Tidak ada satupun orang yang siap dengan sebuah kehilangan, terutama orang itu adalah keluarga terdekat dan satu- satunya yang mereka miliki.
Khansa tidak pernah punya firasat buruk apapun hingga kehidupan satu-satunya kakak kandung yang ia miliki berakhir hari ini, tepat di hari kegagalan pernikahannya. Entah ini sebuah takdir atau justru kutukan untuknya. Wanita berumur dua puluh lima tahun itu sampai berpikir ribuan kali soal dosa yang mungkin telah ia lakukan di masa lalu hingga dirinya harus tertimpa masalah seberat ini. Kehilangan kekasih dan juga kehilangan keluarganya. Sejak kepergian orang tua mereka empat tahun yang lalu karena kecelakaan maut yang menimpa mereka, Khansa harus hidup mandiri dan bekerja keras setelah mendapatkan gelar sarjananya. Ia pun harus membiayai sekolah sang adik yang masih sekolah di bangku SMA kala itu. Kheysa—kakaknya tak bisa membantu karena dia pun tengah menderita karena pernikahannya.
Namun Khansa tak pernah menyangka jika Jovan—suami Kheysa tega melakukan tindakan kekerasan pada kakaknya yang tengah hamil besar. Seharusnya Kheysa tengah bersantai menunggu hari kelahiran anaknya. Tapi hari ini wanita itu justru mengorbankan nyawanya sendiri demi melahirkan anaknya ke dunia dengan selamat. Kheysa benar-benar sudah tiada tepat setelah operasinya selesai, kehidupan wanita itu pun berakhir.
Wajah pucat Kheysa serta beberapa bekas luka di sekujur tubuhnya menjadi saksi bisu atas kekerasan yang Jovan lakukan selama ini. Khansa sendiri tak menyangka, pria yang dulu begitu lembut bisa berubah menjadi monster yang membunuh istrinya sendiri. Hanya demi wanita lain dan demi obat-obatan haram itu, Jovan melenyapkan segalanya. Pria itu kini menjadi buronan polisi atas tuduhan kekerasan dalam rumah tangga serta pemakaian obat-obatan terlarang. Khansa hanya berharap, pria b******k itu akan mendapatkan hukuman berat atas semua dosanya. Walau seberat apapun hukuman yang dia terima, tetap tidak akan bisa mengembalikan kehidupan Kheysa yang telah direnggutnya.
Khansa masih mengingat betul senyum terakhir yang Kheysa tunjukan padanya. Meski wanita yang umurnya terpaut tiga tahun lebih tua darinya itu menghadapi pernikahan yang pelik serta suaminya yang kasar, tapi dia selalu berusaha untuk terlihat bahagia. Jarang sekali Kheysa menunjukkan kesedihannya, terutama sejak kehamilan yang dia tunggu-tunggu setelah dua tahun pernikahannya. Sayangnya, kehamilan itu justru membuat Jovan berpaling pada wanita lain. Walau sebenarnya itu sifat asli Jovan setelah pria itu menutupinya selama berpacaran dengan Kheysa. Dia hanya memanfaatkan Kheysa sebagai status di mata keluarga besarnya.
Kheysa bahkan rela meninggalkan pekerjaannya sebagai guru hanya demi menjadi istri yang berbakti bagi Jovan. Baru setelah satu tahun pernikahan mereka, sifat asli Jovan terbongkar. Namun Kheysa tetap berusaha menerimanya, berharap pria itu kembali menjadi pria lembut dan penuh perhatian seperti awal-awal pernikahan mereka.
Harapan hanyalah harapan, tak pernah menjadi kenyataan. Hingga tubuh ringkih wanita itu kaku tak berjiwa. Hidup serta harapan Kheysa telah berakhir. Meninggalkan buah hati yang seharusnya dibesarkan dengan penuh cinta kedua orang tuanya.
Khansa mengusap air matanya dengan kasar, menatap box berisi bayi mungil yang kulitnya begitu merah. Dia sangat cantik, mirip seperti ibunya. Wanita itu kemudian memasukkan tangannya ke dalam box bayi, menyentuh bayi mungil itu dengan sangat hati- hati. “ Hai. Iris Rosaline. Selamat datang ke dunia, sayang. Walaupun aku bukan wanita yang melahirkanmu, aku harap kamu tidak keberatan jika memanggilku dengan panggilan bunda. Aku akan menyayangimu seperti aku menyayangi anakku sendiri.”
....................
Pria bermata hitam pekat itu menyusuri lorong yang terlihat sepi. Hanya ada segelintir manusia yang melintas. Matanya kemudian menangkap sosok yang dikenalnya, kakak keduanya—Khansa. Ia langsung berlari menghampiri wanita yang tengah memeluk lututnya di depan ruang perawatan bayi. Tanpa mengatakan apapun, ia bersimpuh di samping wanita itu dan memeluk bahunya... membiarkan dia menyandarkan diri padanya dan menangis sepuasnya. “ Maaf, Kak. Sebagai satu-satunya pria di keluarga ini... aku tidak bisa menjaga kak Kheysa.” Tak ayal ia juga menangis, mengabaikan dirinya yang adalah pria yang beranjak dewasa. Tak apa, toh pria juga manusia. Jadi pria juga boleh menangis, kan?
Khansa menggelengkan kepalanya di dalam pelukan Fadil—adik kandungnya, satu-satunya yang ia miliki saat ini. “ Nggak. Kamu adalah adik terbaik yang kami miliki. Semua ini sudah jalan bagi kak Kheysa. Dia tidak akan menderita lagi di dalam pernikahannya.”
Fadil masih terus menangis. Tak menyangka jika ia harus mengalami yang namanya kehilangan lagi. Padahal empat tahun yang lalu kedua orang tuanya baru saja meninggalkannya, dan sekarang ia harus kehilangan kakak pertamanya. Masih diingatnya bagaimana hangatnya sifat Kheysa serta senyumannya yang selalu menular pada siapa saja yang melihatnya. Namun kini senyum itu menghilang dan tidak akan bisa ditemukan lagi, dimana pun. Ia mengepalkan tangannya, merasa sangat kesal dengan kakak iparnya... pria yang menjadi penyebab utama penderitaan yang Kheysa alami selama ini. Bahkan di detik-detik terakhir kehidupannya, hanya kekerasan yang kakaknya rasakan. Bukan cinta apalagi perlindungan seperti yang pria itu janjikan di hadapan Tuhan tiga tahun yang lalu. “ Pria itu... “
“ Dia sedang dicari polisi. Jangan khawatir, polisi pasti akan menemukannya dan menjebloskannya ke penjara.”
“ Penjara saja rasanya tak cukup, Kak. Nyawa kak Kheysa nggak akan bisa kembali walau dia dikurung puluhan tahun sekalipun.” Fadil merasa kehidupan ini sangat tidak adil, terlebih untuk kakaknya. Padahal Kheysa adalah wanita yang baik dan lembut, tapi kenapa dia mendapatkan suami yang lebih buruk dari iblis?
“ Sudahlah. Mau dibicarakan bagaimanapun, kak Kheysa sudah tiada. Yang terpenting sekarang adalah Iris.”
“ Iris?”
“ Keponakan kita.” Khansa mengajak Fadil berdiri dan melihat melalui kaca pembatas koridor dengan ruang perawatan bayi yang baru dilahirkan di rumah sakit ini. Ia menunjuk salah satu box yang berisi bayi dengan bedongan berwarna peach. “ Cantik, kan?”
Fadil mengusap air matanya dengan kasar dan tersenyum tipis. Melihat sosok malaikat kecil yang akan menjadi cahaya setelah semua kejadian buruk yang menimpa keluarga mereka. “ Jadi namanya Iris?”
“ Iya. Kita akan merawatnya dengan baik. Iris akan aku anggap sebagai anakku sendiri.” Khansa tak bisa berhenti tersenyum melihat bayi mungil yang terlihat gelisah dalam tidurnya. Apakah dia merasakan kehilangan seperti yang mereka rasakan saat ini?
....................
Langit kelabu menjadi saksi bisu saat tubuh kaku itu terpendam di tempat peristirahatan terakhirnya. Tempat dimana dia harus mengubur diri sekaligus segala harapannya di dunia ini. Tak ada suasana yang mengenakkan dalam sebuah acara pemakaman. Hanya sebuah keperihan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, menyadari jika tubuh di dalam sana tidak akan pernah bisa mereka lihat kembali.
Fadil hanya bisa memeluk tubuh Khansa sembari menguatkan satu sama lain. Tak ada satupun dari mereka yang berbicara hingga pemakaman itu berakhir. Kini mereka hanya bisa hidup berdua di kota besar yang penuh kenangan. Baik Khansa maupun Fadil memilih untuk hidup mandiri sejak kepergian orang tua mereka, walau beberapa sanak saudara menawarkan diri untuk mengasuh mereka. Namun mereka kala itu merasa sudah cukup dewasa untuk menata hidup sendiri tanpa merepotkan siapapun. Mereka hanya mengandalkan satu sama lain, menjadi sebuah keluarga yang utuh dan saling menyayangi.
