Dua hari kemudian, hari yang dinantikan tiba. Zulfikar mematut dirinya di cermin. Lengan baju kemeja berwarna hitam ia gulung hingga bawah siku, kemudian ia menyugar rambutnya sebelum memasang peci di kepalanya. Ia berputar arah ke kiri dan kanan memastikan penampilannya sudah rapi ataukah belum. Setelah memastikan bahwa semua telah sesuai dan rapi, ia pun tersenyum mengamati dirinya sendiri.
Setelah puas dengan penampilannya, ia mengangkat kedua tangan dan berdoa.
"Ya Allah, ridhailah langkahku dan lancarkanlah segala urusanku pada hari ini... aamiin!" Zulfikar menyapu wajahnya seraya berbalik dan keluar dari kamar.
Zulaikha dan Murdani sudah siap-siap di ruang tamu. Sore ini mereka akan berbuka puasa bersama di rumah Ainun. Dan juga sebagai simbol keseriusan Zulfikar untuk meminta Ainun secara langsung pada keluarganya.
"Bagaimana? Kita langsung jalan?" tanya Murdani, abang ipar Zulfikar.
Zulfikar mengangguk. Dan mereka pun keluar rumah. Raga atau keranjang berisi buah yang sudah dihias, tergeletak cantik di jok belakang mobil yang dipinjam Murdani dari temannya. Zulfikar sangat bersyukur, abang ipar seperti abang kandungnya sendiri.
*****
Jantung Ainun berdetak cepat. Tangannya berkeringat dingin. Zahara yang sejak tadi melihat Ainun mondar-mandir berdecak gemas dengan kelakuan sahabatnya.
"Ngapain kamu mondar-mandir begitu terus sejak tadi? Apa kamu mau berubah jadi setrika? Mondar-mandir di baju gosoan?"
"Aduh, Ra, aku gugup ini. Hatiku dari tadi gak mau tenang. Apa aku batalkan aja, ya?" Ainun berhenti dan menatap manik mata Zahara.
"Eh, jangan! Gak boleh! Apa kamu gak kasihan sama Mak Cik dan Abang ... Syamsul?" Menyebut nama Syamsul membuat Zahara ikut merasa deg-degan. Entah mengapa hatinya selalu bergetar saat nama Syamsul terucap.
Ainun duduk di tepi ranjang. "Entahlah, Ra, kok aku jadi bimbang, ya, sekarang?"
Zahara mendekat dan duduk di samping Ainun. Ia raih tangan Ainun dalam genggamannya. "Nun, aku tahu gimana rasanya ketika orang yang kita cintai datang merisik, ada rasa cemas dan khawatir, bukan? Kalau rasa bimbang tiba-tiba bergelayut dan membuatmu ragu, lebih baik sekarang kamu berwudhu dulu. Gak lama lagi keluarga Zulfikar akan tiba. Lihat jam udah pukul berapa," tunjuk Zahara ke arah jam dinding di kamar Ainun.
Ainun mengikuti arah pandang Zahara. Ia terpekik saat melihat jarum jam mengarah ke angka setengah enam. Ini berarti tidak lama lagi Zulfikar dan keluarganya akan tiba. Bergegas Ainun ke belakang dan masuk ke kamar mandi. Dengan berwudhu semoga hatinya akan tenang.
Tepat pukul enam kurang lima belas menit, Zulfikar dan keluarganya tiba. Mereka disambut oleh Syamsul dan Hanum di depan. Sementara Ainun dan Zahara tengah menyusun makanan di meja makan untuk berbuka puasa nanti.
Murdani sebagai yang tertua di keluarga Zulfikar mulai membuka pembicaraan yang menjurus kepada maksud tujuan kedatangan mereka ke rumah Hanum. Mereka berbincang dengan santai supaya tidak ada kecanggungan dan rasa gugup yang menyelimuti ruangan. Apalagi mereka sudah lama saling mengenal.
Tiba-tiba Syamsul terkekeh geli. Sejak tadi ia memerhati Zulfikar yang sesekali mencari keberadaan Ainun. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Zulfikar ... Zulfikar ... rupanya kamu begitu mencintai adikku.
Ainun sengaja tidak dihadirkan ke ruang tamu. Lagipula mereka juga akan bertemu ketika di ruang makan saat berbuka nanti.
Tanpa terasa pembicaraan mereka akhirnya menuju kesepakatan. Pertunangan resmi akan diadakan pada pertengahan Ramadhan nanti. Dan akad nikah setelah lebaran Syawal. Begitu rencana kesepakatan yang sudah final. Ucapan syukur sama-sama mereka ucapkan setelah mahar ditentukan.
Kelegaan merajai hati Zulfikar. Tidak dipungkiri bahwa ia merasa sangat bahagia. Namun ada yang kurang, hingga saat ini ia belum melihat calon bidadarinya.
Sementara di dapur, Zahara mendekati Ainun yang telah selesai menata meja dan ikut duduk pada salah satu kursi yang memutari meja dengan wajah tersenyum.
"Ada apa senyum-senyum? Senang bisa lihat Abang?" goda Ainun pada Zahara.
"Isshh... bukan, aku tersenyum bahagia karena sahabatku ini gak lama lagi udah gak sendiri lagi. Udah ada yang punya!"
Mendengar kata-kata Zahara, Ainun bergidik geli, tetapi tak urung ia juga ikut tersenyum. Pipinya memerah mengingat ia kini sudah dipinang oleh Zulfikar.
Suara Hanum dan Zulaikha yang semakin mendekat ke dapur mengejutkan Ainun dan Zahara. Tanpa sengaja, kedua hati anak dara yang duduk terpekur, berdetak cepat seakan-akan ada sesuatu yang besar mengikuti Hanum dan Zulaikha di belakang. Namun, hingga kedua wanita beda usia ini duduk, sesuatu yang membuat hati dua anak dara tadi berdetak cepat nyatanya tidak ada.
"Mak, Abang dan yang lainnya mana?" Ainun tidak bisa menutupi rasa penasarannya.
"Masih di depan, lagi seru bercerita, tuh, mereka kayaknya," jawab Hanum singkat. Lalu ia lanjut berbicara dengan Zulaikha.
Dua anak dara hanya mendengarkan pembicaraan kedua wanita di depan mereka. Tanpa menyela, apalagi ikut bersuara.
*****
Meja makan berbentuk lonjong itu dimuati delapan kursi. Kiri dan kanan masing-masing tiga kursi, ditambah ujung ke ujung masing-masing satu.
Dan di ujung, Syamsul duduk dengan nyaman. Di kirinya ada Murdani, Zulaikha, dan Zulfikar. Sementara di kanan Syamsul, ada Hanum, Zahara dan Ainun. Zahara sengaja mengambil tempat duduk di samping Hanum agar Ainun bisa duduk berhadapan dengan Zulfikar.
Ada-ada saja!
Mata Zulfikar sesekali melirik Ainun yang betah menunduk sejak ia memasuki ruang makan tadi. Apa dia tidak ingin melihat wajahnya? Begitu pikiran Zulfikar saat netranya menangkap netra Ainun yang menghindari kontak dengannya. Samar Zulfikar tersenyum melihat tingkah Ainun.
Sementara Ainun berdeham pelan menenangkan degup jantungnya yang asyik menabuh genderang sejak Zulfikar memasuki ruang makan. Untung suara jantungnya tidak terdengar oleh mereka.
Namun tidak dipungkiri bahwa kedua telapak tangan Ainun terasa dingin dan gemetar. Di atas pangkuannya, ia meremas-remas kedua tangannya, mencoba mengurangi rasa gugup yang menguasainya.
Tidak beda darinya, sang sahabat juga tengah meredamkan debaran hati yang kian cepat saat ia mendengar suara Syamsul memulai bacaan doa berbuka puasa. Syamsul sangat khusyuk dengan bacaannya hingga ia tidak tahu bahwa ada satu wanita yang menatapnya tak berkedip.
Mereka berbuka puasa dalam keheningan, hanya ditemani suara azan dari pengeras Masjid yang tidak jauh dari rumah Ainun.
"Alhamdulillah 'ala kulli haal," ucap Zulfikar pelan.
