Maria memandangku dengan sepasang matanya yang kosong seolah dia sedang melamunkan sesuatu. Saat itu, suasana hatiku begitu campur aduk karena akhirnya dapat bertemu kembali dengannya, dan suatu ketertarikan yang spesial juga aneh ini membuatku menundukkan kepalaku. Tak lupa aku menciumi seluruh bagian tubuhnya yang selama ini hanya ada dalam imajinasi terdalamku.
Aku bercinta dengannya seperti orang gila dan dia melayani gairahku dengan sangat baik, mengizinkanku menikmati tubuhnya yang sempurna.
Kuakui, pengendalian diri Maria sangatlah baik. Wanita itu membiarkan aku menindih dan mendominasi tubuhnya dengan patuh. Selama melakukannya, aku merasa jiwa kami berdua seolah saling terhubung. Aku merasa yakin kalau dia masih mengenalku dan belum melupakanku. Pastilah dia tahu kalau aku adalah remaja ingusan nan serampangan yang dulu bersedia melakukan apa saja untuknya.
Tubuhnya mengejang dan bergerak seirama dengan gerakanku. Aku pun melampiaskan segala hasratku tanpa ragu kepadanya. Dengan cara ini, aku mampu bercinta dengannya sebanyak empat hingga lima kali berturut-turut. Meski demikian, aku masih belum bersedia melepaskannya. Aku merasa seperti sedang bermimpi.
Ekspresi wajahnya biasa-biasa saja, menunjukkan kalau dia rela melepaskanku. Namun, begitu aku sudah siap dan menginginkannya lagi, dengan tanpa ragu-ragu dia memenuhi permintaanku. Gairahku terhadapnya begitu membara. Aku tidak tahu apakah ini karena memang tubuhnya sangat penting bagiku ataukah ini semua hanyalah perwujudan dari keinginan hatiku yang terdalam untuk bercinta dengannya?
Akhirnya, setelah aku mencapai klimaks sekali lagi, aku merasa kehabisan tenaga dan sulit bernapas. Tenggorokanku terasa kering dan aku pun menjatuhkan diri ke ranjang dengan napas terengah-engah. Sama sepertiku, Maria juga tergolek lemas di ranjang dengan napas tersengal. Nampaknya, dia sudah mencapai batasnya.
Namun, aku masih tidak rela melepaskannya. Tidak mudah bagiku untuk bertemu dengannya setelah lima tahun berpisah dan sekarang aku tidak ingin kehilangan dirinya lagi. Ketika aku tengah bersiap untuk bercinta sekali lagi dengannya, terdengar suara ketukan di pintu.
“Ray, kamu sudah selesai belum? Waktunya sudah habis.” Dari luar pintu, aku bisa mendengar suara Indra yang mendesakku.
Dengan enggan aku menoleh dan menatap Maria. Tidak ada sedikit pun guratan emosi di wajahnya.
“Apakah kamu bisa memberikan nomor ponselmu?”
Pada saat aku menatap matanya lagi, pada detik itu juga aku merasa kalau aku tidak terlalu membencinya.
Maria menyalakan rokoknya, kemudian menggelengkan kepalanya, “Tuan, di peraturan tertulis bahwa saya tidak boleh memberikan nomor ponsel pada pelanggan. Selain itu, Anda juga salah orang. Saya bukan Maria.”
Setelah berkata demikian, dia mulai mengenakan pakaiannya. Aku berpakaian dan melangkah keluar dengan linglung. Isi otakku dipenuhi dengan banyak pertanyaan tentangnya. Mengapa dia bersikap seperti ini terhadapku? Mengapa dia tidak mau mengaku kalau dia adalah Maria? Jika selama ini dia merasa bersalah padaku dan tidak berani untuk menemuiku lagi, lalu mengapa dia bersedia untuk bercinta dengan liar denganku?
Karena banyak pikiran, aku hampir terjatuh ketika menuruni tangga sehingga membuat Indra sampai dua kali membantuku. Pada akhirnya, aku pun terjerembab ketika mencapai anak tangga terakhir. Indra terkejut ketika melihat kondisiku. Dia membelalakkan matanya dan bertanya, “Apakah wanita yang kamu tiduri barusan benar-benar sehebat itu?”
Aku tidak menjawab pertanyaannya karena aku ingin segera meninggalkan tempat ini. Namun, Indra malah semakin penasaran. Dia menarikku dan bertanya, “Ray, kamu tidak kelelahan karena bercinta sampai merasa nyaris mati, ‘kan? Kondisimu saat ini tidak seserius itu, ‘kan?”
Mendengar pertanyaannya yang penuh kecemasan, aku tersenyum pahit. Karena berpikir kalau aku tidak perlu menyembunyikan hal ini dari Indra, aku pun memberitahunya bahwa p*****r yang melayaniku tadi ternyata adalah Maria.
“Apa? Rupanya dia adalah Maria yang itu?” seru Indra terkejut.
“Ya.” Aku mengangguk.
Saat itu aku melihat urat nadi di wajah Indra menyembul keluar. “b******k, ternyata wanita yang tidur denganmu barusan adalah p*****r yang telah membuatmu dipenjara selama lima tahun! Aku akan menelepon seseorang untuk membereskannya!”
Sambil berkata demikian, Indra mengeluarkan ponselnya. Namun, aku buru-buru mencegahnya. Sambil menundukkan kepala, aku menjelaskan, “Sebenarnya, aku ingin berusaha memahaminya. Entah mengapa, hatiku mengatakan kalau aku tidak terlalu membencinya.”
Indra menatapku seolah aku adalah orang paling i***t di dunia dan memarahiku, “Sialan! Apakah kamu masih waras? p*****r itu telah mencelakakanmu! Dia telah membuatmu dipenjara selama lima tahun! Ditambah lagi, wanita jalang itu juga telah tidur dengan banyak pria. Tetapi, kamu masih bisa mengatakan bahwa kamu tidak membencinya? Hei, jangan bilang bahwa kamu ternyata juga masih menyukainya!”
Indra memarahiku untuk membuatku sadar, tapi aku juga tidak dapat mengontrol perasaanku. Meskipun telah membuatku dipenjara selama lima tahun, Maria adalah wanita pertama yang kucintai. Aku tidak mungkin memperlakukannya seperti orang asing. Lagi-lagi aku menundukkan kepalaku. Setelah terdiam beberapa saat, aku pun berkata, “Indra, kamu boleh memarahiku sampai kamu puas. Kuakui bahwa aku masih memiliki perasaan terhadapnya. Sekarang, aku hanya menginginkan nomor ponsel Maria. Tolong bantu aku untuk mendapatkannya. Kamu ‘kan kenal dengan wanita pemilik bisnis ini, jadi aku yakin kamu pasti bisa mendapatkannya.”
Aku merasa kalau perkataanku ini sangatlah merendah, bahkan aku benar-benar memohon kepadanya. Seumur hidupku, ini adalah pertama kalinya aku memohon bantuan seseorang. Ekspresi wajah Indra berubah dari terkejut menjadi takjub. Pada akhirnya, dia berkata dengan jengkel, “Lama-lama kamu akan mati di tangan wanita itu.”
Wajahku pucat pasi, aku mengira kalau Indra menolak permintaanku. Melihat kekalutanku, dia pun berkata lagi, “Kembalilah dulu ke klub, Ray. Aku akan mengurus soal masalah ini. Tenang saja, aku tidak akan melakukan apa pun terhadapnya. Kalau sampai aku berbuat macam-macam padanya, kamu pasti tidak akan mau bersahabat lagi denganku.”
Aku tersenyum masam. Dalam hati aku merasa bersyukur, lalu aku pun mengucapkan terima kasih. Indra malah membalas perkataanku dengan kata-kata yang kasar. “Kamu tidak mati saja aku sudah bersyukur!”
Setelah mengatakan itu, aku melihat Indra berbalik dan menaiki tangga. Begitu aku keluar dari perumahan itu, aku segera memanggil taksi. Selama perjalanan pulang, aku membuka jendela dan membiarkan embusan angin malam menerpa wajahku.
Saat itu aku sangat sadar, hanya saja pikiranku sangat kacau. Aku sedang memikirkan apa yang akan aku lakukan setelah aku mendapatkan nomor ponsel Maria. Lain halnya dengan Indra, aku sama sekali tidak khawatir tentangnya. Kalau dia sudah berjanji padaku, dia pasti akan menepatinya.
Setelah kembali ke klub, rasa lelah setelah bercinta beberapa ronde mulai terasa. Saat itu, aku hanya ingin segera naik ke kamarku, mandi, dan tidur. Resepsionis klub yang mengenalku langsung menyapaku. Aku hanya mengangguk singkat untuk membalasnya dan terus melangkah menaiki tangga.
Namun, begitu aku menginjak lantai dua, aku disambut dengan suara isak tangis yang pilu. Aku segera dapat menebak bahwa suara itu pasti adalah suara tangisan Lasmi. Sambil menaiki tangga, aku meliriknya. Lasmi sedang duduk di depan pintu kamarnya dengan kedua tangan memeluk lututnya. Dia menangis dengan sangat pilu.
Aku melihat kondisinya dengan lebih saksama. Pakaian dan rok yang dikenakannya telah robek di banyak tempat, sementara rambut panjangnya yang tergerai terlihat sangat berantakan. Kondisinya benar-benar teramat menyedihkan. Aku kembali teringat kalau Indra telah mendatangkan banyak tamu untuk dilayani olehnya. Meskipun tahu kalau dia sangat menderita, tapi entah mengapa aku tidak memiliki rasa simpati sedikit pun terhadapnya.
Namun demikian, aku juga paham. Meskipun nasibnya sangat malang, aku juga tidak dapat membantunya. Karena itu, aku memutuskan untuk tidak menghiraukannya dan melenggang pergi.
Hanya saja, saat melihatku lewat, Lasmi reflek menengadahkan wajahnya. Dia menatapku dengan matanya yang berlinang air mata. Ada sesuatu di dalam tatapannya yang membuatku merasa bingung.
Karena sejak semula aku memang memutuskan untuk tidak memedulikannya, aku pun meninggalkannya.
Tapi, Lasmi malah memanggilku, “Kumohon, tolong selamatkan aku … me-mereka semua bukan manusia …”
Alih-alih merespon, yang kulakukan hanya mempercepat langkahku.
“Tak kusangka kalau kau adalah pria sampah. Ternyata selama ini aku telah salah menilai orang …,” ujar Lasmi dingin.
Semakin aku mendengarkan perkataannya, semakin aku tidak memahaminya. Sesampainya di kamarku di lantai tiga, aku pun segera mandi dan berbaring di ranjang. Aku yakin kalau wanita itu benar-benar adalah Maria. Mimi hanyalah nama samaran yang dia gunakan untuk menyembunyikan identitas aslinya.
Beberapa tahun yang lalu, aku sampai memukuli ayahku demi Maria. Sampai saat ini aku tidak dapat melupakan rasa sakit yang kurasakan. Aku menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya kuat-kuat. Tidak lama kemudian, lantai kamarku sudah dipenuhi dengan puntung rokok yang berserakan.
Di malam yang sunyi itu, samar-samar aku masih bisa mendengar suara tangisan Lasmi. Meski aku merasa tertekan karenanya, aku tidak menyalakan rokokku lagi. Aku hanya menutup telingaku dengan bantal dan berusaha untuk tidur.
Keesokan paginya, begitu bangun, aku langsung turun dari ranjangku. Memikirkan kejadian semalam membuat rasa kantukku lenyap seketika. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku buru-buru turun dan mengetuk pintu kamar Indra.
Tidak lama kemudian, Indra membuka pintu. Ekspresi wajahnya terlihat lelah dan ada lingkaran hitam di matanya. Tampak jelas kalau dia kekurangan tidur. Indra menguap sambil merenggangkan tubuhnya dan berkata, “Lihat, masih pagi saja kamu sudah gelisah begini! Nih, aku sudah berhasil mendapatkan alamat Maria.”
Sambil berkata demikian, dia merogoh sakunya dan menyodorkan selembar kertas padaku.
Aku mengambil kertas itu dengan tangan gemetar. Aku dapat menemukan Maria dengan alamat yang tertulis di kertas ini. Aku tidak perlu takut kalau dia akan bersembunyi dariku.
“Jangan meneleponnya karena dia pasti tidak akan mengangkat teleponmu. Menurut saja padaku, langsung datangi dia di alamat ini dan kamu pasti akan bertemu dengannya.”
Aku mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, aku bergegas menuruni tangga dan keluar dari klub.