Keesokan harinya saat Lisa terbangun, dia sudah berada di dalam sebuah kamar dengan infus terpasang dan penopang yang melekat di lehernya dan juga perban dari wajah ke kepala. Sudah seperti orang mati saja. Lisa tidak menemukan dimana Tiar dan ibu mertuanya dan itu bisa dia simpulkan bahwa mereka sudah di pisahkan pada malam itu.
Dua minggu berlalu dengan cepat. Selama dua minggu itu, Lisa tidak bisa mengunyah dengan benar sehingga lebih memilih untuk minum air dari pada makan. Akhirnya para maid di rumah itu berinisiatif untuk membuatkan bubur blender.
Malam hari saat keadaan sepi, Lisa mencoba mencari peruntungan saat dia berpikir semua orang sudah tertidur, Lisa mengendap-endap keluar dan berhasil mencapai halaman rumah walau harus memakan waktu lama mengitari rumah hanya untuk mencari pintu yang bisa di lalui dengan aman. Maklum, selama berada di sini. Lisa hanya berada di dalam kamar.
Lisa melanjutkan langkahnya menuju pagar besi tinggi dan tidak melihat seorang pun di pos satpam.
"Yes, mereka pasti udah tidur," gumamnya sedikit bersemangat.
Lisa melangkah dengan cepat dan berusaha membuka pagar tapi ternyata di kunci.
"Di kunci. Ck, kenapa musti di kunci, sih?" decaknya kesal. Dia menatap ujung gerbang besi itu dan kemudian bergidik ngeri.
"Nggak mungkin bisa panjat pagar setinggi ini. Mana ujungnya runcing begitu. Bisa-bisa aku mati sebelum sampai di balik gerbang ini," gumamnya lagi. Matanya sesekali menoleh ke belakang untuk mengawasi jika ada yang melihatnya dan mengejarnya.
Lisa berdiam sejenak dan melihat ke sekitar. Mencari-cari spot yang bisa di panjat. Akhirnya dia berjalan pelan pada sisi tembok tinggi yang mengelilingi rumah ini. Lisa tersenyum saat menemukan spot yang bagus yang bisa di naiki untuk bisa melompat keluar.
"Selalu ada jalan menuju Roma, Lis. Kau hanya perlu mata yang jeli saja." Lisa masih bergumam pada diri sendiri.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan Lisa,
Jason, pria yang sudah mengurungnya selama dua minggu ini sedang dalam perjalanan ke rumah tempat Lisa di tahan dan hampir tiba di gerbang. Entah angin dari mana, tiba-tiba saja Jason ingin melihat Lisa langsung dengan mata kepala sendiri.
"Aku ingin melihat wajahnya dan matanya yang membara saat marah. Itu sangat menggemaskan," ucap Jason pelan dengan senyum tertahan di bibirnya.
Tepat ketika mobil berhenti di depan gerbang, saat menunggu satpam membukakan pintu gerbang, Jason mengarahkan pandangan ke segala arah dan melihat seperti ada tangan dan kepala yang berusaha naik di tembok. Siapa?
Jason keluar dari mobil dan segera berjalan diikuti oleh anak buahnya setelah di beri isyarat untuk diam. "Siapa yang berani masuk ke area rumahku. Apa dia pencuri? Lagian di mana sekuriti? Kenapa tidak bisa melihat ada orang asing di dalam?" gumam Jason sangat pelan. Dan betapa kagetnya dia ketika melihat siapa yang sedang berusaha naik ke atas tembok itu.
"Lisa?"
Pada saat satu kaki Lisa sudah ada di atas tembok, tinggal sedikit lagi agar bisa bebas dari rumah ini, tiba-tiba satu kakinya yang masih di bawah serasa di tarik oleh seseorang. Lisa menoleh dengan cepat dan mendapati Jason berdiri dengan kedua tangan berada di saku celana. Didepannya berdiri tiga orang pria tinggi dan salah satunya sedang menarik kaki Lisa. Tanpa perasaan pria berotot itu manarik dengan paksa dan akhirnya Lisa terjatuh dengan mengenaskan ditanah.
"Aww, sakit!"
"Merepotkan saja!" gumam pria berotot itu pelan lalu dengan segera memanggul Lisa di pundak seperti karung beras. Lisa yang masih merasa kesakitan tidak bisa melawan hanya bisa memukul-mukul punggung pria itu dengan keras sambil berteriak 'lepaskan aku'.
Tubuhnya dihempaskan pada sofa ruang tengah dan beberapa detik kemudian semua pengurus rumah berkumpul diruangan itu. Jason berjalan dengan tenang dan duduk di haapan Lisa dengan kaki menyilang dan punggung menyandar di sandaran sofa.
Penampakan yang sangat mulia sekaligus angkuh. Jika saja di selipkan cerutu di sela jari Jason danjuga segelas wine di tangan lainnya. Fix, pria itu akan terlihat seperti bos mafia yang sering di tampilkan di film-film.
"Hukum mereka yang tidak becus bekerja!" titah Jason dengan mata tetap menajam pada Lisa.
Setelah ucapan itu, terdengar suara tamparan beberapa kali, maid dan sekuriti dan dua orang wanita yang di tugaskan menjaga Lisa ditampar oleh pria berotot yang memanggul tadi.
"Sekali lagi kau berani melangkahkan kakimu satu jengkal saja dari pintu rumah ini tanpa izin dariku, maka bukan hanya kau, tapi mereka juga akan dihukum!!!"
Lisa merinding mendengar Jason bicara seperti itu. Wanita yang berasal dari desa itu menolehkan pandangannya pada mereka yang baru saja di tampar, pipi orang-orang itu memerah tapi tidak seorang pun yang menangis.Lisa hanya bisa mengucapkan kata maaf tanpa suara dan juga bisa di lihat dari pancaran matanya yang memerah karena rasa bersalah.
"Sekarang giliranmu!" ucap Jason seraya berdiri.
Jason berjalan mendekati Lisa dan mencengkram dagu itu kemudian menampar pipi Lisa tanpa ampun. Jika saja dagunya tidak di tahan sudah pasti kepala itu akan terlempar kesamping karena kuatnya tamparan itu. Orang-orang disana yang menyaksikan itu hanya bisa menunduk dan merasa kasihan pada wanita muda yang mereka rawat selama dua minggu ini.
Saat di bawa ke rumah ini, wanita itu dalam keadaan pingsan dan mulut penuh darah, bahkan makan saja tidak bisa. Sekarang sudah di tampar dengan begitu kerasnya bahkan saat dagu dan rahangnya belum membaik. Apa sebenarnya salah wanita ini? Orang-orang itu hanya bisa bergumam di dalam hati. Tidak berani berbicara atau mendekat bahkan setelah mendengar tamparan kedua hingga suara teriakan gadis itu menggema.
"Aku membiarkanmu hidup sampai sekarang karena aku ingin mempertontonkan pertunjukakanku pada ibumu si pelaccur itu, tapi sepertinya kau sudah tidak sabar untuk segera mati, maka aku akan mengabulkannya," ucap Jason tegas sambil mengencangkan cengkraman di dagu Lisa.
Lisa yang mendengar kata 'ibumu dan pelaccur' masih bingung dan sedang mencerna ucapan Jason Seolah mengerti dengan kebingungan Lisa, Jason menyeringai dan menghempaskan dagu itu kuat. Sakit sekali.
"Bubar!" titah Jason dan para pelayan itu kembali ke tempat masing-masing.
Kini hanya ada lima orang d iruangan ini. Lisa masih terduduk di lantai dan kepalanya di sandarkan di sofa.
"Apa kau pikir aku menahanmu karena kau istrinya Bakhtiar? hahahahahha, kau naif sekali, bahkan detik ini aku bisa mengeluarkan surat ceraimu dan membuangmu supaya jauh dari Bakhtiar."
Laki-laki penguasa, apa yang tidak bisa dia lakukan. Hanya menjentikkan jari saja, apapun yang dia inginkan akan didapatkan, kan?
"Lisa Liyanti, nama yang bagus sekali, apa kau ingat nama ibumu?" tanya Jason sambil menuangkan minuman berwarna merah ke dalam gelas, kemudian mengangkatnya dan menggoyang-goyangkannya.
"Ibumu bukanlah bernama Ningsih, tapi ..." Jason menggantung kalimatnya sambil menatap Lisa tajam, kemudian menyesap minumannya sambil terpejam. Apa sebegitu nikmat?
Ya, Lisa tahu, Ningsih bukan ibu kandungnya, Ningsih adalah ibu tiri yang menikah dengan ayah Lisa saat Lisa berumur sembilan tahun. Lisa tidak mengenal ibu kandungnya, tapi kata orang-orang kampung dan nenek Lisa semasa hidupnya juga pernah bercerita bahwa ibu kandung Lisa pergi meninggalkan Lisa yang masih bayi, wanita itu pergi dengan lelaki kaya yang bekerja di proyek di daerah tempat tinggal mereka. Ibu Lisa bernama...
"Ratna Sulistia"