Acara buka puasa bersama di rumah Ainun berjalan lancar. Setelah shalat Magrib, ketiga lelaki beda usia melanjutkan kembali obrolan mereka, sementara para wanita duduk di ruang tengah. Tampak sesekali terdengar suara tawa di antara mereka.
*****
"Mak, aku kan udah dipinang nih, terus Abang kapan?" tanya Ainun satu hari setelah keluarga Zulfikar bertandang ke rumahnya.
Hanum yang tengah menyiangi sayur bayam menoleh sesaat sebelum melanjutkan memetik daun itu satu per satu.
"Mana Mak tau, Abangmu belum menyebut satu pun nama perempuan selain mantannya dulu."
"Mak, apa kata kalau kita jodohkan aja Abang sama Zahara?" Ainun tampak antusias.
Hanum mengernyit heran, "Emangnya Zahara mau sama Abangmu itu?"
"Ya kita coba aja dulu, Mak, yang penting Abang mau atau enggak?"
"Kalau Abangmu biar jadi urusan Mak, tapi Zahara ini mau enggak sama Abang?"
"Pasti maulah, Mak," ucapnya yakin.
"Yakin sekali anak Mak satu ini." Hanum mencubit pipi Ainun gemas.
Cengiran Ainun membuat Syamsul yang baru datang mengernyit heran.
"Kenapa dia, Mak?"
"Lagi senang dia itu," jawab Hanum tanpa beralih dari kegiatannya menyiangi bayam yang tinggal sedikit lagi.
"Oh! Lagi senang karena udah dilamar, pantesan auranya tampak berseri-seri," ucap Syamsul dengan lirikan mata menggoda.
"Isk... buka begitu, aku lagi ngerancang perjodohan buat Abang." Ainun mendengus seraya mendudukkan diri di atas bangku. Rupanya berjongkok lama membuat kakinya kesemutan.
Syamsul tampak terkejut mendengar rencana adiknya, tetapi dengan cepat ia merubah raut wajahnya menjadi datar. "Apa kamu nggak ada pekerjaan lain selain jadi biro jodoh?"
"Maaakkk...!" Ainun mencebik seraya memanggil Hanum dengan nada manja.
"Udah jadi calon istri orang pun masih kayak anak kecil!"
"Mak... lihat Abang tuh!"
"Udah-udah, kalian ini nggak habis-habis bahan buat adu mulut," sergah Hanum menengahi kedua anaknya. Dan keduanya langsung diam tanpa kata. "Bang, Mak mau bicara sama kamu nanti habis shalat Ashar," lanjut Hanum pada Syamsul.
Syamsul mengangguk, dia tidak bertanya hal apa yang akan ibunya bicarakan nanti. Cukup pemberitahuan saja, ia sudah mengerti.
Selanjutnya tidak ada lagi pembahasan mengenai perjodohan Syamsul. Hanum dan Ainun sibuk menyiapkan menu untuk berbuka puasa nanti. Sementara Syamsul masuk ke kamarnya.
Di dalam kamar, Syamsul menghela napas pelan. Mengingat perkataan adiknya, bayangan Raina melintas di pikirannya.
Raina Fitria, gadis manis yang pernah ia lamar dan juga yang memutuskan pertunangan mereka. Gadis yang ia temui saat mengabdi di pesantren dulu. Gadis yang pernah mencuri hatinya tatkala bertemu pandang tanpa sengaja.
Ah...! Memikirkan itu membuat hatinya berdenyut nyeri. Bukan ia tak bisa melupakan, tetapi nyeri itu masih membekas. Dan karena itu pula ia takut untuk memulai lagi rasa yang telah ia pendam ke dasar yang paling dalam.
"Teungku, Raina rasa kita tak berjodoh, Raina tak cukup baik buat Teungku," ucap Raina kala itu.
"Mengapa Raina mengatakan seperti itu?" Syamsul mengernyit halus karena tidak mengerti makna dari ucapan gadis di depannya.
Ba'da Magrib di kediaman Abu, Syamsul berbicara dengan Raina ditemani oleh Ummi, istri Abu, sang pemimpin pondok pesantren. Ummi tidak ikut campur dengan pembicaraan mereka, Ummi hanya mendengarkan dalam diam.
"Setelah Raina pikirkan kembali, Raina merasa belum cukup pantas untuk Teungku. Dengan rendah hati Raina minta dibebaskan dari pertunangan ini." Raina mengucap lugas setiap kata yang ia lontarkan.
"Hanya itu alasanmu?" tanya Syamsul dengan manik mata menatap dalam-dalam raut wajah Raina.
Raina yang ditatap seperti itu lantas menunduk. Sejujurnya ia malu, tetapi ini harus diselesaikan sesegera mungkin.
"Apa Raina sudah mengatakan pada Ayah dan Ibu?"
"Sudah."
"Dan bagaimana tanggapan mereka?"
"Semuanya terserah Raina!"
Dan setelah itu, Syamsul meminta diri pada Ummi dan keluar dari sana. Ia takut, jika berlama-lama di sana emosinya tak terkendali. Ia merasa tak dihargai oleh gadis itu. Pun begitu dengan kedua orang tua si gadis.
Dua hari setelah Raina meminta memutuskan pertunangan, kedua orang tuanya datang dan meminta maaf pada Hanum. Sedangkan Syamsul, ia masih di pondok pada saat itu. Hanya dari Hanum ia menerima permintaan maaf tersebut.
Susah payah ia menata hati, dan sekarang adiknya ingin menjodohkannya?
Syamsul meraup wajahnya seraya menghela napas besar. Serasa ada beban yang menghimpit dadanya.
Apakah ia harus membuka kembali hatinya yang sudah tertutup rapat?
*****
Hanum mengetuk pintu kamar Syamsul seraya memanggil namanya. Sedetik kemudian pintu kamar terbuka dan menampilkan wajah segar Syamsul.
"Abang sudah shalat?"
"Alhamdulillah, sudah."
Syamsul membuka pintu lebih lebar ketika langkah Hanum memasuki kamarnya.
"Tutup aja pintunya," perintah sang ibu tak mungkin ia abaikan.
Setelah menutup pintu, Syamsul mengikuti Hanum yang sudah duduk di tepi ranjang. Ia tarik kursi plastik dan duduk di depan Hanum.
"Apa yang ingin Mak katakan?" tanyanya tidak sabar, seolah-olah waktu bergerak cepat.
Hanum berdeham sejenak sebelum memulai berbicara serius dengan anak bujang yang sangat ia sayang.
"Ainun sudah ada yang meminang, dua minggu lagi dia akan dipinang secara resmi. Mak berharap, Abang juga sudah harus memikirkan calon istri sendiri, kalau Abang belum ada calon, bagaimana kalau Mak yang tentukan?" ucap Hanum hati-hati. Manik matanya tak lepas dari wajah Syamsul.
Hanum menyadari dari gestur tubuh Syamsul, kalau anak laki-lakinya itu merasa tidak nyaman dengan pembahasan ini.
"Mak nggak memaksa, tapi Mak berharap sebelum Allah memanggil Mak pulang, Mak sudah melihat dan mengenal anak menantu Mak nanti."
Syamsul mengembus napas sepelan mungkin agar Hanum tidak menyadari kegelisahan hatinya.
"Tapi kalau Abang belum bersedia, Mak gak memaksa," lanjutnya lagi.
"Terserah Mak saja, Abang ikut apa kata Mak. Semoga pilihan Mak, pilihan yang terbaik untuk Abang." Akhirnya hanya itu kalimat yang ia ucapkan setelah lama terdiam.
Bukan ia menyerah dan berpasrah, tetapi ia tahu bahwa pilihan orang tuanya mungkin yang terbaik untuknya. Dan ia tidak tega menolak keinginan orang tua satu-satunya yang ia punya. Dalam hati ia berdoa, semoga Allah menganugerahkan umur yang berkah lagi panjang untuk Mak.
Sungguh, tanpa Mak, Syamsul mungkin saja kehilangan arah. Mak satu-satunya orang tua yang ia punya setelah sang abi meninggalkannya terlebih dahulu.