GEMPAR

1092 Words
"Mau ke mana, Sa? Tumben pagi - pagi udah udah rapi?" tanya Ramzi dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Ia masih berguling di bawah selimut, hanya kelihatan kepalanya saja. "Jemput yayang gue, dong. Gue kan nggak jones kayak lo, Zi!" jawab Asa sekenanya, sembari mengikat tali sepatu. Mendengar jawaban Asa, nyawa Ramzi segera kembali sepenuhnya. "Sejak kapan lo punya pacar?" "Pakek nanya lagi. Katanya lo sahabat gue. Ya kali lo nggak tahu kalo gue udah ada pasangan?" Asa malah menggoda Ramzi. "Sa, gue serius. Siapa pacar lo?" "Nggak perlu gue bilang kayaknya. Ntar waktu lo ngampus, kabar beritanya pasti udah kesebar luas. Yah ... lo tahu sendiri kalo gue kan super populer dan banyak fans. Pasti bakal banyak yang patah hati, entah cewek, entah cowok." Asa tertawa terbahak - bahak seakan tak ada hari esok. Ramzi bangun dari pembaringannya, saking penasaran dengan jawaban jujur dari Asa. "Sa, gue serius. Siapa pacar lo? Sejak kapan lo punya pacar? Apa ini ada hubungannya sama sikap murung lo akhir - akhir ini?" "Gue berangkat dulu, ya, Zi. Assalamualaikum." Asa beranjak dan melangkah cepat keluar kamar. "Sa, pertanyaan gue belum lo jawab!" Ramzi kini sudah berdiri dengan berkacak pinggang, tak peduli dirinya bertelanjang d**a, hanya memakai celana boxer pendek. "Zi, kalo ada orang salam itu dijawab!" seru Asa dari luar kamar. Tak peduli dengan Ramzi yang mencak - mencak karena kesal padanya. "WAALAIKUMSALAM!" jawab Ramzi akhirnya, dengan kekesalan yang masih mendominasi. *** Asa berangkat dengan hati bahagia. Semalam Ruma akhirnya memberi jawaban tentang perjanjian mereka. Ruma bersedia untuk mulai diantar jemput secara terbuka mulai hari ini. Itu tandanya, mereka semakin dekat dengan hari itu. Ruma sudah siap di depan rumah ketika Asa datang. Ia hanya ditemani Umi. Abah tentu saja sudah berangkat kerja ke kantor pos. Sementara Haru sekolah. "Nggak usah tegang gitu mukanya!" goda Asa. Ruma tak banyak bereaksi. Padahal biasanya tiap kali digoda oleh Asa, Ruma selalu marah - marah. Itu tandanya, Ruma sedang benar - benar tegang sekaligus gugup. Ruma pasti sedang membayangkan berbagai hal buruk yang mungkin akan terjadi setelah ini. "Nih, helmnya." Asa memberikan helm yang selalu ia bawa tiap kali mengantar jemput Ruma. Ruma segera menerima dan memakainya. "Aku berangkat dulu, ya, Mi." Ruma mencium tangan Umi sebelum berangkat. Asa melakukan hal yang sama. "Umi doain yang terbaik buat kalian. Semua ini nggak mudah. Tapi Umi percaya kalian sanggup menghadapi semuanya bersama - sama." Umi memberikan nasihat yang tulus dan penuh kasih sayang. "Iya, Mi. Makasih, ya, Mi." Asa yang menjawab. Asa menggenggam jemari Ruma selama mereka berjalan menuju motor yang diparkir di halaman. Asa ingin menyalurkan energi positif melalui kontak fisik pada Ruma. Ia ingin Ruma tenang, dan tidak banyak berpikir negatif. Saat seseorang berpikir negatif tentang apa yang akan terjadi, secara alami suasana hatinya akan terstimulus dengan kondisi yang serupa. Akhirnya apa pun yang akan terjadi setelahnya, terlihat seperti hal yang buruk, meski sebenarnya tidak. Secara tidak langsung hal itu juga akan mempengaruhi kondisi Ruma dan bayi mereka. Asa tak mau terjadi apa-apa pada keduanya. Tak seperti Asa dan Ruma biasanya yang selalu ribut saat di jalan, kali ini suasana sangat hening. Asa membiarkan Ruma memaksimalkan kesiapan dirinya. Sesekali Asa mengeratkan pegangan tangan Ruma di pinggangnya. Tujuannya sekali lagi adalah memberikan sokongan ketenangan melalui kontak fisik, karena percaya atau tidak, menurut ilmu hipnoterapi, kontak fisik memberi sugesti lebih besar dibanding kata - kata dari lisan. *** Tidak salah lagi. Itu adalah Asa yang mereka kenal. Asa yang populer, Asa yang punya banyak teman, Asa yang tersohor. Asa datang dengan motor yang sama. Dengan helm yang sama. Dengan gaya kasual boyfriend - able yang sama. Hanya satu hal yang berbeda. Uhm ... bukan satu tapi dua. Pertama, Asa datang pagi hari padahal jam kuliahnya masih dua jam lagi. Kedua, Asa tidak datang sendiri. Melainkan membonceng seseorang! Jika seseorang itu adalah laki - laki -- mungkin si Ramzi anak Pendidikan Ekonomi yang merupakan sahabatnya -- atau laki - laki lain, mereka tak akan sekaget ini. Tapi itu adalah perempuan! Jika perempuan itu adalah Sora, mahasiswi paling mentereng seangkatan -- Asa versi wanita -- mereka mungkin akan berusaha memaklumi. Karena keduanya sangat serasi dan sepadan. Tapi ... Asa justru bersama .... Entah lah .... Beberapa dari mereka sudah pernah melihatnya. Beberapa belum. Tapi satu hal yang sama di benak sebagian besar dari mereka. Gadis itu .... Mungkin tadi Asa tidak sengaja bertemu dengannya di jalan. Karena hati Asa yang baik, ia memutuskan untuk berbaik hati memberi tumpangan. Benar begitu, kan? Mereka berusaha meyakini pemikiran itu. Lagipula tidak mungkin, kan, Asa ada apa - apa dengan gadis dengan wujud seperti itu? Sayangnya, pemikiran yang sudah berusaha mereka bangun dengan penuh keyakinan, runtuh begitu saja saat .... Asa mengulurkan tangannya, kemudian disambut oleh si gadis. Lalu ... gadis itu mencium punggung tangan Asa. Dan ... Asa mengecup keningnya! Asa mengecup kening si gadis culun buruk rupa! "Aku nemenin kamu hari ini." Ruma menggeleng. "Nggak perlu." "Tapi aku rasa kamu akan sangat kesulitan." "Pastinya. Tapi ... sepertinya aku akan lebih nyaman tanpa kamu. Percaya aja, aku bakal baik - baik aja. Aku pasti bisa laluin hari ini dengan baik. Begitu pula dengan besok dan seterusnya." "Kamu yakin?" Ruma mengangguk. "Don't worry. You can count on me. Lagipula kan aku nggak sendiri. Aku sama bayi kita. Kami akan jadi tim yang solid." Ruma mengepalkan tangan kanannya. Asa melihat keraguan yang tersirat dalam kedua mata Ruma. Ruma berusaha untuk kuat, meski sebenarnya tidak. Namun Asa juga tidak mau membuat Ruma merasa diragukan. Jadi, ia memutuskan untuk percaya pada Ruma. "Ya udah. Kalau gitu, sampai ketemu nanti siang," ucap Asa kemudian. Ruma tersenyum sembari mengangguk kecil. "Iya, hati - hati di jalan." Asa mencondongkan wajahnya mendekat pada Ruma. Pergerakan Asa sangat cepat. Ia hampir berhasil mengecup bibir Ruma. Untung Ruma sigap, menghentikan aksi Asa dengan jari telunjuknya. Ia menggeleng, meminta Asa untuk jangan melakukannya hari ini. "Kenapa? Setiap hari seperti ini, kan?" "Jangan untuk hari ini! Biasanya mereka nggak lihat, tapi hari ini ....". "Itu tandanya kamu larang aku buat lakuin ini di hari - hari berikutnya juga. Mengingat mulai hari ini kita sudah go public." "Tapi Asa ...." Asa segera mendekap tubuh Ruma, mengecup singkat bibirnya. Asa lalu tersenyum. "Aku pergi, ya. Cari kerjaan paruh waktu lagi. Doain cepet dapet." Ruma tidak menjawab. Ia masih belum bisa menerima kelakuan Asa yang memaksa tetap melakukan kebiasaan sehari - hari mereka. Ruma hanya menatap kepergian Asa tanpa bergerak seinci pun. Setelah Ada cukup jauh, Ruma berbalik, mulai melangkah memasuki area kampus. Ia menunduk dalam, tak berani menatap reaksi orang - orang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD