Asa namanya. Nama yang tak biasa. Karena dimiliki oleh seorang laki - laki.
Asa, atau lengkapnya Abiasa Rukhi Lunarda, seorang pemuda 20 tahun. Seorang mahasiswa akademi keperawatan semester empat.
Asa memiliki tinggi badan di atas rata - rata orang Indonesia pada umumnya, yaitu 183 cm. Kulitnya putih bersih, dengan rambut hitam legam yang lurus. Kedua matanya memiliki sorot yang teduh, bibir yang ranum, dan hidung yang bangir nan indah. Asa adalah pemuda yang tampan.
Rata - rata mahasiswa sepertinya disibukkan dengan tugas kuliah, kisah romansa klasik, atau parah - parahnya ditambah bekerja paruh waktu. Atau parahnya lagi ditambah masalah keluarga, atau masalah sosial yang lain.
Asa ... yang berarti harapan. Sesuai arti namanya, orang tua pemuda itu menaruh harapan besar padanya. Ayah dan Ibu berharap kelak Asa akan menjadi anak yang membanggakan mereka, mengangkat derajat mereka, mengharumkan nama mereka.
Justru itu ... Asa merasa sangat terbebani.
Itu lah yang membuat Asa berbeda dari mahasiswa pada umumnya. Karena namanya, hidup terasa jauh lebih berat dibanding mahasiswa lain. Masalah yang ia hadapi terasa puluhan kali lebih berat dibanding teman - temannya.
Istilah dari Jawa mengatakan, kabotan jeneng. Atau dalam bahasa Indonesia arti dari namanya terlalu berat. Sehingga beban hidup si pemilik nama menjadi selaras. Memang itu tidak bisa dipikirkan dengan logika, hanya kepercayaan.
Seandainya masih kecil, mungkin Asa akan usul pada Ayah untuk ganti nama. Sayang, ia menghadapi hal ini ketika sudah kuliah. Akta kelahiran, ijazah TK sampai SMA, nama KTP, rekening bank, dan lain - lain, semua sudah menggunakan nama Abiasa Rukhi Lunarda. Pasti akan sangat repot jika ganti nama sekarang.
Membayangkannya saja, Asa sudah ingin muntah saking enegnya. Masalahnya sudah berat dan rumit, ditambah repotnya prosedur pergantian nama dan segala rentetannya, Asa merasa tak akan sanggup.
Terlalu berat. Asa tidak akan kuat. Minta bantuan Dilan pun sepertinya tak bisa. Mengingat Dilan adalah spesialis rindu.
Asa terkikik karena pikirannya sendiri. Sedikit oase di tengah tandusnya padang pasir. Sedikit hiburan di tengah lautan cobaan yang menerpa.
"Sa, diem - diem bae!" seru Ramzi, teman satu kos Asa. Ramzi baru saja masuk kamar sepulang kerja paruh waktu di Warung Gunung, salah satu rumah makan yang sedang hits di sekitar kampus.
"Udah pulang lo," sahut Asa.
Ramzi menelisik raut Asa. "Kenapa lagi? Muka kecut banget macem ketek gue!"
Asa mencebik. "Dari pada muka lo, pait kayak kenyataan hidup!"
Ramzi terbahak. "Eh, tapi gue serius nanya. Kenapa lo diem aja? Kenapa juga lo akhir - akhir ini selalu murung?"
Asa mengangkat bahu. "Perasaan lo aja kali, Zi. Gue nggak apa - apa, tuh. Lagian tadi gue lagi sendiri di sini, makanya diem. Ya kali ngomong sendiri? Lo pikir gue si Tajam apa?"
Tajam adalah nama orang gila yang terkenal di sini. Hampir seluruh mahasiswa mengenal Tajam. Karena ia sering kumat di sekitar kampus.
Kenapa dijuluki Tajam? Bukan karena giginya runcing sehingga terkesan tajam. Gigi laki - laki tua itu bahkan sudah ompong, tinggal gusi saja.
Tajam, singkatan dari tanya jam.
Ia dijuluki Tajam karena selalu menggunakan jam tangan ke mana pun. Entah dapat dari mana.
