Aku menatap Mas Heru dengan wajah sinis. Nia yang mengerti akan terjadi perang rumah tangga, segera beranjak dari kursinya.
"Eh, Beb, aku ke toilet dulu ya," ucapnya.
Aku menjawab dengan anggukan pelan, dan Nia pun berlalu dari hadapanku dan Mas Heru.
Mas Heru mengenggam tanganku, tapi kenapa tangannya terasa dingin. Apa dia grogi karena ucapan Mami tadi?
"Mas... Apa maksud ucapan Mami tadi?" tanyaku dan menepis tangan Mas Heru.
"Yang mana, Sayang?" jawabnya masih saja dengan lembut, dan entah mengapa sekarang aku merasa jijik pada sikapnya itu.
"Yang tadi, yang dia bilang kamu perkasa,"
"Haha... Itu... Mami kan memang seperti itu, masa anaknya sendiri ga tau Maminya suka bercanda?"
"Aku serius, Mas!"
"Iya, trus Mas harus jawab apa coba?"
"Mas ada main ya sama Mami?" tuduhku tak tahan lagi, membuat Mas Heru yang sedang memyeruput kopinya tersedak.
Uhuk...uhuk...
Suara batuk Mas Heru akibat tersedak, tak kuhiraukan sama sekali. Aku terlalu kesal saat ini.
"Kamu apa-apaan sih, Win? Sejak kemarin kamu tuh aneh banget. Curigaan terus sama aku, kalau gini terus aku bisa bosan sama sikap kamu!" tanpa kuduga, Mas Heru marah besar.
Nada suaranya yang tinggi saat bicara padaku, membuat hatiku sakit.
"Mas, kamu ngebentak aku di sini? Kamu nggak sadar, gara-gara suara kamu aku di perhatiin orang-orang di Restoran ini?" tanyaku tak percaya, dan mataku mulai berkaca-kaca.
"Makanya, jadi istri jangan kebanyakan tingkah. Aku diam dan lembut selama ini sama kamu, bukan berarti kamu bisa seenaknya aja sama aku. Aku suami kamu, hargai privasi-ku!"
Jleb...
Lagi, kata-kata Mas Heru tak seperti biasanya padaku. Aku seperti tak mengenali suamiku sendiri saat ini. Mataku terasa panas, mungkin air mata telah menggenang di pelupuknya. Kucoba untuk menahan agar butiran air mata itu tak jatuh ke pipiku.
"Kamu tunggu di sini sebentar, Mas mau ke toilet," ucapnya, lalu beranjak meninggalkanku sendiri.
Saat sedang menunggu, aku melihat handphone, kunci mobil dan weistbag Mas Heru terletak di atas meja. Aku langsung teringat dengan chip yang diberikan oleh Ferdi pagi tadi.
Segera kuambil handphone canggih milik Mas Heru, membuka pelindungnya sedikit. Kemudian aku mengambil kotak kecil berisi chip dari dompetku, menempelnya pada belakang ponsel dan segera memasang kembali pelindungnya.
Aku penasaran melihat galery poto dan video di ponsel Mas Heru, memang selama ini aku sama sekali tidak pernah memeriksa ponselnya. Begitu pun sebaliknya. Karena dari awal menikah kami berkomitmen dan memutuskan untuk saling percaya.
Aku menggeser-geser gambar di dalam album foto Mas Heru, tidak ada yang aneh. Malah di dalamnya banyak foto-foto diriku yang kelihatannya di ambil Mas Heru diam-diam. Seperti fotoku saat tidur, memasak, menyiram bunga, bermain ponsel dan masih banyak lagi. Mas Heru memang sangat berbakat mengambil candid foto.
Selain itu, foto-foto kami saat liburan ke luar negri juga memenuhi memory ponselnya. Karena memang, Mas Heru dan aku biasanya akan berlibur ke luar negri minimal sekali dalam setahun.
Saat aku selesai di file foto, aku beralih ke file video. Hanya ada beberapa video di sana. Dan sudah kupastikan, itu adalah video kami saat bercinta. Mas Heru memang memiliki hobby yang sedikit aneh, dia suka sekali merekam saat kami bercinta di tempat yang baru pertama kali kami melakukannya. Mungkin, dari sekian banyak rekaman hanya ini yang menurut Mas Heru bagus dan layak di simpan.
