat Axel menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pak, benaran boleh?" Axel berdehem sebentar, mencoba menghilangkan perasaan aneh yang tiba-tiba menghinggapi hatinya. "Iya, silahkan. Asalkan semua pekerjaan kamu beres, saya tidak masalah." "Wah, terima kasih, Pak. Bapak tenang saja, pekerjaan sudah beres semua," jawab Debbina dengan senyum mengembang. Axel tanpa sadar ikut tersenyum melihat senyum Debbina. Sebab baru kali ini Debbina tersenyum, dan dia juga baru tahu gadis itu mempunyai lesung pipi di sebelah kiri. Loh, jantung, kenapa kamu malah bekerja extra setelah melihat senyum Debbina? "Kalau begitu saya permisi dulu, Pak. Ah, ternyata Bapak baik sekali." Debbina sedikit membungkukkan badan, lalu pergi dari ruangan Axel. Dia bahkan tidak peduli saat ini keadaan sang atasan seperti patung hidup tengah kota. Kalau bukan karena sedang terpana dengan senyuman Debbina, yakin sekali Axel akan mencibir perkataan gadis itu yang bilang dia sangat baik. Iya lah, bilang seperti itu. Kan ada maunya. Jadi jangan heran. Debbina turun sedikit berlarian setelah pintu besi terbuka yang sudah berhenti di lantai dasar. Dia tidak mungkin membiarkan Linzi terlalu lama menunggunya. Seorang Princess dibiarkan menunggunya, apa tidak kurang ajar, ya meskipun Linzi pasti tidak mempermasalahkan hal itu sih. Tapi tetap saja. Tempat ini bukan tempat biasa. Ini Baldwin Entertainment, sebuah agensi para artis atau aktor. Takutnya ada wartawan yang bersembunyi untuk mencari kabar artis terbaru. Apalagi ada artis dan aktor di agensi Axel yang ramai digosipkan sedang berkencan. Setelah melihat mobil hitam milik Linzi terparkir di seberang jalan, Debbina mempercepat langkahnya. Kemudian Debbina membuka pintu, dan duduk di kursi belakang. Di mana sang sahabat sudah duduk anteng, sementara di depan kursi pengemudi ada salah satu supir keluarga Sudjono, dan Karen. Pengawal wanita yang dua puluh empat jam menjaga putri bungsu majikannya. "Tolong jalan, Pak!" perintah Linzi mendapat anggukan dari sang supir dan jawaban singkat saja. Tidak banyak bertanya, karena beliau sudah tahu tempat yang akan dituju sang putri. Tentu saja karena sudah diberitahu Karen. "Kamu kelihatan banget habis lari-lari," ucap Linzi, setelah beberapa menit membiarkan Debbina menarik napas sebanyak-banyaknya. Dia bahkan membuka sebentar kaca mobil, agar ada udara luar masuk. "Gue nggak mau lo menunggu terlalu lama di situ. Tahu sendiri kan itu tempat apa? Takutnya ada wartawan yang bersembunyi di area situ, gue takut persembunyian lo terbongkar, makanya gue gerak cepat." Linzi tersenyum mendengar jawaban Debbina. Padahal dia biasa saja. Toh, selama belum ada orang yang tahu identitasnya, dia masih aman. "Terima kasih pengertiannya, Bii." "It's okay, itu yang lo mau kan? Jadi sebisa mungkin gue menghargai. Oh ya, tadi lo ada titipan salah dari Pak Engsel." "Pak Engsel?" Kening Linzi mendadak berkerut. Ini dia salah dengar apa bagaimana. "Iya Pak Axel, Zee. Dia tadi titip salam buat lo," jawab Debbina santai, tidak peduli dengan ringisan Linzi. Jelas tahu, pasti Linzi tidak enak kalau Aiza dengar. Ya walau bagaimanapun, Axel adalah adik bungsu wanita berambut pirang itu. "Owh, ya ampun, Kak Axel? Aku kira siapa loh tadi." "Hooh. Dia benar-benar bos menyebalkan, meskipun kadang ada sisi baiknya juga." "Berarti tidak menyebalkan dong?" "No, no, no! Bagi gue dia adalah makhluk paling menyebalkan selain Derry," keukeh Debbina tidak peduli. Linzi mengatupkan bibirnya seketika. Sementara Karen hanya geleng-geleng kepala kecil. Walaupun masa pandemi atau tidak, tapi ketiga gadis itu tetap memakai masker. Debbina bahkan ada memakai topi putih kesayangannya. Topi itu selalu dia bawa di tas gendong miliknya. Mereka berjalan berdua di depan, sedangkan Karena tetap mengekor di belakang mengawal dua gadis itu. "Entah kenapa, setiap kali gue jalan sama lo seperti sekarang, kaya ada yang ngikutin dan mantau kita dari jauh deh, Zee," celetuk Debbina tiba-tiba. Linzi tersenyum kecil. Saat ini mereka sedang duduk di salah satu restoran langganannya setelah berbelanja perlengkapan membuat kue. "Kamu terlalu overthinking, Bii. Emang siapa yang lagi mantau kita? Kurang kerjaan banget berarti dia," tukas Linzi tidak peduli. Dia tidak takut karena dikelilingi gadis tangguh, Debbina dan Karen yang berjarak tidak jauh darinya. "Feeling gue sih ini. Tapi lo juga nggak bisa sepelekan feeling gue, Zee. Bisa dibilang gue lebih peka terhadap kejahatan dari perasaan seseorang." Linzi terkekeh geli, lalu geleng-geleng kepala. Seperti yang dikatakan Debbina, memang ada yang sedang memantau mereka dari tidak terlalu jauh. Ia berpenampilan seperti Debbina. Memakai masker dan topi putih. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD