Kisah Adeeva
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis apartemen, memantulkan sinar lembut ke seluruh sudut ruangan. Di depan cermin besar yang tergantung di sudut kamar, Adeeva berdiri dalam keheningan. Matanya memandangi bayangan dirinya sendiri, terfokus pada perutnya yang sudah mulai membesar. Tubuhnya yang dulu ramping kini berubah, dengan lekukan perut yang tidak bisa lagi disembunyikan di balik pakaian longgar.
Tangannya perlahan menyentuh perut itu, jemarinya melingkar seolah berusaha memahami keberadaan sesuatu yang tumbuh di dalam sana. Ada perasaan aneh yang bercampur dalam dirinya: kehangatan, keterkejutan, tetapi juga kemarahan yang masih tersisa. Oh tolong lah. Usianya bahkan baru mau 20 tahun untuk menjadi seperti ini. Apa gak gila?
Adeeva menghela napas panjang, matanya masih terpaku pada bayangan di cermin. Pikirannya mengembara, membayangkan semua hal yang telah ia lalui dalam beberapa bulan terakhir. Bagaimana mungkin hidupnya berubah secepat ini? Ia cuma anak kuliahan yang harusnya bisa menikmati hidupnya dengan tenang kan? Tapi kenapa malah ajdi begini?
Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan kekesalan yang kembali muncul. Adeeva masih ingat bagaimana Athaya memohon padanya untuk mempertahankan kehamilan ini. Apa gak gila? Mungkin ia yang gila karena sudah mengabulkan permohonan itu.
Matanya kini menatap lurus ke dalam pantulan matanya sendiri, mencoba mencari jawaban yang selama ini ia hindari. "Apa aku benar-benar kuat menjalani ini?" bisiknya pelan, hampir tak terdengar di tengah suara samar kendaraan dari luar jendela.
Adeeva memalingkan wajah dari cermin, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang semakin menyesakkan. Tapi rasanya sia-sia. Bayangan tentang teman-temannya di kampus yang mulai menjauh, tatapan penuh bisik-bisik dari mahasiswa lain, dan kata-kata pedas yang ia dengar di lorong kampus terus terngiang.
Ia berjalan menuju sofa di ruang tengah, lalu duduk dengan tangan memeluk perutnya yang membesar. Air matanya sudah mulai menggenang di sudut mata. Ia ingat jelas percakapan yang tak sengaja ia dengar kemarin.
"Adeeva hamil?"
"Serius?"
"Ah masa?"
"Sama si Rakhan?"
"Ah yang bener?"
"Gak mungkin Rakhan begitu kan?"
Adeeva mencengkeram sudut bantal di sofa, berusaha menahan isak yang mulai keluar dari tenggorokannya. Tapi hatinya terlalu penuh, terlalu sesak untuk menampung semuanya. Air matanya akhirnya jatuh, mengalir deras di pipinya. Ia mencoba menghapusnya dengan ujung jari, tapi tangis itu justru semakin tak terkendali.
"Kenapa aku harus dengar semua itu?" gumamnya pelan di sela isak tangis. Dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang menghimpitnya dari dalam. Perasaan malu, marah, dan tak berdaya bercampur menjadi satu.
Gosip itu bahkan belum dimulai. Belum ada yang tahu ia hamil. Tapi ia sudah berpikir seburuk itu. Karena jujur, dari awal, ia memang sudah tak siap. Jadi, makin ke sini memmg makin terguncang.
Ia memeluk lututnya, merunduk di atas sofa, membiarkan tangisnya pecah tanpa peduli suara itu mungkin terdengar ke apartemen sebelah. "Kenapa aku harus jalani semua ini?"
Adeeva menggigit bibir bawahnya, mencoba meredakan emosi, tapi bayangan Athaya terus mengusik pikirannya. Ia ingat bagaimana Athaya bersikeras mempertahankan kehamilan ini, bagaimana lelaki itu memohon dan menjanjikan segalanya akan baik-baik saja. Tapi kenyataannya? Athaya memang ada di sampingnya, tapi itu tidak membuat semua gosip dan cemoohan di kampus hilang.
Adeeva menghela napas panjang di sela tangisnya. Ia tahu tidak ada jalan mundur. Anak ini adalah bagian dari dirinya sekarang, bagian dari kehidupannya yang tidak bisa dihapus atau diabaikan. Tapi bagaimana ia bisa terus bertahan, saat dunia di sekitarnya begitu kejam?
Isaknya perlahan mereda, tapi matanya masih basah. Ia menatap kosong ke jendela, ke arah langit Depok yang mulai memutih tertutup awan. Ia ingin pergi, lari dari semua ini. Tapi ke mana? Ia bahkan tak punya tempat untuk melarikan diri dari pikirannya sendiri.
Sementara itu, dii kampus, terutama di lingkungan Fakultas Kedokteran, suasana mulai riuh dengan satu topik hangat yang menjadi bahan perbincangan: kabar bahwa Adeeva hamil. Gosip itu menyebar dengan cepat, seperti api yang menjalar di padang rumput kering. Tak ada yang tahu pasti siapa yang pertama kali menyebarkan, tetapi nama Adeeva muncul di akun gosip kampus, lengkap dengan berbagai spekulasi dan komentar yang tak bisa dihentikan.
Akun gosip itu memposting sesuatu yang menggemparkan pagi itu:
Ada yang tahu soal mahasiswi Fakultas Kedokteran yang katanya hamil duluan? Dengar-dengar sih, kasusnya agak kompleks. Ada yang mau spill?
Komentar pun mulai membanjiri postingan itu.
Sumpaaaah?
Siapa? Siapa? Siapa?
Si AD bukan sih? Soalnya di fakultas gue, dia pernah ketahuan muntah-muntah beberapa bulan lalu!
Inisial AD yang dimaksud membuat semua orang jelas langsung mencari. Meski bukan persis inisial nama, tapi semua orang tentu langsung sadar siapa yang dimaksud karena kasus 'muntah-muntah' ini memang sempat heboh sefakultas. Bukan sehari atau dua hari. Tapi berhari-hari. Bahkan banyak yang mendadak menjadi cenayang dan menebak-nebak apakah Adeeva hamil. Dan yang tertuduh?
"Sumpah bukan gue! Gila aja! Gak mungkin lah gue kayak gitu!"
Satu-satunya cowok yang selalu terlihat dekat dengan Adeeva dan digosipkan punya asmara di kampus mereka ya Rakhan. Siapa lagi? Tapi cowok itu langsung membantah. Ia bahkan baru tiba di lobi kampus saat semua orang mendadak mendatanginya bak wartawan gosip.
"Kalo bukan lo siapa lagi? Lo doang yang bisa dekat dia!"
Tapi tentu saja cowok itu menolak mentah-mentah asumsi itu. Di sisi lain, Athaya yang baru tiba di kampus pun dikejutkan dengan kabar itu. Ia bahkan baru turun dari mobil, salah satu temannya mengabari gosip soal Adeeva hamil. Ia sempat terdiam. Setidaknya, untuk sepersekian detik. Hingga kemudian mendadak naik emosinya. Meski ia tentu tak marah pada si pembawa gosip. Namun kakinya langsung melangkah cepat menuju lobi. Ia hendak ke mana?
Kelas lah. Ia melangkah begitu cepat. Bahkan meninggalkan temannya di parkiran tadi. Saat tiba di kelas, Athaya masih diliputi rasa geram. Langkahnya cepat dan wajahnya serius, hingga teman-teman sekelasnya yang sedang berbincang pun terdiam ketika melihatnya masuk. Tapi tiba-tiba......
"Surprise!"
Mendadak terdengar teriakan keras diiringi suara tiupan terompet kecil. Athaya terhenti di ambang pintu, matanya melebar. Di tengah kelas, berdiri Shenzy bersama beberapa teman sekelas mereka, lengkap dengan kue ulang tahun kecil di tangannya.
Shenzy tersenyum lebar, memegang kue yang lilinnya masih menyala. "Happy birthday, Babyyyyyyy!" katanya ceria.
Athaya baru saja hendak memaksakan senyum melihat Shenzy yang berseri-seri di tengah kelas, lengkap dengan lilin menyala di atas kue kecil di tangannya. Ya karena semua orang menatapnya. Ia selalu begitu. Selalu tak enak hati. Tapi sebelum sempat ia melangkah lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara lantang dari belakangnya.
"ATHAYA, LO ANJING!"
Athaya refleks berbalik, hanya untuk mendapati sosok sahabatnya yang melangkah cepat ke arahnya dengan wajah penuh amarah. Kemudian......
Bugh!
***