Syamsul menghela napas pelan saat Ainun dan Zahara kembali memasuki toko. Kali ini mereka memasuki toko kosmetik. Syamsul menarik kursi dan duduk di samping penjual arloji di emperan toko.
Ia membalas saat penjual arloji mengajaknya berbincang. Hanya sekali dua kali menjawab, akhirnya si penjual tidak mengajaknya bicara lagi. Pertengahan hari begini hanya sekedar menemani adiknya berbelanja, rasanya ia sudah melakukan pekerjaan satu hari penuh.
Masih lama? Ia mengirim pesan ke Ainun.
Tidak lama, balasan Ainun tampil di pop up ponselnya.
Bentar lagi.
Jangan lama-lama!
"Ra, Big Boss udah nanyain, nih!" Ainun menoel lengan Zahara yang sedang memegang dua kuas.
"Hah?! Kalau begitu, ayo, kita harus cepat-cepat." Tanpa memilih-milih lagi, Zahara mengambil satu kuas dan menggabungkan dengan belanjaannya yang lain. Setelah membayar, mereka bergegas keluar dan menghampiri Syamsul.
"Bang, maaf," ucap Zahara begitu mereka berdiri di dekat Syamsul.
Syamsul tidak menjawab, lantas ia pun bangun dari duduknya dan berjalan menuju tempat mereka memarkirkan motor tadi.
"Kita langsung pulang?" bisik Zahara pada Ainun yang sejak tadi diam.
"Hmmm," angguknya.
"Rupanya begini, ya, kalau pergi belanja sama Bang Syamsul." Zahara menghela napas pelan.
Nyatanya memang begitu, Ra! Batin Ainun.
Mereka mengikuti langkah Syamsul dalam diam. Kesunyian selama perjalanan menuju tempat parkir akhirnya berakhir.
Dua gadis di belakang Syamsul mengernyit heran ketika ia tiba-tiba berhenti berjalan. Saat mendongak menatap apa yang terjadi, Ainun terkejut mendapati Rais bersama ibunya dan seorang wanita yang ia kenal.
"Ya Allah, Syamsul, ini mau pulang atau baru datang?" tegur ibu Rais.
"Mau pulang, Mak Cik."
Zahara dan Ainun menyalami ibunya Rais dan wanita yang bersama mereka.
"Hai, Ainun." Si wanita menegur Ainun. Senyuman menghiasi wajahnya. Sedangkan Ainun hanya membalasnya dengan sunyum tipis. Kalau mengingat cerita Hanum, rasanya Ainun ingin mencaci wanita yang terlihat biasa-biasa saja di depannya ini. Tidak ada roman bersalah sama sekali.
Ainun menatap satu per satu wajah mereka. Ia menyadari perubahan aura abangnya.
"Bang, ayo, cepat, aku udah gak nahan ini!" Ainun menarik lengan abangnya.
"Kamu kenapa, Ainun?" ibu Rais yang tidak menyadari situasi di sekitarnya, bertanya lembut pada Ainun.
"Kebelet pipis, Mak Cik, kami duluan, ya!"
Masih dengan senyuman khasnya, ibu Rais mengangguk seraya menitip salam untuk Hanum. Setelah mengiyakan, Ainun gegas menarik abangnya dan diikuti Zahara di belakang mereka. Hatinya tiba-tiba terasa sakit. Zahara tersenyum masam, ia tahu siapa wanita tadi. Mantan tunangan laki-laki yang tengah diseret Ainun. Laki-laki yang mengisi hatinya secara diam-diam.
"Gak jadi ke kamar mandi?" Syamsul mengernyit tatkala adiknya membawa mereka langsung ke parkiran motor, bukan ke kamar mandi.
"Enggak! Aku mau pulang! Ra, kamu...." Ucapannya terpotong saat ponsel Syamsul berdenting.
Maaf! Nanti aku cerita.
Syamsul kembali memasukkan gawainya ke kantong celana.
"Dek, kalian bisa pulang sendiri, kan? Abang ada urusan."
"Urusan apa? Abang jangan macam-macam, ya, ninggalin kami berdua." Ainun menyilangkan kedua lengan di depan d**a tanda protes pada abangnya.
Mata Zahara tampak berkaca-kaca dan seketika hatinya terasa seperti mau meledak, mengeluarkan segala rasa yang ia sendiri tidak tahu menyebutnya apa.
Syamsul berpaling dari adiknya, tetapi justru manik matanya menangkap basah mata gadis yang berkaca-kaca. Ada rasa bersalah di hatinya. Meraup wajah dan mengembuskan napas besar, Syamsul akhirnya ikut pulang bersama mereka.
Perjalanan pulang, Zahara dan Ainun tidak berisik seperti biasanya. Ainun menyadari perubahan emosi sahabatnya sejak dari tadi, tetapi ia diam saja.
*****
"Apa yang ingin kau ceritakan?" tanya Syamsul langsung begitu Rais duduk di sebelahnya.
Seperti biasanya, mereka duduk-duduk di serambi masjid. Angin berembus lembut, membuat para jamaah yang masih betah di masjid setelah shalat Dzuhur mengantuk karena dibuai angin sepoi-sepoi.
"Soal aku dijodohkan sama Ibu."
"Lalu hubungannya sama aku?" Alis Syamsul naik sebelah.
Mengembus napas pelan, Rais berkata, "Sumpah demi Allah, aku tidak tau kalau dijodohkan dengannya. Mau menolak, sudah terlanjur orang tuaku meminangnya langsung kepada kedua orang tuanya."
"Aku sudah tidak berhubungan lagi dengan mereka, jadi kau bebas melakukan apa saja. Jangan sangkut-pautkan aku sama hubunganmu dengannya. Lagipula aku sudah ada calon sendiri."
Rais diam, mencerna setiap kata yang keluar dari bibir Syamsul. Meskipun Syamsul berkata demikian, tetapi tidak dipungkiri hatinya merasa tak enak. Persahabatannya dengan Syamsul sudah terjalin sangat lama, ia berharap jalinan mereka tidak renggang hanya karena calon istrinya adalah mantan tunangan sang sahabat.
"Terimakasih, aku tidak tau harus bersikap bagaimana di depanmu tadi. Tapi sekarang aku lega setelah mengatakannya padamu." Rais menghela napas lega.
Keheningan tercipta. Tidak ada lagi yang bersuara di antara mereka, kecuali suara bapak-bapak yang sedang bertadarus di dalam masjid.
Syamsul menyipitkan kelopak mata agar penglihatannya jelas. Di kejauhan tampak seorang gadis yang berjalan ke arah tempatnya duduk.
Oh, rupanya tidak! Gadis itu berbelok dan masuk ke kedai sembako. Syamsul berpikir kalau gadis itu pasti mau membeli keperluan dapur. Seulas senyum terbit di bibirnya.
"Ada apa? kenapa kau tersenyum?"
Ah, Syamsul lupa kalau Rais masih duduk bersamanya.
"Tidak ada."
Rais tidak melanjutkan rasa penasarannya. Angin semilir di siang hari begini membuat matanya tiba-tiba terasa berat.
"Aku duluan, mata udah berat minta diistirahatkan." Rais berlalu setelah Syamsul mengangguk pelan.
Tidak berapa lama setelah kepergian Rais, Syamsul juga beranjak dari sana. Ia mengendarai motor secara pelan-pelan. Matanya memerhati sekeliling, gadis yang ia lihat tadi kini sudah keluar dari kedai dan berjalan pulang. Gadis itu menenteng sekantung plastik besar. Jinjingan si gadis tampak berat di mata Syamsul.
Perlahan ia mendekat. "Dari mana?"
Sontak gadis itu berhenti dan menoleh. Sedikit terkejut karena yang berhenti di sampingnya adalah Syamsul, pria yang ia harapkan kehadirannya. "Eh, Abang, Ara dari kedai, beli ini...." Ara mengangkat kantong plastik di tangannya.
"Bawa sini, biar aku sangkut di honda," pintanya seraya mengangkat tangannya dan mengambil kantong belanjaan Zahara.
Bagaikan dicucuk hidungnya, Zahara memberikan belanjaannya pada Syamsul. Ia masih terkejut dengan perlakuan Syamsul padanya. Tidak pernah laki-laki ini menegurnya duluan dan sekarang malah menolong membawakan belanjaannya yang memang terasa berat.
"Terimakasih, Abang," ucap Zahara pelan yang diangguki oleh Syamsul.
Syamsul mengikuti Zahara dengan motornya. Zahara yang berjalan di depan sibuk menetralkan degup jantungnya.
Kejutan hari ini benar-benar di luar prediksinya. Kejutan pertama, ia bertemu dengan mantan calon tunangan pria yang dicintainya, sehingga membuat hatinya perih tak terkira. Kejutan kedua, teguran Syamsul yang tak diduga, membuat jantungnya nyaris copot, bahkan sekarang berlomba-lomba menabuh genderang merayakan kebahagiaan meskipun keringat dingin membasahi telapak tangannya.
"Bagamana pesantren kilatnya? Berjalan lancar?" Syamsul memecah keheningan di antara mereka.
Senyum Zahara terlengkung samar. Sedikit terbata ia menjawab, "A-alhamdulillah, la-lancar."
"Apa?"
"Lancar, Bang, alhamdulillah," ulangnya seraya menaikkan volume suaranya sedikit, membuat Syamsul tersenyum simpul.
Beberapa orang yang berlalu lalang melirik mereka penasaran. Dan itu membuat Zahara merasa tidak nyaman.
"Bang, Abang duluan aja, biar Ara berjalan sendiri," ujarnya.
Syamsul yang memang menyadari lirikan orang lain juga, mengiyakan, lalu menaikkan kecepatan motornya, meninggalkan Zahara berjalan sendiri.
Seorang ibu-ibu yang kebetulan lewat bertanya kenapa dia tidak dibonceng Syamsul? Lantas Zahara menjawab bahwa mereka bukanlah mahram yang halal berboncengan.
"Kalau begitu, bagaimana dengan perempuan-perempuan yang naik ojek, mereka 'kan juga bukan mahram?"
"Itu beda lagi, Buk, jika mudharat tidak apa-apa, selagi mereka bisa membatasi juga, kan, Buk? Dan saya tidak merasa butuh, lagipula rumah saya tidak jauh," balas Zahara lembut.
Ibu tersebut melengos dan tidak bertanya lagi.
"Saya duluan, Ibuk," ucap Zahara ketika sampai di depan rumahnya. Ia melihat ibunya tengah berbicara dengan Syamsul di teras.
"Kalau begitu saya pamit dulu, Ara juga sudah sampai."
Mengangguk pelan pada Zahara, Syamsul menaiki motornya dan berlalu dari sana.
"Bang Syamsul ngomong apa, Mak?" Tentu saja Zahara penasaran.
"Bukan apa-apa," jawab ibunya seraya menyuruh Zahara memasukkan kantong plastik di atas bangku.
*****
"Kurang, tambahi lagi," protes Hanum ketika Ainun menampakkan wadah bumbu urap di tangannya.
"Ini gak cukup?"
"Mana cukup kalau sayurnya sebanyak itu kamu rebus, Nun!"
Ainun kembali menambahkan beberapa bawang dan cabai.
"Segini cukup?"
"Cukup, sayurnya jangan diaduk semua, aduk aja secukupnya," perintah Hanum.
Kepulan asap meliuk-liuk hingga menguarkan bau harum makanan.
"Eh, Abang baru pulang?" Ainun mendengar maknya berbicara, pasti abangnya sudah pulang.
"Iya."
Ainun menoleh sekilas, lalu ia kembali sibuk melanjutkan pekerjaannya.
Hari mulai senja, dan sebentar lagi waktu berbuka akan tiba. Setelah masak memasak tadi, Ainun merebahkan diri di atas kasur sebentar sebelum menyiapkan minuman pembuka.
Ainun tak berhenti mengulum senyum. Tidak lama lagi ia akan dipinang orang. Ada desiran halus yang tiba-tiba hadir di hatinya.
Menghitung hari dengan jemarinya, Ainun sontak bangun dari rebahannya. Bergegas ia ambil gawai yang tergeletak di sampinya, lalu ia menghubungi seseorang.
"Assalamu'alaikum, Kak!"
"Wa'alaikumsalam."
"Kak, ini Ainun, bajuku udah jadi, belum?"
"Udah, Nun, baru aja Akak mau kabarin. Kapan mau kamu ambil?"
"Nanti malam, bisa?"
"Bisa, habis tarawih, ya."
"Iya, Makasih, ya, Kak, assalamu'alaikum!"
Ainun menghela napas lega. Meskipun acara kecil-kecilan, tetapi kalau masalah baju seragam, Ainun tidak ketinggalan.
Melihat jam sudah menunjuki angka enam, Ainun bergegas kembali ke dapur. Membuatkan teh dan parutan air timun sebagai minuman. Matanya menangkap satu kantong plastik di atas meja. Ia buka kantong tersebut, dua bungkus kelapa muda di dalamya.
Dengan senyum terpatri, Ainun melangkah ke kamar abangnya.
"Bang," panggilnya pelan sambil mengetuk pintu.
Tidak butuh waktu lama pintu ini terbuka. "Apa?" Rupanya Syamsul sudah bersiap-siap ke masjid.
"Abang tadi ke tempat Zulfikar?"
"Iya, kenapa?" Alis Syamsul bertaut menatap adiknya yang memasang wajah semringah.
"Hmmm... dia ada tanyain aku, gak?"
Sontak saja Syamsul tertawa seraya mengeleng-gelengkan kepalanya. "Kayaknya kamu udah gak sabar, ya? Apa Abang nikahin terus kamu tanpa tunangan dulu?"
"Ya, jangan!" Ainun mencebikkan bibirnya.
"Terus kenapa tanya-tanya?"
Ainun menggigit bibir bawahnya. Ia sendiri juga tidak tahu mengapa.
"Sabar sedikit lagi, gak lama, dua hari lagi dia datang." Syamsul mengacak rambut adiknya yang terlihat lucu.
"Abang gak buka luasa di rumah?" tanyanya saat Syamsul akan melangkah.
"Enggak, malam ini Abang jadi Imam, biar gak telat Abang buka puasa di Masjid." Syamsul melanjutkan langkah kakinya ke belakang dan pamit pada Hanum.
"Kamu gak ikut ke Masjid?" Hanum melirik anak gadisnya yang melanjutkan pekerjaan yang tertunda tadi. Masing-masing tiga gelas air timun, teh, dan air kelapa muda sudah terhidang rapi di atas meja.
"Enggak, aku udah izin sama Bang Rais," balas Ainun.
Karena tidak tega sering meninggalkan Hanum sendirian di rumah, Ainun meminta izin pada Rais agar ia tidak terlalu aktif di masjid, dan Rais mengabulkannya.
"Apa gak apa-apa?"
"Enggak, Mak." Ainun mendekat dan duduk di samping Hanum.
"Bagaimana Zahara? Kamu gak bilang ke dia, kan?"
"Ya, enggaklah, Mak, biar jadi kejutan biat dia aja."
"Abangmu udah tau."
"Mak kasih tau Abang kalau Zahara yang mau kita jodohkan?" tanya Ainun terkejut.
"Iya." Hanum mengangguk.
"Ya Allah, kenapa Mak bilang ke Abang?" protesnya.
"Ya, karena Abangmu bertanya, masa Mak bohong? Sedangkan Mak yang ingin menjodohkannya. Kamu jangan bahas masalah ini sama Abang, denger?" tegas Hanum pada putrinya. "Pura-pura aja kamu gak tau," titahnya lagi. Dan Ainun harus menuruti ucapan sang ibu yang telah melahirkannya ini.
Ainun berpikir-pikir kembali, pantasan abangnya mau diajak menemani mereka ke pekan tadi pagi. Ternyata oh ternyata, abangnya sudah tau siapa calon yang disodorkan ibunya. Ainun mengulas senyum membayangkan reaksi Zahara nanti ketika tahu kalau abangnya mau dijodohkan dengannya.
Ah, rasanya Ainun tidak sabar melihat sang abang bergandingan tangan dengan sang sahabat.
*****
Hujan gerimis menyambut pagi. Dinginnya menusuk hingga ke tulang-tulang. Zahara bersiap-siap ke masjid, sebentar lagi waktunya ia mengajar anak-anak. Hari ini ia akan mengajarkan anak-anak berbagai macam doa.
Di tengah perjalanan, ia bertemu lagi dengan Syamsul yang baru saja pulang dari masjid. Syamsul memberhentikan motornya.
"Assalamu'alaikum," sapanya.
"Wa'alaikumussalam," jawab Zahara dengan hati berdebar. Dua hari ini ia dikejutkan perubahan Syamsul yang mulai sering menegurnya.
"Mau ke Masjd?"
Bukan, mau ke pasar, Bang! Ya iyalah mau ke Masjid!
"Iya, Abang baru mau pulang?" Zahara memberanikan diri bertanya balik pada Syamsul.
"Iya, tadi ada ngaji bersama ba'da Subuh, makanya baru pulang."
Ya ampun, Bang, jawab 'iya' aja udah cukup, gak usah jelasin juga kali alasan Abang pulang telat!
Tak ayal, hati Zahara berbunga-bunga karena pertanyaannya dijawab, bahkan pria di depannya menjelaskan alasan mengapa ia telat pulang. Sudah seperti sikap suami pada istrinya.
"Hari ini mengajar apa?" Pertanyaan Syamsul membuyarkan lamunannya.
"Mmm... bacaan doa."
"Bukan lagi Bahasa Arab?"
Sejenak Zahara terkejut dengan pertanyaan Syamsul. Dari mana pria ini tahu kalau dia ada mengajari anak-anak Bahasa Arab?
"Bukan, sub temanya memang berbeda-beda, Bang, setiap pertemuan." Meskipun masih penasaran dari mana Syamsul tahu, tetapi ia tetap menjelaskan padanya.
Melirik arloji di pergelangan tangannya, Syamsul kemudian menyuruh Zahara bergegas ke masjid karena waktunya hampir tiba. Setelah pamit, Zahara melanjutkan kembali langkahnya berjalan ke arah masjid. Sementara Syamsul menatapnya sekilas, lalu melaju motornya setelah Zahara hilang dari pandangannya.