Sejak ba'da Subuh tadi, Zahara terlihat sangat sibuk mempersiapkan bekalan untuk diajarkan di pesantren kilat nanti. Zahara sangat antusias menanti kegiatan rutin pesantren kilat setiap bulan Ramadhan yang diadakan di Masjid Baiturrahman tempatnya tinggal.
Namun sayang, Ramadhan kali ini ia tidak bersama Ainun. Biasanya di mana ada Ainun, di situ ada dia. Bagaikan salah satu isi lirik di dalam lagu Jin dan Jun saja, sebuah sinetron yang ia tonton semasa kecilnya dulu. Di mana ada Jun, di situ ada jin. Zahara terkikik geli sendiri karena tiba-tiba mengingat lagu itu seraya menepuk keningnya pelan.
Mengambil beberapa kertas yang sudah ia print, kemudian ia masukkan ke dalam tas. Sebelum dimasukkan ke dalam tas, kertas-kertas itu ia gulung terlebih dahulu supaya tidak kusut. Kertas-kertas yang berisi berbagai macam do'a dan juga nama-nama calon santri cilik yang telah mendaftar ikut pesantren kilat.
Setelah menyiapkan segala keperluannya, Zahara bergegas membersihkan diri. Pesantren kilat dimulai pada pukul delapan pagi. Sedang sekarang jarum jam sudah berada di angka tujuh lewat dua puluh menit. Masih ada waktu yang tersisa selama tiga puluh menit buatnya untuk bersiap-siap dan sepuluh menit buatnya berjalan kaki dari rumah ke masjid.
Jika waktunya ia atur seperti itu, alamat ngos-ngosan ketika ia sampai di sana. Jadi, tidak menunggu waktu lagi, ia cepat-cepat beranjak dan masuk ke kamar mandi. Ia berharap ada waktu jeda saat ia tiba di masjid nanti supaya ia bisa beristirahat sejenak.
Kalau begini, Zahara menyesali ketidakberdayaannya dalam mengendarai motor. Semoga ada pengeran berkuda besi yang cepat-cepat datang meminangnya. Dan ia berharap pangeran itu adalah Syamsul Bahri Ar-Rasyid, abang dari pada sahabatnya tersayang.
Apakah ia sedang berharap jodoh atau seorang ojek? Ahh ... yang jelas itu adalah jodoh sekaligus ojek yang bisa mengantarnya ke mana saja. Zahara terkikik geli dengan pemikirannya sendiri.
Lima belas menit kemudian Zahara sudah bersiap-siap dan akan berangkat. Di depan rumah ia bertemu dengan Minah. Perempuan yang membuat hatinya dua hari yang lalu menangis pilu.
"Eh ... Dek Zahara ... mau ke mana pagi-pagi begini?" Minah menegur Zahara dengan gayanya yang khas. Centil dan mendesah-desah, membuat telinga Zahara terasa geli dan gatal.
"Mau ke Masjid, Kak! Ara duluan, ya, Kak ... assalamu'alaikum!" Lantas Zahara berjalan mendahului Minah.
"Wa'alaikumsalam...," balasnya. "Baru aja mau diajak ngobrol, eh, dianya malah ngeloyor. Dasar...!" Cibirnya lalu berjalan berlawanan arah dengan Zahara.
Zahara menghindar bukan karena tidak sopan, tetapi ia ingin menjaga hati dan lisan dari kata-kata yang mungkin saja menyakitinya. Ia tahu bagaimana kukuhnya Minah mengejar-ngejar Syamsul. Ia tidak mau menjadi rival Minah dalam memperebutkan Syamsul. Cukup ia mengadu pada Yang Kuasa dan juga bercerita pada Ainun, sang adik dari lelaki yang menambat hatinya.
Suasana masjid masih terlihat lengang. Zahara memasuki masjid. Sebelum memulai mengeluarkan isi bahan yang akan ia beri pada anak-anak SD yang mengikuti pesantren kilat, Zahara melaksanakan shalat sunah Tahiyyatal Masjid terlebih dahulu.
Suara nyaring anak-anak mulai terdengar tatkala Zahara telah menyelesaikan shalat sunnah. Ia tersenyum melihat keantusiasan anak-anak. Senyum dan tawa mereka riuh rendah bergema di seantero masjid. Tidak ada mata sayu karena kantuk tidak cukup tidur, yang ada hanya binar mata senang karena sebentar lagi mereka akan mendapat ilmu agama. Bahkan sertifikat menanti mereka di penghujung acara.
Pesantren kilat yang diadakan di masjid biasanya dilakukan selama seminggu penuh. Dan ini adalah hari pertama di hari ketiga puasa bulan ini.
"Assalamu'alaikum Ustadzah-ustadzah cantik ... hihihihi ...." Koor anak-anak disertai cekikikan tertahan di mulut mereka.
Zahara dan teman-teman yang lainnya menjawab salam mereka dengan riang gembira, kebahagiaan yang ditularkan oleh anak-anak itu. Salamah yang tadinya masih lesu karena kantuk yang mendera matanya pun langsung ikut semangat.
"Ayo ... anak-anak, kalian duduknya di kelompok yang udah ditentukan, ya, Sayang!" Zahara mengatur anak-anak duduk di masing-masing kelompok.
"Kelompok Ali bin Abi Thalib! Mana kelompok Ali bin Abi Thalib?" Teriak Zahara, ia harus mengeraskan suaranya karena suara anak-anak yang riuh kalah dari suaranya.
"Kami ... kami ...," sahut beberapa anak mengacungkan tangan mereka ke atas.
"Sini duduk di depan Ustadzah," perintahnya lagi seraya menunjuk tempat untuk anak-anak didikannya nanti.
Anak-anak itu berhamburan mengisi tempat duduk mereka masing-masing. Zahara tersenyum melihat mereka. Ia berharap semangat mereka tidak pudar sampai akhir penutupan nanti.
Di depan kantor sekretariat, Syamsul yang baru saja keluar karena mendengar riuh suara anak-anak melihat ke dalam masjid. Bibirnya tersenyum tipis melihat bagaimana kerepotannya Zahara dalam membimbing para mujahid kecil itu.
Di beberapa bagian ada juga anak-anak yang mengikuti pesantren kilat, tetapi mereka sudah pada remaja sehingga mengaturnya pun tidak banyak mengeluarkan tenaga. Dan Zahara mendapatkan kewajiban mengasuh dan mengajari anak-anak SD yang masih kecil-kecil. Menurut taksiran Syamsul, kemungkinan mereka masih duduk di kelas satu atau dua SD.
"Melihat mereka membuat hati bahagia, ya, apalagi suara riuh rendah mereka, bikin gemas," seloroh Rais yang ikut melihat arah pandang Syamsul.
"Hmmm...." Syamsul bergumam tanpa mengalihkan pandangannya.
"Pulang sekarang?" tanya Rais menoleh pada Syamsul.
"Tidak, kau duluan saja!" Syamsul balas menatap Rais.
"Ya udah, aku duluan, ya ... assalamu'alaikum...!"
"Wa'alaikumussalam...."
Setelah Rais menghilang dengan motor bebeknya, Syamsul kembali berpaling ke dalam masjid. Zahara masih belum menyadari keberadaan syamsul di luar sana. Ia masih fokus dengan anak-anak yang mulai aktif bertanya setelah ia memulai pembelajarannya.
Syamsul menghela napas pelan lalu kembali berjalan ke arah parkiran roda dua, di mana motornya terparkir cantik.
Setelah shalat Subuh tadi, Syamsul tidak langsung pulang. Ia dan Rais mempersiapkan keperluan untuk nanti sore. Hari ini pertama mulai segala aktivitas masjid. Baik pesantren kilat di pagi hari, maupun acara buka puasa bersama setiap sore di masjid.
Syamsul menghidupkan motornya dan melaju melewati tempat di mana Zahara duduk mengajar. Semburat merah dan hati dag dig dug membuat Zahara sedikit salah tingkah. Apakah dia ada melihatnya? Begitulah isi pikiran Zahara.
Namun arah pandang pria itu tadi menatap ke depan tatkala melewatinya. Jangan ge-er kamu, Ra, mana mungkin dia melihatmu.
"Ustadzah ... Ustadzah ...!" Seruan anak-anak membuyarkan lamunannya.
"I-iya, Sayang ... ada apa? Apa ada yang belum dimengerti?"
"Cara baca ini bagaimana Ustadzah?"
Zahara menghela napas pelan sebelum kembali menyibukkan diri dengan anak-anak.
*****
"Baru pulang?" tanya Hanum begitu Syamsul memasukkan sepeda motornya ke dalam rumah.
Syamsul terkesiap mendapati Hanum berdiri di ambang pintu pembatas antara dapur dan ruang depan. Sepertinya Hanum baru saja dari kamar mandi.
"Iya, Mak, tadi habis Subuh ada sedikit urusan bersama Rais di Masjid." Syamsul berjalan ke kamar mandi. Sementara Hanum kembali ke dalam kamar. Beberapa menit kemudian Syamsul keluar. Wajahnya basah.
Syamsul masuk ke kamar dan mengganti baju. Kini baju kaos dan kain sarung rumahan sudah terpasang lengkap di tubuhnya.
Membaca bismillah, lalu ia merebahkan tubuhnya. Perlahan mata coklat tua itu terpejam dan deruan napasnya pun mulai teratur.
*****
Usai shalat Dzuhur, Zulfikar keluar dari Masjid. Ia duduk di serambi yang menghadap ke kebun kelapa. Matanya merenung. Bagaimana cara mengatakan kepada Mak Cik Hanum kalau lusa ia akan datang melamar Ainun.
Keadaan seakan mengetahui kegalauan hatinya. Senyum Zukfikar langsung terukir saat manik matanya menangkap bayangan Syamsul yang juga akan keluar dari masjid.
Zulfikar bergerak cepat. Ia bangkit lalu melangkah mendekati Syamsul.
"Assalamu'alaikum, Bang," ucapnya begitu ia berdiri mendekat.
"Wa'alaikumussalam ... gimana, Joel?"
"Baik, Bang, Alhamdulillah." Zulfikar diam sejenak, lalu melanjutkan, "Bang, insya Allah lusa saya bersama keluarga datang meminang Ainun, bagaimana?"
"Sekalian sama hantaran?"
"Enggak, Bang, cuma silaturrahmi sekalian kita bahas untuk ke depannya, apa tunangan dulu atau sekalian langsung menikah."
"Hmmm... saya setuju, tapi kamu dan keluarga buka puasa bersama di rumah kami saja. Setelah magrib baru kita bahas untuk selanjutnya, bagaimana?"
"Boleh, Bang, nanti saya sampaikan pada Kak Leha dan Bang Mur."
Zulfikar menghela napas lega karena apa yang ia pikirkan tadi, kini terselesaikan sudah.
"Kalau begitu saya pamit dulu, mau ambil buah kelapa di kebun Pak Ramli."
"Enggak ambil di sini aja?" tanya Syamsul seraya menunjuk ke arah kebunnya.
"Enggak dulu, Bang, mungkin dua atau tiga hari lagi baru saya ambil lagi," jawab Zulfikar.
"Bukannya kemarin sudah kamu bayar lunas untuk kedepannya, kan?" Syamsul mengernyit.
"Iya, tapi kemarin Pak Ramli butuh uang dan menawarkan kelapa-nya pada saya, jadi hari ini disuruh ambil."
Syamsul manggut-manggut. Dan Zulfikar segera meminta undur diri pada Syamsul.
"Assalamu'alaikum...!"
"Wa'alaikumussalam...."
Zulfikar meninggalkan Syamsul yang masih menatapnya hingga hilang dari pandangan.
Setelah kepergian Syamsul, Rais datang dan duduk di samping seraya menepuk pundaknya.
"Hey... siang-siang begini asyik melamun, jauh jodohmu nanti," kelakar Rais.
Syamsul menoleh, alisnya bertaut, lantas ia pun menjawab, "Pemikiran dari mana itu? Apa kau lupa, jodoh, rezeki, maut, itu semua udah tertulis di Lauh Mahfudz? Enggak ada sangkut paut sama melamun."
Rais tergelak melihat reaksi sahabatnya ini. "Aku tau, hanya saja aku ingin menggodamu."
Syamsul mendengus pelan. Ia tidak membalas lagi ucapan Rais. Semilir angin siang ini berembus dengan sedang, matahari pun tampak malu-malu mengeluarkan sinarnya, meskipun ia mengintip di balik awan.
"Alhamdulillah, hari ini gak terlalu terik," ujar Rais setelah hening merajai sesaat di antara mereka. "Rasanya sangat malas kembali ke rumah, aku sudah dijodohkan sama ibuku," kata Rais tiba-tiba.
Syamsul menoleh dengan raut wajah terkejut. "Bukannya kau harus bahagia?"
Rais diam. Dari romannya ada keraguan di sana. "Aku gak tau, apa aku harus bahagia atau enggak!" Rais menghela napasnya berat, seberat hatinya untuk menerima perjodohan yang ibunya lakukan.
Satu sisi ia ingin membahagiakan wanita yang telah mengorbankan jiwa raga ketika mengandung, melahirkan, dan menyusuinya, hingga ia dewasa dan berhasil seperti sekarang ini. Namun satu sisi lagi, ia tidak mau kebahagian orang tuanya melukai perasaan Syamsul.
"Aku doakan agar kau bahagia dengan pilihan orang tuamu," imbuh Syamsul seraya menepuk pundak Rais lembut.
Bibir Rais menampilkan senyum, tetapi pendar matanya menampakkan sebaliknya.