Episode 9: Jujur Walau Pahit

1520 Words
Di pagi hari dalam rumah sederhana sepasang ibu dan anak sedang duduk di kursi ruang makan. Amara dan sang bunda sama-sama menghadapi teh. Semalam setelah tidak mendapatkan jawaban Bunda melanjutkan di pagi hari. Namun, meskipun begitu Amara tetap saja bersikeras untuk tidak menceritakannya semua. Amara memutar bola matanya tampak mencari-cari alasan untuk diberikan jawaban pada sang Bunda. Semalam dia memang sengaja melarang Kafeel untuk mengantarkan pulang. Itu semua karena dirinya belum siap, memberi tahu kejadian yang dia lakukan jika lelaki itu bertemu dengan orang tuanya. "Mara, kamu nggak sakit, kan? Bunda lihat kamu stress banget, ceritain jangan dipendam sendiri. Sepulang dari Bali kamu langsung batalin pernikahan gitu aja, sampai sekarang bahkan kami belum tahu apa alasannya?" Bunda menghela napas berat, Amara memang keterlaluan. Sampai membuat wanita itu merasa sedih seperti ini. “Hemm... Mara enggak papa kok, Bun. Cuma sedikit basah semalam, karena pas jalan ada angkutan umum lewat kubangan, sampai aku kena cipratan air pas berteduh,” ucapnya Amara sambil menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum. “Oh, bunda cuma khawatir kalau kamu kenapa-kenapa. Jaga kesehatanmu ya, besok kan kamu harus udah mulai masuk kerja.” bunda menyentuh pipi Amara dengan cinta dan kasih penuh. Bibir Amara keluh terkunci rapat, bergerak-gerak tapi tidak mampu berkata-kata, saat ingin menceritakan semua kejadian yang telah ia alami. “Bun," panggil Amara dan sang bunda langsung menghentikan langkahnya saat akan beranjak ke dapur, setelah kemudian berbalik menoleh ke arahnya. “Ada apa, Mara?” “Bun, aku—sebenarnya mau cerita, tapi... aku takut.” Bibir Amara sangat berat bahkan seberat kerinduan cinta jarak jauh yang dibilang oleh orang-orang. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Bunda jika tau dirinya telah melakukan perbuatan terlarang. Tapi jika ia terus saja menyembunyikan ia akan tersiksa dalam kebohongan ini. “Kenapa sebenarnya, Mara?” tanya bunda lagi. Penasaran karena suara putri pertamanya itu tercekat di dalam tenggorokan. Amara sudah membulatkan tekat, untuk mengatakan pada bunda apa yang terjadi. Keluarganya harus tahu kalau sebenarnya dia membatalkan pernikahan karena sudah berhubungan intens dengan Arkha. Kini gadis itu menunduk sambil memejamkan mata seiring menghela napas dalam-dalam. “Bun, maaf, alasan batal rencana pernikahan kami itu semua karena aku sudah lakukan hubungan badan sama orang lain." "Astaghfirullah...." Suara Bunda amat sangat lirih. Wanita yang paling disayangi Amara itu seketika terhuyung hampir saja terjatuh kalau saja tak segera berpegangan pada atas kursi. Amara yang melihat langsung beranjak memegangi kedua bahu sang bunda. Diiringi perasaan khawatir. Benar saja, setelah mendengar cerita sebenarnya darinya, bunda akan langsung syok. Menyambar gelas berisikan air putih lalu ia meminumkan. "Nggak usah, Mara, aku bisa sendiri." Bunda mengambil gelas dari tangannya. Dengan tubuh gemetar ia duduk seiring tatapan kosong matanya berkaca-kaca. Amara rasa ini adalah titik kehancuran hati seorang ibu. Di saat membesarkan, mendidik dan berharap anaknya kelak menjadi wanita yang bisa menjaga martabat. Namun ternyata Amara membuat semua harapan itu pupus seutuhnya! "Mbak, bener semua yang kudengar tadi?" tanya Amira tiba-tiba menyela dari arah belakangnya. Kemudian adiknya yang kini memakai kaos street dan celana jeans panjang itu berwarna biru itu mengusap-usap punggung Bunda. "Bun, tenangin diri dulu, ya. Aku yakin semua ini nggak bener." Terus saja menggosok penuh dengan rasa khawatir. "Kok bisa gitu, gimana sih, Mbak, ceritanya? Semua kacau tau, nggak?" Amara menunduk merasa bersalah. Ingin memegang Bunda tapi takut jika semakin syok. Rasa bersalahnya semakin besar tatkala melihat wanita bersuara lembut itu menangis. Sungguh, Amara merasa menjadi perempuan yang paling jahat di dunia ini, karena sudah membuat hati ibu terluka sampai menitikkan air mata. "Sebelumnya, Bunda masih punya harapan untuk membuat kamu berubah pikiran, saat tiba-tiba minta pernikahan dibatalkan. Tapi sekarang, setelah tau yang sebenarnya, bunda rasa akan menjadi orang jahat karena memaksakan pernikahan kamu yang sudah ternoda, dengan Kafeel laki-laki baik. Kurasa kamu memang nggak pantas buat dia." Suara pecahan gelas dari arah sudut ruangan membuyarkan mereka semua. Amara dan Amira seketika melihat ke arah sumber, untuk mengetahui apa yang terjadi. Kedua kalinya, suara pecahan kaca kembali terdengar. Membuat Amara semakin mempercepat langkahnya. Ia benar-benar terkejut, sambil membulatkan mata saat sampai di ruang tengah. Ternyata suara itu bersumber dari Ayah yang sedang duduk di sofa sendirian. Dengan tatapan tajam kedua tangannya mengepal di atas kedua pahanya. Napasnya terengah-engah membuat Amara dan Amira saling berhadapan tidak berani bertanya. “Ayah!” Mata mereka berdua membulat sempurna sedangkan dadanya naik dan turun menstabilkan pernapasan yang tengah memburu. Amara khawatir tadi, takut kalau terjadi apa-apa pada ayahnya. Namun, ternyata beliau baik-baik saja. Hanya pecahan-pecahan vas kaca berserakan di atas lantai. “Ayah... apa yang terjadi? Kenapa vas-vas ini berantakan di lantai?” tanya Amara. "Kayaknya Ayah denger semua apa yang baru saja kamu katakan, Mbak," bisik Amira secara perlahan sehingga tidak bisa didengar siapa pun. Jantung Amara seperti berlompatan seolah-olah naik roller coaster. Tangannya terasa dingin. Melihat ke arah ayahnya begitu menyeramkan dengan wajah memerah sama sekali tak berkedip. "Jadi benar apa yang dibilang sama teman kamu selama ini?" "Siapa?" Amara mengerutkan dahi seiring alisnya terangkat. Tiba-tiba ia tersentak saat Ayah melempar paper bag kepadanya. "Selama ini Ayah nggak percaya, karena menganggap kamu adalah anak kepercayaanku, kamu nggak akan melakukan perbuatan tercela seperti itu." Amara masih melongo merasa terkejut, siapa sangka kalau temannya yang selama ini dia percaya mengatakan hal buruk tentangnya pada Ayah. "Handphone itu juga termasuk salah satu barang yang kamu tukar dengan harga dirimu, kan?" Amara langsung menggeleng. Hatinya seperti tersengat lebah beracun saat ini. Ia tidak menyangka, tuduhan rendah seperti itu keluar dari bibir sang Ayah, pria yang selalu membanggakannya kini berbanding balik. "Ini terlalu sakit buat Amara, Yah. Ayah, nggak bisa seenaknya nuduh Amara gitu aja, hp ini bukan hasil dari jual diri, tapi punya orang yang akan Mara kembalikan!" Biar saja Amara dimarahi oleh Ayah karena sudah berani membentak, ia tidak peduli. Yang pasti ia sangat tidak suka atas tuduhan itu! "Mungkin, Ayah, bisa tanya sama Dokter Nessa, minta jelaskan sama dia, jam berapa aku datang, istirahat, makan siang dan pulang." Setelah berbicara Amara menghentakkan satu kakinya disertai perasaan kesal. Amara tidak peduli jika mereka semua masih ingin mencercanya. Bukan keluarganya saja yang syok akan kejadiannya ini, tetapi dirinya jauh lebih stress di banding apa pun. Kalau boleh milih, ia juga tidak ingin hal itu terjadi padanya. Suara bantingan pintu terdengar menggema sampai keluar kamar. Saat di dalam Amara terlihat begitu frustasi bahkan menjambak rambutnya sendiri kemudian ingin membanting paper bag berisikan handphone ke lantai. Namun detik berikutnya ia mengurungkan niatnya. Mengingat betapa mahalnya harga yang sudah dikeluarkan untuk membelinya. Jika benda itu hancur maka Amara akan semakin banyak berhutang pada Arkha, sudah pasti cowok itu akan berbuat semena-mena padanya. Amara mengepal ingin geram pada dirinya sendiri. Dan Arkha terutama, entah kenapa rencana indah yang dia susun kini menjadi berantakan saat pertemuan dirinya dengan cowok itu. Belum lagi siapa temannya yang ternyata selama ini musuh dalam selimut? Entah apa tujuan dia, sehingga telah berani menjatuhkan namanya di depan sang Ayah. Emosi Amara benar-benar sudah memuncak, hampir meledak. Jika ia tidak menahan, mungkin saja amarahnya sudah berkobar kemana-mana. Barang di hadapannya mungkin sudah berantakan. Kini gadis itu duduk sambil menunduk di di bawah nakas. Ia menatap paper bag dihadapannya. Menghela napas kemudian menghembuskannya. Mendongak ke atas sambil memikirkan jalan keluar untuk masalah ini. * Hingga larut malam, Amara tenggelam dalam kesendirian di sudut kamar. Tanpa menyalakan lampu, kipas angin bahkan tanpa mandi. Seleranya untuk melihat dunia kini telah pudar. Cita-cita untuk memiliki klinik sendiri yang akan dibangun setelah menikah pun pupus ia kubur baik-baik dalam angan. "Mbak! Bangun, cepetan, mbak!" Amira menggedor pintu secara cepat. "Mbak, ayah pingsan!" Amara yang sebelumnya begitu enggan itu pun seketika beranjak mengangkat wajahnya saat mendengar nama ayah disebut. "Ayah kenapa, Mir?" tanyanya masih berdiri di ambang pintu sambil memegang handle. "Ayah pingsan, Mbak! Dari tadi pagi setelah berantem sama kamu, kata bunda beliau gak mau makan atau minum sama sekali, bahkan terus saja ngelamun." Amara segera berlari menghambur menuju kamar ayah dan bundanya. Hal inilah yang dia sangat takut kan, bagaimanapun semua sudah terjadi. Meskipun kedua orang tuanya sedang marah padanya, Amara tetap berusaha membawa mereka ke rumah sakit. Menaiki sebuah taksi online. Sesampainya di sana, ayahnya segera dibawa ke ruang unit gawat darurat untuk ditangani oleh dokter yang berjaga. Sudah cukup lama, tapi ayahnya sama sekali belum sadarkan diri. Beliau koma! "Apa lagi ini?" Amara segera menyeka air matanya yang baru saja mengalir dari sudut matanya. Ia bersandar pada dinding sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Sebelumnya bapak Rivky ini punya riwayat hipertensi, kan?" Amara mengangguk. "Kalau sudah tahu mempunyai penyakit hipertensi, kenapa tidak mau minum obat penurun tekanan darah tinggi? Obat itu harus rutin diminum tidak boleh di jeda-jeda. Aku sendiri sudah merasakan manfaatkan. Terlepas dari itu sejak semalam Amara memang tidak mengingat. Ia berpikir ayahnya tidak seperti ini sekarang. "Ayahmu mengalami penyempitan pembuluh darah." "Tapi nggak apa-apa kan, Dok?" Dokter menggeleng. "Semoga beliau cepat pulih setelah ini. Dengan pengobatan yang tepat aku yakin akan sembuh. Sebab penyempitan pembuluh darah kalo dibiarkan, lama kelamaan akan menyumbat pembuluh darah di area Jantung, dan berakibat fatal." Sepertinya selain gaya hidup kurang sehat, ayah Amara juga terlalu banyak berpikiran. Salah satunya adalah dirinya menjadi sebab utama. "Sekarang apa yang harus aku lakuin buat papa sampai sembuh."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD