1. Lift Khusus
Author Pov.
Gedebrak...!
Gedebruk...!
Bruk...!
Brak...!
"Aish... Itu suara apa sih." seorang lelaki terbangun dari tidur nyenyaknya.
Lelaki itu terganggu oleh suara-suara gaduh di lantai bawah. Padahal dirinya sangat mengantuk dan ingin melanjutkan tidurnya. Dia baru pulang dari Magelang semalam karena tugas kerjanya di sana sudah selesai. Saat merasa tidak ada suara gaduh lagi, lelaki tadi kembali berbaring dan menarik selimutnya.
"Ricky...! Bangun kau!" seorang wanita paruh baya masuk ke kamar lelaki bernama Ricky tadi.
"Aish... Gue lupa mengunci pintu lagi. Tu nenek lampir ngapain sih di rumah gue lama-lama." Gerutu Ricky dalam hati ketika wanita yang dia sebut nenek lampir tadi adalah mama kandungnya.
"Bangun kau! Sudah pagi bukannya mandi, malah enak-enakan tidur." Irene, nama ibu Ricky. Wanita itu sudah berkacak pinggang menunggu anak semata wayangnya bangun.
Ricky tak kunjung bangun, bahkan bergerak saja tidak. Dia malah semakin mengeratkan bantalnya ke telinga.
Byur...!
"Mama! Dingin!" Ricky langsung bangun ketika Irene mengguyur tubuhnya dengan air es.
Irene merasa puas karena berhasil membangunkan anaknya. Wanita itu masih berkacak pinggang menatap nyalang ke arah Ricky.
"Rasakan kau! Mau jadi apa kau ini? Jam segini belum bangun juga, mau rejeki kau dipatok ayam?" Irene terus berkoar-koar dengan logat bataknya.
Ricky mendengus, dia turun dari ranjang sambil menutup tubuhnya dengan selimut.
"Aku mengantuk Ma, baru pulang aku semalam dari Magelang. Tak bisakah Mama ini mengerti sedikit saja perasaan anak tampanmu ini?" Ricky mendengus kesal, acara tidurnya terganggu total.
Irene berhasil membuat Ricky bangun dari ranjang. Wanita itu memang tidak tinggal satu rumah dengan Ricky. Setelah Opung Ricky dari Irene sakit-sakitan, kedua orang tua Ricky memutuskan pulang ke Medan. Tapi Ricky tidak mau ikut pindah ke Medan dan akhirnya dia tinggal di Jakarta sendirian. Kadang kala Irene dan Sigit menjenguk Ricky. Kali ini hanya Irene yang menjenguk karena Sigit sangat sibuk dengan pekerjaannya.
"Banyak bicara kau ini, cepat mandi lalu kita sarapan di bawah. Bukannya kau punya janji dengan atasan kau itu." Irene langsung meninggalkan Ricky seorang diri di dalam kamarnya.
Ricky hanya mendengus, dia paling benci acara tidurnya diganggu. Tapi lanjut tidur pun tidak akan berguna. Kasurnya sudah basah semua karena banjir diguyur air es oleh Irene.
"Aish... Mama, selalu ada bikin gue kesel."
Mau tak mau Ricky langsung mandi dan berpakaian rapi. Memang benar, hari ini dia memiliki tugas untuk menghadap Presdir Liau tentang tugasnya yang sudah berakhir di Magelang. Dia akan kembali bertugas di rumah sakit besar bersama Marsel dan Arya, kedua sahabatnya.
***
Meski kesal, tapi Ricky bersyukur karena memiliki seorang ibu yang pintar memasak. Sehingga dia selalu lahap tiap kali makan masakan mamanya.
"Umur kau berapa?" tanya Irene tiba-tiba.
Mereka hanya sarapan berdua.
"30, Ma." jawab Ricky ogah-ogahan padahal Irene sudah tahu berapa umurnya tapi tetap saja bertanya pada Ricky.
Dia lebih memilih menikmati nasi dan omelet buatan Irene. Omelet itu sangat lumer di lidah, berisi daging dan sayuran yang Ricky suka.
"Apa kau lupa bahwa kau ini anakku satu-satunya. Tidak ada lagi yang bisa memberiku cucu selain kau, Ricky." Irene memang sudah mendesak Ricky untuk segera menikah.
Ricky menyuapkan nasi dan omelet terakhir ke mulutnya. Di atas piringnya sudah kosong tanpa sisa. Lelaki itu langsung meminum s**u dan berdiri untuk menyalami tangan Irene.
"Yak... Kau belum jawab pertanyaanku!"
"Ma, ini sudah siang. Nanti keburu Presdir Liau tidak ada."
"Alasan saja kau ini untuk menghindari pertanyaanku." dengan sangat terpaksa Irene memberikan tangannya pada Ricky.
"Aku pergi dulu, Ma. Cepat pulang ke Medan, kasihan Papa sendirian." seru Ricky dari kejauhan.
Irene naik pitam mendengar dirinya diusir oleh putra semata wayangnya sendiri. Dadanya naik turun menahan amarah.
"Berani sekali anak itu mengusirku. Memangnya dia kira rumah ini rumah siapa? Ini rumahku, bisa kutendang kau lama-lama dari rumahku." Irene mengeluarkan segala emosinya pada sang anak.
***
Brenda baru saja turun dari angkutan umum, dia memang selalu naik itu untuk alat transportasi ke rumah sakit. Kadang Brenda juga memakai motor, tapi kalau motornya tidak dipakai adik atau bapaknya.
