Ranisa

1030 Words
Aku mulai melupakan kejadian hari itu. Karena Mas Heru pun sudah kembali seperti Mas Heru yang aku kenal sejak pertama menikah dulu. Dua minggu berlalu sejak kejadian malam itu, Mas Heru berusaha pulang lebih awal setiap harinya. Akhir pekan kami juga dinner di luar seperti dulu. Mas Heru berhasil membuatku kembali terlena dengan sikap lembutnya. Aku bahkan lupa, bahwa aku pernah menempel chip pelacak di ponsel Mas Heru. Sampai siang ini, Nia menelponku. "Beb, kamu dimana?" tanya Nia di ujung telpon. "Aku di rumah dong, kenapa emangnya?" aku balik bertanya pada Nia. "Aku lagi di klinik, nganterin klien-ku yang tadi pingsan saat pengadilan." "Trus?" "Di sini ada suami kamu..." "Mas Heru? Ngapain dia di klinik?" "Itu dia yang mau aku bilang.. dia sama seorang wanita hamil. Apa mungkin dia punya saudara yang lagi hamil?" "Nggak. Mas Heru nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Ya udah, kamu tolong pantau terus ya. Kalau bisa kamu ambil foto perempuan itu." titahku pada Nia. "Oke-oke. Nanti aku kabarin kamu lagi, ya!" Nia menutup telponnya. Siang ini aku kembali merasa tidak tenang. Aku kepikiran tentang Mas Heru dan perempuan hamil yang disebutkan oleh Nia di telpon tadi. "Siapa perempuan hamil yang diantar oleh Mas Heru ke klinik, jika itu Mami, pasti Nia tau saat melihatnya tadi." aku bertanya-tanya dalam hati. Kemudian, aku putuskan untuk menghubungi Mas Heru. Lebih baik aku bertanya langsung pada Mas Heru. Dari pada curiga tak menentu, bisa-bisa hubunganku rusak seperti terakhir kali aku mencurigainya waktu itu. Tuuut.... Tuuuutt..... Setelah dua kali berbunyi, telponku langsung diangkat oleh Mas Heru. Hatiku menjadi lega, setidaknya Mas Heru masih memprioritaskan diriku sebagai istrinya. "Hallo, Sayang." sapanya di ujung sana. "Hallo, Mas. Mas dimana sekarang?" "Mas lagi di kantor dong sayang, memang dimana lagi mas berada jam segini?" Dari caranya bicara, Mas Heru tidak menunjukkan gelagat orang yang sedang berbohong. Tapi mengapa Nia mengatakan kalau dia melihat Mas Heru di klinik? "Oh gitu, nggak sih, Mas. Aku rencananya mau ke kantor kamu. Aku mau bawain makan siang buat kamu. Sekalian nanti mau ke butik juga, jadi kan aku searah," "Eehh, nggak usah, Sayang. Mas siang ini mau makan sama teman-teman kantor. Em, itu... Mas kan menang proyek besar, jadi bawahan minta traktiran. Jadi Mas pikir, nggak papalah sekali-sekali," ucap Mas Heru mulai terbata-bata. Dari sini aku bisa mengira bahwa mungkin yang dikatakan Nia benar, tadinya aku hanya ingin mengetes Mas Heru. Apa benar dia ada di kantor, karena sejujurnya aku sama sekali tak berniat akan ke kantornya siang ini. "Lo, kok gitu sih, Mas? Jadi kalau makan sama bawahan, aku nggak boleh ikut? Aku nggak bisa diajak ya?" rengekku sengaja membuat Mas Heru merasa bersalah. "Bu-bukan gitu... Nanti ya, Mas telpon kamu lagi. Mas dipanggil sama Direktur dulu, nih. Daaaa..." ucapnya seiring dengan putusnya sambungan telpon itu. Aku mencoba menghubungi Mas Heru lagi, tapi nomornya nggak aktif. Aku mencoba lagi setengah jam kemudian, tapi nomor Mas Heru masih nggak aktif. "Awas saja kalau kamu berani berbohong sama aku, Mas. Kamu akan tau akibatnya!" rutukku dalam hati. Lalu aku segera bersiap untuk pergi ke butik yang memang sudah kumiliki sejak masih gadis. Butikku lumayan laris, karena aku memang khusus menjual produk-produk berkualitas. Dan, tak sedikit pula artis Ibukota yang sengaja datang ke sini untuk berbelanja. Aku memiliki Ranisa, sebagai karyawan tetapku di sana sejak setahun belakangan ini. Karena karyawan lamaku sudah menikah dan ikut dengan suaminya pindah ke luar kota. Awalnya aku ragu memperkerjakan Ranisa, karena saat itu dia masih SMA kelas tiga. Tapi, karena aku kasihan padanya, aku mengizinkannya bekerja paruh waktu. Setelah pulang sekolah sampai jam sembilan malam saja. Ranisa bilang, saat itu dia butuh sekali banyak biaya untuk masuk ke Universitas impiannya. Namun, saat ujian kelulusan Ibunya meninggal dunia. Sepertinya hal itu menjadikan semangat Ranisa untuk berkuliah sirna. Dan sepertinya, aku belum pernah memperkenalkan Ranisa pada Nia sahabatku. Karena aku memang jarang sekali ke butik beberapa bulan ini. Nia pun banyak kasus yang harus ditanganinya. Karir Nia sedang menanjak naik saat ini, aku akan merasa bersalah jika sering-sering menghubunginya untuk meminta bantuan. Di butik, Ranisa dibantu oleh empat orang karyawanku yang lain. Biasanya Ranisa hanya akan melayani pelanggan-pelanggan tertentu saja. Saat aku datang, ke empat karyawanku sedang melayani pembeli yang memang cukup ramai siang ini. "Dimana Ranisa?" tanyaku pada Putri, salah seorang karyawan yang berada paling dekat dengan posisi dudukku di meja kasir. "Tadi katanya mau keluar sebentar, Bu." jawab gadis itu dengan agak takut-takut. "Dari jam berapa dia pergi?" "Jam sebelas, Bu." "Sekarang sudah jam dua siang, dan dia belum kembali?" aku bertanya heran, namun enggan untuk membicarakan lebih lanjut. Karena hal itu adalah masalah pribadiku dan karyawanku, tidak enak jika para pelangganku mendengarnya. Kubiarkan mereka melayani pelanggan sampai selesai. Dan tak terasa, sudah jam lima sore saat butik kembali sepi. Hanya menyisakan kami berlima di dalamnya. "Putri, coba kamu telpon Ranisa!" titahku pada Putri. "Tapi, nomornya nggak bisa di telpon, Bu. Putri w******p juga masih centang satu," jawab gadis polos itu padaku. Aku khawatir Ranisa kenapa-napa, karena tak biasanya dia pergi dari butik dan tak kunjung kembali. Aku memang menyayangi Ranisa seperti adikku sendiri. Mungkin karena dia yatim piatu, aku merasa nasibku hampir mirip dengannya. Bahkan, kubiasakan dia dekat dan meminta pertolongan pada Mas Heru jika sewaktu-waktu memang dibutuhkan. Meski tetap saja, sampai saat ini belum pernah kudengar Mas Heru bercerita bahwa Ranisa meminta bantuan apapun padanya. Aku menelpon Ranisa dengan ponselku sendiri, tapi sama saja. Panggilan itu tidak terhubung. Aku mencoba untuk menelpon Mas Heru, hasilnya sama saja. 'Kenapa kedua orang ini tidak bisa dihubungi dalam waktu bersamaan? Apa ada hubungannya? Ah, mana mungkin. Mas Heru dan Ranisa, berjumpa saja mereka jarang. Mas Heru juga bukan tipe pria yang mudah akrab dengan perempuan yang baru dia kenal. "Semoga Ranisa baik-baik aja. Aku takut banget terjadi apa-apa sama Ranisa. Karena terakhir dia bilang, ada nomor yang selalu neror dia beberapa minggu belakangan ini," ucapku pada karyawan lain, yang sama-sama menunggu dan mencemaskan keadaan dan keberadaan Ranisa. "Aamiin," ucap mereka serempak. "Ya sudah, kalian segera beres-beres. Kita tutup cepat hari ini. Saya mau mencari tau dulu dimana Ranisa." ucapku, kemudian meninggalkan kembali Butik itu ke empat karyawan teladan yang kupilih. "Baik, Bu... Hati-hati di jalan." Putri mengingatkanku, yang langsung kuangguki tanda setuju.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD