Episode 11: Playboy Cap Kaki Ayam

1603 Words
Amara tidak mengerti kenapa semua jadi kacau seperti ini. Kedatangannya sangat disalah artikan oleh mereka. Kedua orang tua Arkha humble padanya. Bahkan mereka terus bertanya padanya tentang hal-hal yang menjurus ke ranah pribadi. Salah satu contoh seperti, “Kamu sukanya makanan apa?” “Biasanya kalau beli baju di mana? Ukuran kamu berapa?” “Di rumah kamu ada berapa orang yang tinggal?” Mereka cukup banyak memberi dirinya pertanyaan, sehingga tidak memberi Amara kesempatan untuk menjelaskan apa niat kedatangannya kemari. Sedangkan Arkha terlihat bersikap bodo amat sibuk memakan makanan buatan maminya dari atas piring bundar berwarna putih. Amara terus saja melirik cowok itu kesal, ia berharap kalau mendapat bentuan untuk menjawab pertanyaan mereka meski pun sedikit saja. Namun, tampaknya Arkha memilih tidak peduli dengan orang di sampingnya. “Tente, saya mau minta izin ke toilet, kalau boleh tau, di mana ya?” tanya Amara. Mungkin ini adalah jalan satu-satunya untuk menghindar dari berbagai banyak cercaan, seperti mengikuti seleksi miss universe yang ke babak final. “Bik Sarmilah… tolong antarkan calon menantuku ke toilet di kamar tamu, atau ke kamar Arkha sekalian, ya!” teriak Mami. Amara dan Arkha seketika membulatkan mata saat mendengarkan suara Mami, wanita memiliki paras cantik berdarah Jerman dan Indonesia itu begitu antusias, aura wajahnya memancarkan bahagia. Papi yang sangat mencintainya, tentu ikut senang melihatnya. “Mami seneng banget kalau kamu pilih dia jadi istri, Arkha. Aku nggak ngira, kalau melihat dari foto-fotonya terlihat seperti gadis-gadis yang sebelumnya kamu kenalkan sama Mami, tapi setelah ketemu langsung, dia beda benget. Sopan, cantik, dan polos,” ucap Mami saat Amara sudah diantarkan oleh Sarmilah ke toilet. “Kalau dia polos, nggak mungkin begituan sama Arkha, Sayang,” sergah Papi yang telah selesai menyantap makanan, bersandar ke kursi sambil menemani istrinya bicara. Kadang-kadang Arkha merasa cemburu dengan kedetakan mereka, bahkan ia sering berpikir kalau mereka lebih mencintai satu sama lain dibandingkan dirinya. Cowok itu hanya menggeleng terkekeh melihat kedua orang tuanya. “Tapi aku rasa, setelah mencermati foto-foto itu, kayaknya dia nggak sadar. Bisa itu cuma akal-akalan anak kita, kan, Pi?” tanya Mami duduk dengan elegan sambil menusuk makanan di piring dengan garpu. “Mami selalu aja curigaan sama aku bawaannya.” Benar saja, ibu Sita selalu memiliki insting kuat dibanding bapak Erick selama ini. Terbukti jika Arkha sejak dulu menyimpan kebohongan pasti akan ketauan. “Udah, udah, terlepas siapa yang benar dan salah. Yang pasti mereka memang lagi deket, kan? Maka nggak ada salahnya kalau kita segera menikahkan mereka?” Selera makan Arkha seketika memudar saat mereka berdua kembali memibacarakan pernikahan. Sungguh, ia tidak mau jika menikah sekarang, ia masih ingin bebas tanpa banyak aturan dari istri. Apa lagi jika memiliki istri seperti Amara. Bukan sama sekali seleranya. “Tapi, Pi, aku belum siap untuk menikah. Aku masih ingin sendiri menikmati hari-hari-“ "Kamu lupa apa kata Papi tadi, menikah atau kehilangan semua?" Papi benar-benar bisa membuat Arkha bungkam. “Jangan bilang kalau kamu masih hubungan sama wanita itu?” Arkha belum juga menyelesaikan kalimatnya, mami sudah menyelanya. Arkha tahu siapa yang dimaksudkan. “Mami sudah peringatkan berkali-kali, ya. Bahkan mami sama papi juga sudah sepakat, kalau kamu masih aja hubungan sama banyak perempuan, bakalan nggak terima kamu lagi sebagai anak. Alasan apa pun kami akan tolak, karena citra keluarga kita sudah semakin buruk!” ucap Mami tidak bisa dibantah. "Kamu sudah memasuki usia dewasa, Arkha, bukan waktunya untuk main-main lagi. Setelah kamu menikah, Papi akan mengatasnamakan sebagian perusahaan kita atas namamu. Dengan begitu kamu akan tau tanggung jawab, sebagai kepala rumah tangga atau pun kepala perusahaan," imbuh Papi. Lagi-lagi Arkha hanya bisa mengusap tengkuknya yang tidak gatal sambil meringis. Entah sihir apa yang diberikan oleh Amara kepada orang tuanya, sehingga baru pertama kali bertemu saja sudah membuat mereka suka. Sangat berbeda dari pada sebelumnya, jika Mami Sita mengetahui Arkha sedang dekat dengan seorang cewek. Selalu diselidiki sampai ke akar-akarnya pada akhirnya Mami tidak menyukainya. Oleh sebab itu, Arkha memilih tidak memberi tahu kedua orang tuanya saat sedang dekat dengan seorang perempuan. Lagi pula, ia tidak berniat untuk menikahi mereka semua yang selama ini dia ajak bersenang-senang. *** "Papi sama Mami sudah tau semuanya." "Hah?" Amara seketika menolah seiring bibir yang terbuka. Justru Arkha menyeringai mencemooh gadis itu. "Ditutup mulutnya, nanti ada lalat masuk, mau hamil anak lalat? Kan mending hamil anak gue." Amara mendengus kesal, entah kenapa Arkha–anak bapak Erick ini selalu sukses membuat emosinya bergejolak. Semua yang ada dalam dirinya begitu menjengkelkan bagi Amara, tidak tingkah lakunya yang selalu meledek, wajahnya walaupun ganteng, tapi dia memang menyebalkan! "Oh, iya, gimana udah ada tanda-tanda belum?" tanya Arkha kini raut wajahnya tampak serius netra coklat itu menatap wajah Amara kemudian ke perut. "Tanda-tanda apa?" Amara melengos malas menatap Arkha. Meskipun berpura-pura tidak mengerti, tapi Amara tahu apa yang dimaksud oleh cowok itu. "Nggak kebayang sampai sekarang, gimana bisa gue kejebak sama cowok ini , sih?" batin Amara. Untuk ketika melakukan "hal itu" ia tidak sadar. Seandainya ingatannya waktu itu baik-baik saja. Mungkin saat ini ia akan masih terbayang-bayang. "Brati kita emang ngelakuin begituan?" tanyanya untuk memastikan. "Kita nikah." Amara menoleh cepat menatap Arkha tajam bertanya-tanya. "Iya, kita nikah. Sebagai cowok yang baik maka aku harus bertanggung jawab, karena sudah tiduri anak orang. Sudah ambil keperawanan lo." "Nikah?" Amara menggeleng mengalihkan pandangannya malas. "Lo pikir nikah segampang itu apa?" Terkekeh tidak habis pikir dengan perkataan Arkha. Lagi pula mana mungkin ia menikah dengan lelaki di sampingnya. Dia memang kaya, tampan tapi tidak mempunyai attitude yang baik! Lagi pula, ia masih menyimpan nama Kefeel cukup baik di dalam relung hatinya. Sikap berbeda jauh terlihat dari mereka berdua. “Masa iya, gue lepas sandal hermes, malah beli sandal warung!” batin Amara. "Jadi... mau apa gak?" Arkha kini berpindah ke pembatas balkon menghadap tepat di depan Amara. Tatapan cowok itu begitu serius, sehingga membuat Amara tidak bisa bicara. Tersirat rasa gugup di wajah Amara, sebab kulit pipinya memerah kini. Bahkan ia menatap tak tentu arah, salah tingkah. Namun, detik berikutnya di balkon kedua muda mudi itu saling bertatapan. Amara menaikkan sebelah alisnya saat Arkha menahan tawa sambil memegangi perutnya. Sontak membuat gadis itu memajukan bibirnya kesal. Saat melihat Arkha ketika geli, ia kian mengepal ingin mencekik sampai cowok itu muntah sandal dari kerongkongannya. "Panik, ya?" Menggeleng sambil memegang perutnya. "Pasti lo ngarep banget jadi istri gue, kan?" Amara menyipitkan mata, Arkha terus menertawakan dirinya. Jadi baru saja yang dikatakan itu hanya untuk menggodanya? "Emang gue ada bilang, mau? Nggak kan?" Arkha menyunggingkan bibir seiring kedua