Langkah gontai mereka berdua meninggalkan pemakaman yang dipenuhi rumput gajah itu, untuk kembali pada kehidupan yang seharusnya mereka jalani dan masih akan terus berjalan meski salah satu dari mereka telah mencapai akhir kehidupannya.
“ Kakak yakin bisa merawat Iris?” tanya Fadil ketika mereka sampai di rumah dan mengambil Iris dari tetangga yang sengaja Khansa bayar untuk mengasuh bayi mungil itu. Umur Iris sudah genap satu minggu, ibunya pun telat dimakamkan karena harus menjalani serangkaian proses otopsi guna mengumpulkan bukti dan memenjarakan Jovan—suaminya.
“ Kenapa harus nggak yakin?” Khansa tersenyum tipis sembari menggendong bayi mungil itu. Iris terlihat nyaman di dalam pelukannya.
“ Kita bisa aja nitip Iris ke saudara di Wonosobo kalo kakak mau. Mereka pasti... “
“ Nggak!” Khansa menatap tajam ke arah Fadil, membuat pria yang baru berumur sembilan belas tahun itu mengatupkan mulutnya. “ Iris adalah bagian dari keluarga inti kita. Dia lebih baik bersama kita. Dia sudah kehilangan ibunya, apa kamu tega membiarkan dia kehilangan kita juga?” Tiba- tiba air matanya menetes, merasa tidak tega dengan semua hal yang dialami keponakannya, padahal umurnya baru satu minggu. Namun dia sudah menghadapi sebuah kehilangan.
“ Maaf, kak. Aku hanya cemas. Kakak sangat sibuk selama ini.”
“ Kakak lebih baik sibuk daripada harus kehilangan Iris dan kamu. Kalian keluarga yang kakak miliki.” Khansa berusaha mengatur emosinya. Tidak baik melampiaskan emosi di depan bayi mungil. Karena setiap apa yang Iris lihat bisa saja membekas di dalam memorinya hingga dia besar nanti. Pertengkaran itu tentu bukan hal yang bagus untuk diingat.
Fadil akhirnya mengangguk. Ia juga sebenarnya tidak tega pada Iris dan tidak mau kehilangan bayi mungil itu. Kehadiran Iris menjadi harapan tersendiri baginya dan kakaknya untuk menjalani kehidupan ini. “ Fadil akan membantu merawat Iris, kak.”
“ Jangan sampai nggak fokus sama kuliahmu. Kamu kan sudah semester tiga.” Khansa menasehati sembari meletakkan Iris di dalam box bayi yang sengaja dibelinya melalui market place online.
Fadil membuntuti kakaknya yang terlihat sudah terbiasa mengurus bayi. Padahal ini pertama kalinya Khansa memegang bayi. Sekarang wanita berumur dua puluh lima tahun itu tengah menggantikan popok Iris yang sudah penuh. Pantas saja bayi merah itu terlihat gelisah. “ Iya. Fadil jadi mau cepet-cepet lulus terus kerja. Kasihan kakak kerja buat biayain kuliah aku, apalagi sekarang pasti biaya membengkak untuk kebutuhan Iris. Kalo nggak nanti Fadil coba cari kerja part time deh.”
“ Tenang aja. Gaji kakak masih cukup kok. Kamu fokus kuliah aja.” Khansa sudah selesai menggantikan popok Iris sehingga bayi itu mulai tenang kembali, bahkan dia tidur lagi. Memang benar ya, kerjaan bayi itu hanya tidur, minum s**u, dan pipis atau pup.
“ Nanti kalo ada yang mengira Iris anak kandung kakak gimana?” tanya Fadil sembari menggoyang-goyangkan box bayi agar Iris segera tertidur.
Khansa tersenyum tipis. Pasti akan banyak yang mengira seperti itu. Terlebih teman-teman kerjanya tidak ada yang tahu soal keluarganya. Karena pembicaraan soal keluarga jarang sekali terjadi di antara para karyawan. Mereka lebih suka membicarakan hal- hal yang sedang viral, fashion terbaru, film atau bahkan pacar-pacar mereka. Apalagi sejak dulu Kheysa memang agak tertutup dan jarang sekali di rumah. Jadi jarang yang mengetahui jika Khansa punya kakak perempuan. “ Nggak apa-apa. Biarin aja. Toh Iris kan udah kakak anggap sebagai anak kakak sendiri,” ucapnya dengan santai.
“ Dan soal Sakha? Apa aku perlu mencarinya dan memberinya peringatan?” Akhirnya Fadil memberanikan diri membicarakan soal mantan calon kakak iparnya itu. Wajah sok manis Sakha ternyata sangat nggak sepadan dengan kebusukannya. Dia telah meninggalkan kakaknya tepat satu hari sebelum pertunangan mereka bahkan tepat saat kematian Kheysa.
Rahang Khansa mengeras mendengar nama pria yang telah tega meninggalkannya itu. “ Nggak perlu. Dimana pun dia sekarang bukan hal yang penting lagi bagi kakak.” Ia pun berlalu dari kamar Iris, menuju dapur untuk mengambil air minum.
Fadil masih diam di tempatnya, menatap bayi mungil yang sudah terlelap kembali. Ia tersenyum tipis. Andai Kheysa masih hidup, dia pasti bahagia sekali telah melahirkan bayi secantik ini setelah dua tahun lebih menjadi pejuang garis dua.
...................
Begitu kembali ke kantor setelah satu bulan menghabiskan waktu berkabungnya, Khansa merasakan tatapan-tatapan aneh mengarah padanya. Mereka seolah mengasihaninya dan melihatnya sebagai wanita paling tidak beruntung di dunia ini. Padahal kehilangan pria yang tidak baik bukanlah hal yang buruk. Justru Tuhan tengah menyelamatkanmu dari suami yang tidak baik. Jangan sampai kehidupan pernikahannya nanti berakhir seperti pernikahan kakaknya.
Beruntung bu Meri, sebagai satu-satunya orang yang tahu tentang kematian Kheysa mengijinkan Khansa untuk libur panjang. Toh selama ini Khansa tidak pernah menghabiskan cuti tahunannya selama empat tahun bekerja di perusahaan ini. Terlebih wanita yang berumur lima puluh tahunan itu tahu seperti apa kehidupan Khansa sejak wanita muda itu masuk ke perusahaan ini dan menjadi anggota tim designnya. Dia merasa iba dengan kehidupan pelik yang Khansa hadapi tapi dia pun menghargai privasi Khansa sehingga menyimpan rapat-rapat tentang kepergian wanita muda itu selama satu bulan ini. Toh berita kehilangan bukan sesuatu yang harus diumumkan pada semua orang.
Terlebih, Khansa tidak suka dikasihani.
Khansa memilih untuk mengabaikan tatapan-tatapan itu dan duduk di biliknya seperti biasa. Tumpukan pekerjaan sudah menunggu untuk diselesaikan. Ia harus menyelesaikan beberapa gambar design dress baru yang akan launching akhir bulan ini. Belum lagi ia harus mendapatkan ACC dari atasannya baru rancangannya bisa dibuat dan untung-untung bisa masuk pameran seperti rancangan seniornya yang lain. Sadar dirinya masih anak baru kemarin, jadi ia terus berusaha mengembangkan keahliannya.
“ Sa. Gimana keadaan kamu?” tanya Abel—salah satu rekan kerja Khansa sekaligus teman makan siangnya.
Khansa melempar senyum tipis pada Abel, berusaha mengatakan jika dirinya baik-baik saja. “ Seperti yang kamu lihat, aku baik- baik aja kok. Oh ya, design kamu untuk bulan ini udah selesai?” tanyanya mengingat Abel pun punya tugas yang sama sepertinya. Para tim design akan berlomba membuat rancangan dress terbaik agar bisa diterima atasan dan menjadi karya yang bisa dipamerkan setiap bulannya.
Tiba-tiba Abel menghela nafas lalu menarik kursi kosong di bilik sebelah Khansa dan duduk di sana. “Ditolak coba. Katanya kurang menarik. Emang ya susah banget lolos penilaian bu Meri tuh,” keluhnya sembari memastikan jika orang yang sedang dibicarakannya tak ada di sini.
Khansa tersenyum mengerti. Ia tahu seperfect apa bu Meri itu. Ia pun belum pernah lolos hingga karyanya dipamerkan. Hanya sampai dirancang dan dijual di pasaran saja, itupun tak terjual banyak. Mungkin memang rancangannya masih kurang menarik. Padahal ia berharap rancangannya bisa dilirik artis-artis ternama, apalagi sampai dikenakan di sebuah acara besar. Pasti namanya akan cepat terkenal. Seperti bu Meri, rancangan gaunnya sudah sering dibeli oleh artis- artis papan atas dan paling dicari untuk even-even besar. “ Dicoba lagi, masih pertengahan bulan kok.” Ia mencoba menyemangati. Walau ia sendiri belum menyelesaikan pekerjaannya sendiri yang belum tentu juga akan diterima.
“ Tapi kamu bener baik- baik aja, Sa? Aku cemas loh. Banyak rumor di luar sana. Apalagi kamu nggak masuk sampai satu bulan loh. Kok bu Meri ngijinin sih?”
“ Aku kan sering nggak ngambil cuti, Bel.”
Abel mengerucutkan bibirnya. “ Cuti kok ditabung sih, Sa? Cuti tuh buat dinikmatin. Kesepian tahu aku kalo makan siang nggak sama kamu. Yang lain tuh kerjaannya ngomongin orang mulu.” Ia berbisik.
“ Pasti ngomongin aku juga ya?” balas Khansa santai.
“ Mau bilang enggak, tapi kenyataannya begitu. Mereka pada mengira... “
“ Aca? Udah masuk lagi ternyata?” Sebuah suara ngebass yang paling diinginkan para wanita memanggil nama mereka itu terdengar. Sayangnya hanya panggilan khusus Khansa saja yang sering pria itu sebut. Itu pun atas inisiatif dia sendiri memanggil Khansa dengan sebutan Aca. Padahal terkesan sok imut banget. Kadang Khansa geli sendiri mendengar Leo memanggilnya seperti itu.
“ Tuh kan. Dia nih yang paling heboh pengen ketemu kamu. Katanya cuti kok lama banget padahal kan... “ Abel menghentikan ucapannya saat Leo melempar tatapan tajam ke arahnya seakan sebuah peringatan jika apa yang akan dikatakannya bisa saja menyakiti perasaan Khansa. Wanita yang dua tahun lebih muda dari Khansa itu pun memilih untuk beranjak dari kursinya. “ Nanti ngopi bareng ya, Sa!” ucapnya lebih ke sebuah perintah dibanding ajakan.
“ Iya.”
Leo—pria dengan mata hazel berwarna hijau itu duduk di kursi yang tadi Abel tempati. Ia menatap Khansa yang kembali sibuk dengan pekerjaannya. “ Are you okay?” tanyanya dengan sangat lembut.
Khansa mengangguk. “ Seperti yang kamu lihat. Emang aku kelihatan lagi sakit ya?” kekehnya.
Leo sama sekali tidak terhibur, ia tahu wanita di depannya ini hanya berusaha menghibur dirinya sendiri. Seolah membuat dirinya terlihat baik-baik saja, padahal jauh di dalam hatinya sedang hancur. “ Seharusnya aku sudah tahu jika pria itu b******k. Seharusnya aku bisa lebih memperjuangkan kamu,” ucapnya dengan sangat yakin.
Gerakan tangan Khansa terhenti sejenak, lalu ia membereskan berkasnya kembali agar mejanya bisa lebih rapih. Berusaha tenang menghadapi pria seperti Leo, yang sejak awal sudah menunjukkan ketertarikan padanya tanpa disembunyikan sedikit pun. Seolah perasaan pria itu padanya memang seharusnya diumumkan pada semua orang. Khansa sebenarnya risih tapi ia nyaman berteman dengan Leo. Karena Leo adalah pria yang sopan.
“ Rumor itu... “ Leo bersuara kembali.
“ Hmm?” Kali ini Khansa menatap lawan bicaranya.
Leo langsung menggelengkan kepalanya. “ Tidak. Itu pasti hanya rumor, kan? Itu nggak bener, kan?”
“ Rumor apa?” Khansa memang tidak tahu rumor apa yang tengah menghantui namanya di perusahaan ini.
“ Soal... “ Leo terlihat ragu.
“ Khansa.” Suara tegas bu Meri membuat Leo dan Khansa menoleh ke sumber suara. Mereka berdua pun langsung berdiri di tempatnya dan menunduk hormat pada wanita itu. “ Bisa ke ruangan saya sekarang?”
Khansa mengangguk tanpa membantah sedikit pun. Meninggalkan Leo dengan segala tanda tanya di dalam otaknya yang belum mendapat titik terang apapun.
“ Padahal seharusnya aku senang karena kamu tidak jadi bertunangan dengan pria itu, tapi kenapa rumor itu mengganggu pikiranku, Ca?” tanya Leo lebih kepada dirinya sendiri.