Makanya para mahasiswa selalu menggodanya dengam bertanya, "Sekarang jam berapa?"
Kemudian Tajam akan dengan sangat antusias melihat jam tangan mati yang melingkar di pergelangan tangannya, dan menjawab. "Jam papat!" Yang berarti jam empat. Selalu itu jawabannya, tak pernah ganti. Pasti saat masih waras dulu, Tajam punya kenangan yang memorable tentang pukul empat. Makanya selalu ia ingat sampai sekarang, bahkan ketika ia sudah hilang akal.
"Ya ... kali aja lo ternyata masih ada hubungan saudara sama Tajam, tapi lo nggak mau ngaku gara - gara malu," kata Ramzi setelah selesai tertawa.
"Ngawur!" Asa buru - buru mengelak. "Eh, Zi, di Wagu nggak ada lowongan part time, kah?" Wagu adalah singkatan dari Warung Gunung, tempat Ramzi bekerja.
Ramzi menaikan sebelah alis. "Lo mau nyari kerja lagi? Bukannya lo udah kerja di KM, ya?"
Asa mengangguk. "Tapi gue butuh duit lebih, Zi. Gaji gue di KM kurang."
Ramzi menggeleng. "Emang mau lo pakai buat apa, sih? Kiriman dari orang tua lo, ditambah beasiswa, ditambah hasil dari part time, kalo gue mah pasti udah lebih dari cukup! Jangan bikin gue mikir macem - macem deh, Sa. Lo nggak lagi pakai obat - obatan terlarang, kan. Soalnya gue lihat Lo juga makin ke sini makin kurusan."
Ramzi sengaja menyindir demi mengulik informasi dari Asa. Ia sungguh penasaran kenapa Asa selalu kekurangan uang dan juga selalu murung akhir - akhir ini. Pasti dua hal itu berhubungan. Ramzi tak bermaksud menekan Asa. Ia hanya mencoba menjadi seorang sahabat yang peduli. Jika ia belum tahu apa masalah yang sedang Asa hadapi, bagaimana ia bisa membantu?
"Gue butuh buat bayar praktikum, Zi. Enak jurusan lo nggak banyak praktiknya. Nah gue? Praktik injeksi, palpasi, perkusi thorak eksperior, anterior, dan lain - lain. Udah berapa duit, tuh?"
"Ngomong apa sih Za. Nggak ngerti sama sekali gue. Bejibun amat nama - nama praktiknya. Kayak judul film Hollywood. Tapi apa pun yang Lo bilang, gue nggak bisa serta Merta terima, sih, Sa." Ramzi menggeleng tak setuju. "Gue juga ada praktik M Y O B ntar pas semester 8."
"Semester 8 doang? Gue sepanjang semester berjalan ada praktik. Mana bisa dibandingin? Kejauhan bedanya."
"Nggak sih," jawab Ramzi. "Gue tadi bilang gitu karena gue masih belum yakin sama jawaban lo. Lo tetep nggak mau jujur sama gue. Gue ngerasa jadi sahabat yang nggak berguna!"
Asa terkikik. "Apaan, sih, lo, Zi!" Ia menepuk bahu Ramzi beberapa kali. "Gue terkesan banget atas perhatian lo. Gue beruntung punya sahabat seperhatian lo. Tapi lo, tuh, perhatiannya kebangetan. Parnoan, sih!" Asa terkikik lagi mengakhiri kata - katanya. "Udah, ah. Udah jam segini, gue harus berangkat kerja. Ntar telat. Gue cabut dulu."
Ramzi menatap Asa yang berjalan pelan keluar dari kamar. Meski Asa sudah menghilang di balik pintu, Ramzi masih senantiasa menatap ke arah yang sama.
Ini bahkan masih dua jam sebelum shift kerjanya. Perjalanan dari sini ke Kediri Mall paling lama hanya setengah jam. Sudah pasti Asa pergi sekarang hanya sebagai aksi cari aman, takut keceplosan karena Ramzi terus menodongnya dengan berbagai pertanyaan.
Ada yang tidak beres, sudah pasti. Ramzi harus tahu apa itu.
***