"Selamat pagi, Pak." sapa Brenda pada satpam yang berjaga.
"Pagi Neng, cantik bener." goda satpam tadi.
Brenda memang selalu menyapa satpam yang jaga. Entah sore atau pagi. Gadis itu tergolong gadis yang ramah.
"Hehehe... Terima kasih, Pak."
"Kok ke rumah sakit lagi, Neng? Ada yang ketinggalan ya?" tanya sang satpam.
"Iya Pak, ponsel saya ketinggalan di ruangan."
Satpam tadi mengangguk, Brenda langsung pamit menuju ruangannya. Kali ini dia memakai baju biasa, bukan lagi pakaian seperti suster. Dia hanya ingin mengambil ponselnya yang ketinggalan. Karena dia sedang piket malam.
"Bren, kok lo ke rumah sakit lagi?" tanya seorang suster yang lumayan dekat dengan Brenda.
"Iya nih, HP gue ketinggalan di ruangan."
Suster tadi mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Suster tadi bernama Liora, suster yang dulu menjabat sebagai suster asisten dokter Ricky.
"Gue kira kenapa, soalnya kan lo piket malam."
"Ngomong-ngomong lo bawa apaan banyak begitu? Mau dibawa ke mana?" Brenda melihat Liora membawa banyak sekali barang.
"Oh ini, gue lagi membersihkan ruangan dokter Ricky."
"Ruangan dokter Ricky? Bukannya ruangan itu dipakai sama dokter Samsul?" heran Brenda.
"Iya memang, tapi mulai minggu depan dokter Ricky aktif lagi di rumah sakit ini. Dan dia tidak mau ditempatkan di ruangan lain, harus di ruangannya dulu. Makanya ini lagi ribut memindahkan barangnya dokter Ricky lagi."
Brenda tahu kalau Liora sekarang ini sedang lelah. Pastinya, memindahkan file dan barang-barang itu sangat melelahkan.
"Memangnya dia sudah tidak tugas di Magelang lagi?" rasa kekepoan Brenda muncul.
"Sudah beres, di sana sudah ada dokter spesialis mata baru."
"Oh begitu." Brenda mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.
"Kalau begitu gue ke ruangannya dokter Ricky dulu ya. Biar cepat kelar pekerjaan gue. Kata ketua departemen dokter mata kalau gue membereskan ruangan dokter Ricky lebih cepat gue bisa langsung pulang." pamit Liora.
"Semangat ya."
Liora mengangguk, mereka berpisah di lobby rumah sakit. Brenda langsung berjalan menuju lift khusus para dokter yang masuk ke dalam organisasi rumah sakit. Brenda kadang lewat lift itu karena dia mendapat ijin dari Marsel. Hanya Brenda satu-satunya suster yang berani lewat lift itu. Meski tidak setiap hari, tapi dia menggunakannya saat genting. Dan sekarang dalam keadaan genting karena dia lupa membawa ponselnya.
Brenda sudah menekan angka tiga, di mana ruangannya berada. Belum sempat lift itu tertutup ada seorang lelaki yang masuk ke dalam lift.
Lelaki itu menatap Brenda dari atas sampai bawah, begitu pun seterusnya sampai beberapa kali. Brenda merasa risih karena ditatap demikian.
"Apa yang dokter lihat?" tanya Brenda memberanikan diri.
"Kamu dokter di sini juga?" tanya Ricky, ya lelaki itu adalah Ricky.
"Bukan, saya seorang suster di sini."
Ricky mengangguk-anggukkan kepalanya, mencoba mencerna apa yang wanita itu katakan. Dia malah berpikir wanita itu sebagai simpanan Presdir Liau karena diperbolehkan naik lift khusus.
"Tapi kayaknya saya pernah lihat kamu, apa kamu suster lama di sini?" Ricky mencoba mengingat-ingat wajah Brenda.
"Ya, saya suster lama di sini."
Pintu lift akhirnya terbuka, Brenda keluar sendirian karena Ricky menuju lantai lima. Di mana Presdir Liau berdiam diri di ruangannya.
"Astaga Tuhan, kenapa dia semakin tampan?" Brenda menekan-nekan dadanya yang sesak tiba-tiba saat tak sengaja bertemu dengan Ricky.
Gadis itu tak mau berlama-lama, dia langsung menuju ruangannya dan mencari di mana ponselnya.
"Kamu masih di sini, sus?"
Brenda menolehkan kepalanya, dia hafal suara siapa itu. Benar, Marsel yang barusan bertanya padanya.
"Tadi saya sudah pulang dok, tapi saya ke sini lagi karena ponsel saya ketinggalan." jawab Brenda berterus terang.
"Oh begitu, ya sudah. Jangan sampai nanti malam telat." Marsel langsung pergi meninggalkan Brenda yang masih sibuk mencari di mana keberadaan ponselnya.
Semua laci dia buka satu persatu, Brenda sungguh lupa di mana dia menaruh ponselnya terakhir kali.
"Hah... Dari kapan sih lo nyungsep ke sini?" Brenda lega, ponselnya dia temukan tengkurap di dalam tong sampah pribadinya.
Untung saja tong sampah itu hanya berisi kertas bekas dan beberapa tisue yang dia pakai untuk membersihkan barang-barang di ruangannya.
Brenda langsung menuju lift dan langsung pulang. Dia butuh istirahat dan nanti malam harus bekerja lagi. Tapi kali ini Brenda lewat lift umum, karena ponselnya sudah ketemu.
***
Next...