pundaknya yang terangkat. "Siapa pun, selalu pengen menikah sama gue, bahkan mereka lebih cantik dari pada elo, singa betina. Nggak usah ngelak, yang jelas banget lo juga pengen banget kan jadi istri gue?" Arkha justru semakin meledek. Berada di sana, Amara ibaratnya sudah seperti sebuah teko di atas kompor berisikan air panas yang mengeluarkan asap. "Gak usah geer, sih. Siapa juga yang mau jadi istri lo." Lebih baik Amara menikah dengan Kafeel, meskipun dia selalu sibuk bekerja paling tidak mereka saling mencintai yang akan menjadi pondasi dasar pernikahan untuk selamanya. Namun, bagaimana dengan kesalahan yang telah dia perbuat? Apakah Kafeel pria matang itu mau menerima yang sudah termasuk cacat di dalam? "Kalau emang mau, ngangguk aja, lagi pula nggak ada pilihan lain kok. Lo tinggal bilang iya, gue sama keluarga akan urus semua. Mau?" "Bisa edan gue nikah sama lo, nggak-nggak, pokoknya gue nggak mau!" Amara mengibaskan tangannya, memutar badan namun dengan cepat, Arkha menarik pergelangan tangannya. Tubuh Amara terhuyung ke belakang, cowok itu segera mengubah posisinya. Kini menjadi Amara terpepet besi ukiran pembatas balkon sedangkan Arkha membaik tumbuh seiring kedua tangannya memegang besi di samping kanan dan kiri Amara. Sehingga membuat gadis itu tidak bisa memiliki akses keluar. "Kita udah terlanjur basah, nyebur sekalian." Deru napas beraroma mint segar menerpa wajah Amara. Gadis itu seketika menjauhkan wajahnya ke belakang. Untuk menghindar namun sayang Arkha semakin mendekat sehingga tubuh Amara condong ke belakang. "Apa-apaan sih, lo! Jauh-jauh sana, nggak suka gue dideketin sama elo!" Selain enggan ada alasan lain dibalik penolakan Amara. Kenapa detak jantungnya berlompatan saat mata cowok itu menatapnya lekat-lekat. Tak hanya aroma mulut saja yang menyeruak, akan tetapi aroma parfum dari ekstrak kayu-kayuan tercium jelas dari pakaian yang dia kenakan. "Tuli ya? Ditanya kenapa diam aja? Ciee salah tingkah nie...." "Enak aja kalau ngomong." Amara tak terima. "Lu ingat nggak? di Bali apa aja yang udah kita lakuin?" Terus saja Arkha mengingatkan hal-hal yang telah dilakukannya di pulau Dewata. Mengundang rasa sakit kepala pada diri Amara. Ia kini terus mundur saat cowok itu terus saja menghimpitnya. Sambil memejamkan mata ia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Mencegah kejadian yang semalam supaya tidak terulang lagi. "Kenapa nutup mulut? Buka, gak enak ngomongnya kalau seperti itu." Satu tangan Arkha bergerak untuk membuka. Namun Amara bersikukuh untuk tetap menutup mulutnya dengan tangan sambil menggeleng. "Buka." Suara Arkha masih menggunakan intonasi rendah, tapi tangannya terus berusaha meminta Amara untuk membukanya. "Gimana lo mau jawab, kalau mulutnya ditutup gitu? Buka cepat!" "Gue tau akal bulus lo, playboy cap kaki ayam... lo pasti mau cari kesempatan lagi, kan, buat nyium gue?" ucap Amara berdengung di balik telapak tangannya sambil terus menggeleng. Arkha tidak sabaran, tanpa berbicara menarik kedua tangan Amara sehingga membuat gadis itu kualahan. Namun demi mempertahankan citra yang luar biasa, gadis itu terus menutup bibirnya. "Keras kepala banget, sih? Gue bilang nggak mau!" Amara menjauhkan wajahnya untuk menghindar. "Dapat panggilan dari mana lo sebut gue, play boy cap kaki ayam? Emang lo mau gue cekerin?" Amara menggeleng. "Apa mau gue patuk? Ayo sini cobain." Tampa mereka sadari, Sarmilah yang kini sendang menjemur pakaian di seberang dinding tersenyum-senyum sendiri, sesekali mengintip sambil mendengarkan pembicaraan mereka berdua disertai mengulum senyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD