Dingin saat salep berwarna bening itu dioleskan ke ruam yang ada di lengannya. Arkha mengusap bagian-bagian yang merah. Amara menahan napas beberapa saat ketika tangannya di genggam oleh cowok itu kemudian atasnya di usap dengan lembut.
Amara merasakan gelagat aneh pada diri cowok itu. Sejak tadi sebelum dia pergi bahkan terus saja menatap bibirnya dengan tatapan tergoda. Kini entah sudah beberapa kali putaran jari jemarinya masih menari di atas punggung tangannya. Membuat bulu-bulu halus Amara berdiri, sebab seumur-umur ia tidak pernah merasakan hal demikian.
"Ehem!"
"Sorry, kelupaan." Arkha segera melepaskan tangan. Menutup salep rapat-rapat mengembalikan ke kotaknya.
Amara mendengus sambil melirik sinis, “Kelupaan atau dilupain?” ledeknya kesal.
“Gimana? Masih gatal?” tanya Arkha, berikutnya menunduk meniup tangan Amara secara perlahan sehingga membuat gadis itu semakin merinding seperti ada mahkluk halus di sekitarnya.
“Udah, gue bisa sendiri lagi… udah nggak gatal juga,” ucap Amara dengan suara melembut seiring menarik tangannya dari genggaman Arkha.
“Mau pulang?”
mengangguk sambil beranjak berdiri. “Udah lama banget gue di sini, pasti Bunda nungguin, bahkan sampai nggak masuk kerja hanya karena ngembalikan hp lu,” ucapnya. Siapa sangka ia juga akan terjebak di rumah ini sebagai calon menantu bohongan.
“Dasar bocil.” Arkha terkekeh. Kemudian beranjak berdiri meletakkan kotak salep ke atas meja, ia duduk di samping Amara sambil menyandarkan punggungnya.
“Eh, kok bocil?” Alis Amara bertaut, tak terima.
“Iya, karena lo pergi aja dicariin bunda, bukanya begitu pantas disebut sebagai bocil, he um?”
Terserah deh cowok itu mau ngomong apa, yang pasti kali ini Amara tidak akan berhenti lagi. Dia sendiri bingung sebenarnya, kenapa ingin keluar rumah ini seperti terjebak dalam labirin. Selalu berputar akhirnya kembali lagi di tempat yang sama, sofa ruang tamu.
“Gue antarin.”
Ia melengok ke belakang saat Arkha berbicara, “Siapa?”
“Iya lo, calon istri.”
Amara menggeleng terkekeh tidak habis pikir. “Nggak bergetar ya mulutnya bisa nyebut gue seperti itu,” dengusnya sambil terus saja berjalan. Ia memilih tidak mengabaikan anak bapak Erick itu dari pada terpancing perdebatan yang tak ada ujungnya.
Setelah melihat jam di pergelangan tangannya, Amara semakin mempercepat langkahnya untuk naik ke atas motor. Namun dengan sengaja tiba-tiba Arkha menarik kunci lalu melemparkan secara serampangan membuat Amara menganga karena terkejut. Sialnya lagi, kunci memiliki gantungan hello kiti itu masuk ke dalam tong sampah.
“Semakin lama, lo makin menjengkelkan, ya. Nyidam apa sih ibuk Sita waktu hamil lo? Jahil banget tau, nggak. Kayak anak SD!”
“Masa anak SD bisa enakkin lo?”
“Tukan, dia selalu buat gue nggak bisa ngomong!” Dengan pipi yang memerah Amara menahan malu.
“Gue antarin pulang, di mana rumah lo? Dan bawa ini,” ucap Arkha memberikan kotak handphone, kemudian menekan benda hitam kecil di genggamannya, tak lama mobil lamborghini menyala lampunya.
“Mau gue bukakan pintu kayak princess, nggak?”
Amara tidak peduli, ia ingin mencari kunci motornya, setelah kehilangan ponselnya dua kali ia tidak mau kehilangan kunci kendaraan yang menghubungkan jalan antara rumah dan pekerjaannya. Dengan satu kaki menghentak ia berjalan melewati Arkha yang sudah membukakan pintu mobil untuknya.
Ia menghela napas dalam-dalam sebelum kemudian berjongkok untuk membalik tong sampah kecil, lalu menjepit hidung dengan satu tangan secara cepat. Sedangkan sebelah lagi mengorek ngorek menyingkirkan sampah tidak berguna untuk mencari kunci miliknya.
Arkha bersidekap sambil menyandarkan tubuhnya ke badan mobil, ia menggeleng terkekeh melihat kegigihan gadis itu, benar-benar tidak peduli kotor sungguh dia seperti gadis kampung.
“Ini bekas punya lo?” tanya Amara sambil mengangkat bekas sumpit di ujungnya ada benda seperti balon menggelembir berwarna putih. Gadis itu bahkan memperhatikan benda itu dekat-dekat sambil menyengir jijik menjulurkan lidah mau muntah.
Arkha terkesiap langsung berlari menghampiri gadis itu, menampik tangan Amara sehingga benda di tangannya terjatuh. “Jangan sembarangan! Apa lo tau, itu mengandung banyak penyakit?”
Bukannya mendengarkan Amara justru terkikik geli, menutup mulutnya dengan telapak tangan. Membuat Arkha melirik kesal ke arahnya.
“Cie… panik, ya? Makanya jangan suka menabur benih di mana-mana, bahkan di halaman rumah aja ada.” Amara menggeleng, mengibaskan tangan lalu melanjutkan mencari kuncinya.
Arkha mengusap tengkuk yang tidak gatal, melihat sampah yang tergeletak di bawah itu. Sebenarnya siapa yang sudah berani coba-coba buang sampah ke tampat itu? Berani sekali berbuat kotor di rumahnya, di saat dia sendiri tidak berani melakukannya. Apa mungkin itu bekas milik Papinya? Ah, Arkha rasa tidak mungkin bagaimana bisa mereka melakukan hiya-hiya di kamar lalu membuang sampa ke halaman rumah?
“Udah lama gue nggak lihat rekaman CCTV, setelah ini akan gue periksa, siapa pemilik bekas balon kenikmatan itu?” batin Arkha.
"Yang jelas barang itu, bukan punya gue, harus lo tau."
"Gue nggak peduli, kok... mau itu bekas siapa, lagian nggak ada kontribusi buat gue," ucap Amara. Kemudian tak lama berselang menoleh sambil mendongak ke atas.
“Yang buang seharusnya bantuin dong… jangan diam aja!” rutuknya kesal.
“Lagain ke mana sih, arah lo buangnya tadi, buang-buang waktu gue banget tau, nggak?” Memutar bola mata malas, kesal, jengkel semua berbaur jadi satu.
Arkha menghela napas dalam sambil mendengus. “Ya udah, lo ikut gue aja. Lagian ngapain cari-cari barang yang susah dicari? Lo tinggal beli aja yang baru, dari pada korek-korek sampah begitu.” Menyeringai mengejek melihat penampilan Amara.
“Apa lo mau gue beliin motor baru sekalian?”
“Selalu aja mengkur apa-apa dengan uang!” rutuk Amara kesal. Berjalan masuk ke dalam mobil duduk sambil melipat tangan di depan perut seiring bibirnya yang mengerucut.
"Ya udah gue ikut lo, tapi ini yang terakhir, ya? Gue bener-bener malas urusan sama lo."
Sebenarnya lebih baik ia naik taksi online dari pada harus berada dalam satu mobil dengan cowok menyebalkan yang selalu berhasil membuat emosinya bergejolak itu. Namun, ia dalam fase mengirit pengeluaran jadi lumayan jika bisa menghemat sedikit saja.
Maka dari itu ia memilih mobil Arkha membelah jalanan ibu kota, banyak kendaraan-kendaraan lainya lalu lalang, Amara terus saja diam tidak bicara satu patah kata pun sambil memalingkan mukanya menatap objek-objek di luar jendela.
Pandangannya berubah nanar saat melihat gedung stasiun televisi tinggi menjulang di sisi sebelah kiri jalanan. Yang sebagaimana ia ketahui kalau Kefeel menjadi salah satu bagian management di sana.
Arkha smbil memegang stir sesekali melihat ke arah gadis yang kini memejamkan mata sambil menghela napas berat itu. Cukup mengusik rasa penasaranya, sebab kalau dilihat-lihat melalui garis wajahnya banyak menyimpan masalah.
Sungguh melihat gadis murung seperti itu hal yang paling Arkha tidak sukai. Ia berdehem pelan berusaha mencoba mencairkan suasana. Rasanya lebih suka bertengkar dengan gadis itu dari pada diam-diam seperti itu.
“Lo mau makan dulu, nggak? Di depan ada restoran enak, mau cobain?”
“Nggak usah." Amara menggeleng kemudian memalingkan mukanya lagi ke luar jendela.
“Gue mau cepat-cepat sampai rumah sakit, dan urusan motor gue minta tolong dengan sangat, ya. Sama lo, minta orang buat anterin ke rumah gue.” Membuka tas mencari cari sesuatu dari dalam sana. Mengeluarkan kertas dan pulpen lalu menuliskan sesuatu.
“Ini alamat gue, minta tolong banget. Karena gue udah nggak mau urusan lagi ke rumah atau pun elunya langsung, yang malah akan jadi semakin ribet.” Meletakkan kertas catatan alamat rumahnya di atas dasboard.
Arkha tidak menjawab iya atau pun tidak. Hanya menatap pergerakannya menyimpan perasaan penasaran.
"Ingat ya, pesan-pesan gue sebelumnya ketika ada di rumah lo tadi. Kita nggak usah saling kenal selama ini, anggap kalau nggak pernah ketemu."
"Kalau gue nggak mau gimana?"
Amara menoleh seketika. Merasa heran, ternyata selain menyebalkan cowok itu juga labil!
"Emang di rumah tadi gue jawab sepakat? Nggak, kan?"
"Iya sih... tapi kan, harusnya hargai perasaan gue. Pokoknya gue nggak mau ketemu lagi, dan ngomong sama lo, titik!" ucap Amara tegas.
Arkha lagi-lagi hanya terkekeh menertawakan Amara. Sambil fokus menyetir mobil tiba-tiba berbelok ke halaman parkir sebuah apartemen mewah di Jakarta Selatan.
Sontak membuat rasa kesal bercampur penasaran Amara mencuat. Untuk apa dia dibawa kemari, apa jangan-jangan Arkha ingin berbuat tidak baik lagi padanya?
Kejadian ini seperti waktu di Bali, awalnya mereka dalam satu mobil baik-baik saja. Lalu kemudian malam lucknut itu pun datang. Amara tidak mau jika kejadian itu terulang lagi, tidak akan pernah!
"Lo kok, belok-belok ke sini, sih? Udah jelas-jelas tempat ini bukan tujuannya."
Arkha tidak menjawab, bergerak maju ke arahnya. Sontak membuat Amara refleks memundurkan tubuhnya, sebab tidak satu dua kali cowok itu selalu bersikap seenaknya.
"Mau apa lo?"
Justru semakin menunduk tangannya di samping pahanya. Ini sudah masuk dalam hal kurang ajar! Tidak bisa didiamkan. Amara melepaskan safety belt akan memberi perhitungan padanya.
"Ketemu."
Amara melongo ternyata pikiran buruknya pada Arkha salah. Saat dia memegang sebungkus rokok di tangannya. "Cari rokok?" tanyanya.
Arkha mengangguk. "Terus lo pikir cari apa?"
Setelah berujar Arkha membawa handphone dan juga bungkus rokoknya keluar dari mobil. Memberikan Amara sendiri di dalam sana. Jelas saja membuat gadis itu mengerutkan dahi, bingung, sebenernya apa yang akan dia lakukan.
"Tunggu di sini, sebentar. Gue ada barang yang ketinggalan di dalam apartemen. Nggak lama, jangan kemana-mana, ngerti?"
Amara mengangguk. Ternyata tempat mobil itu berhenti adalah apartemen Arkha yang dibilang Sarmilah yang dijadikan dia tempat tinggal setiap hari?
Satu, dua dan tiga menit bahkan berganti jam. Amara masih ada di dalam mobil, dengan bodohnya dia menunggu seperti kucing kecil yang menunggu tuannya bepergian. Sambil melihat jam di pergelangan tangannya ia menghela napas kemudian mengembuskan hingga pipinya mengembung.
"Dia ini niat ngerjain gue, ya? Astaga... sampai hampir Maghrib belum keluar juga." Amara merasa kebas duduk di dalam mobil. Ia beranjak mendorong pintu mobil, ternyata di kunci oleh sang pemilik.
"Huh, sabarkan aku menghadapi anak bapak Erick, ya Allah...."
Amara sudah kehabisan kata-kata untuk mendefinisikan rasa kesalnya. Sekarang ia terjebak dalam mobil mewah itu, harus apa?
Amara mencoba menggoyang-goyangkan pembuka pintu. Namun, benda itu sama sekali tidak bergerak.
"Sialan banget, sih!"
Sambil menggerutu Amara terkesiap ketika melihat cowok yang sedang ditunggu-tunggu sampai hampir jamuran berjalan dari lift pintu masuk ke arah dirinya.
Amara melebarkan mata bulat-bulat ternyata Arkha keluar dari sana tidak sendirian. Ada cewek cantik berbadan langsing menonjol di bagian depan atas dan tengah belakang. Dress yang dikenakan juga pas melekat di tubuhnya rambut panjang sampai punggung membuat dia terlihat sangat cantik.
Sangat berbeda jauh dengan dirinya yang kini memakai celana wanita coklat dan pakaian yang dia kenakan pun kedodoran tak bermodel.
Detik berikutnya, Amara menggertakkan gigi seiring tangannya yang mengepal memukul kursi samping pahanya.
Apa Amara cemburu?
Tidak!
Ia hanya merasa kesal karena telah dibodohi oleh Arkha. Sampai satu jam lebih, ternyata hanya menunggu cowok itu berpacaran dengan cewek seksi di belakangnya.
"Hei, sorry, nunggu kelamaan nunggunya, ya?"
Masih saja bertanya, apa Arkha tidak tahu kalau mereka berhenti di basemen ini susah sejak hampir dua jam lamanya?
Amara tidak mau menjawab, hanya memutar matanya saja melirik kemudian melihat depan lagi sambil melipat tangan di depan dadanya.
"Kenapa diam aja?" Arkha terkekeh menggeleng.
"Ah, gue tau, pasti cemburu, ya? Tuh kan, mukanya merah...."
Masih diam, Amara masih begitu enggan berinteraksi dengan Arkha. Setelah berbuat kesalahan karena sudah membuat dirinya lama, bukan minta maaf baik-baik justru malah kini memperolok dirinya, mengatakan kalau Amara cemburu!
"Nggak nyangka, kalau lo cemburu begitu lihat gue sama Anggita."
Melirik ke samping masih saja Arkha menertawakannya. Beneran! Amara tidak cemburu, mau Arkha dengan siapa pun ia tidak peduli.
Namun ia tidak suka karena menunggu terlalu lama! Entah apa mau Arkha mempermainkan dirinya demikian!
"Tau ah, pusing, galap tau, nggak, ngomong sama kamu!"
Setelah berujar Amara mendorong pintu, keluar dari mobil. "Kalau nggak mau ngantar, harusnya lo nggak nawarin!"
"Lo mau ke mana, Mara?"
Amara menutup pintu dengan kasar. Kemudian meninggalkan halaman parkir dengan langkah cepat. Ia berdiri di pinggir jalan untuk mencari taksi lewat, begini susahnya jaman sekarang kalau tidak mempunyai handphone android yang apa-apa serba memesan online. Kini ia sedikit kesulitan mendapatkan mobil untuk ia tumpangi.
Untung saja, tak lama angkutan umum berwarna hijau pun lewat. Setidaknya membuat Amara lega, sebab paling tidak mendapatkan tumpangan untuk ke rumah sakit.
"Mbak, kamu ke mana aja, sih? Dari tadi gue nungguin loh. Mana hp nggak bisa dihubungi lagi."
"Ya kan, mbak udah bilang, kalau hp rusak, jatuh kemarin malam."
Amira langsung menyergah sang kakak, Amara dengan banyak pertanyaan. Mereka berdua kini berjalan masuk ke dalam rumah sakit bersama-sama setelah berpapasan di depan halaman.