Aku enggan membuka galery video itu. Aku menatap satu tampilan awal video yang kurasa bukan bagian dari diriku, aku menghabiskan volume-nya dan bersiap untuk memencet tombol putar, Mas Heru datang.
"Kamu periksa-periksa ponsel Mas, ya?" tanya Mas Heru padaku dengan tatapan curiga.
"Nggak kok, aku cuma ngeliat doang. Rencana aku mau ganti handphone juga, Mas." jawabku berbohong.
"Ini udah lama banget, Sayang. Nanti kamu kalau beli, yang keluaran terbaru aja. Kapan kamu maunya? Sekarang? Yuk, Mas anterin,"
"Eh... Nggak sekarang juga kok, Mas. Aku perlu backup data-data di ponsel ini dulu ke laptop."
"Kan bisa nanti-nanti. Lagian kalau beli lagi, kan ponsel lama tetap sama kamu. Bukannya di jual trus tukar tambah."
Mas Heru kembali bersikap ramah dan lembut padaku. Hatiku hampir saja meleleh dibuatnya, jika tidak karena panggilan telpon dari Mami yang tiba-tiba masuk ke ponsel Mas Heru.
"Iya, Mi? Aku masih sama Winda. Oh, iya. Mami bisa kan sendiri? Ya sudah kalau gitu, nanti kalau sudah selesai aku kabarin Mami, ya!"
Begitulah jawaban-jawaban yang Mas Heru berikan pada Mami, entah apa yang wanita genit itu katakan padanya dari seberang sana.
"Mami kenapa lagi, Mas? Kenapa sepertinya akhir-akhir ini hubungan kamu lebih deket sama Mami?" tanyaku curiga lagi.
"Sayang, saat ini Mami ada masalah besar yang butuh banget suport dari aku."
"Paling-paling suport masalah dana. Maklum saja, sugar daddy-nya sudah mencampakkannya. Karena itu dia pulang lagi ke sini," sindirku pedas.
"Winda... Nggak baik ngomong seperti itu, dia itu Mami kita. Kita harus menghormati dan mendukungnya dalam setiap masalah,"
"Kamu aja lah, Mas. Aku nggak tertarik ikut campur."
"Ya udah, Mas minta kamu jangan curigaan lagi dong sama Mami dan Mas. Masa sih curiganya sama Mami sendiri."
Mas Heru mengusap kepalaku manja. Berhubung Nia tak kunjung datang kembali, Mas Heru mengantarkanku kembali ke rumah. Awalnya dia mengajakku untuk ikut ke kantornya. Tapi, aku sedang malas berada di perusahaan. Lebih baik aku di rumah dan bersantai.
Setelah mengantarku ke rumah, Mas Heru langsung putar arah lagi ke kantor. Katanya masih banyak pekerjaan yamg menunggu. Sementara aku, saat Mas Heru menghilang dari pandanganku, aku mengambil kunci mobil dari dalam tasku.
Mengeluarakan BMW silver dari dalam garasi. Kemudian menginjak pedal gas menuju rumah Ferdi. Aku sudah tak sabar menunggu hingga besok pagi. Aku masih mengingat dengan jelas dimana alamat rumah Ferdi. Karena ternyata, kami tinggal di kompleks yang sama.
Sesampainya di rumah Ferdi, aku menekan bell beberapa kali saking tidak sabarannya. Namun, tidak ada jawaban dari dalam.
'Mungkin, Ferdi sedang keluar. Sebaiknya aku bersabar sampai besok pagi," lirihku.
Dengan langkah lesu, aku mulai memutar tubuhku untuk kembali pulang. Tapi, belum sempat aku masuk ke dalam mobil, suara khas berat Ferdi terdengar memanggilku.
"Win..."
"Hai, ternyata kamu di rumah?" aku kembali bersemangat.
"Iya. Aku tadi sedang mandi waktu kamu mencet-mencet bell."
"Oh gitu, sorry nih aku ganggu!"
"Its oke. Kok kamu datang lagi? Nia mana?"
"Panjang ceritanya, aku ke sini mau minta kamu hubungka perangkat di ponselku ke chip yang udah kamu kasih tadi,"
"Kamu udah berhasil memasangnya?"
Aku mengangguk yakin pada Ferdi. Dan segera menyodorkan ponselku pada Ferdi. Dengan lihai, Ferdi memprogram ponselku dengan segala macam t***k bengeknya yang aku nggak ngerti sama sekali.