Mengatur Rencana

1028 Words
Tidak sampai tiga puluh menit, Mercedes merah milik Nia tampak memasuki halaman rumah mewah milikku. Sebenarnya, aku bisa saja pindah dari sini. Ke rumah yang tiga kali lipat lebih mewah dari ini. Karena Mas Heru mampu membelikannya, tapi lagi-lagi aku sayang membiarkan rumah peninggalan Papi ini dalam keadaan kosong. Di sini penuh kenanganku bersama Papi. Aku tak akan pernah mau pergi kemana pun. "Hei... Mukanya kok masam banget, kayak jeruk busuk," sapa Nia mendekatiku, kemudian kami berpelukan dan cium pipi kanan, cium pipi kiri. "Gimana ga masam, coba? Mas Heru tu sekarang berubah banget, sering pulang tengah malam. Dan kemarin aku periksa tas kerjanya, banyak banget tagihan belanja, Hotel, juga bill di Restoran mahal. Sementara, aku udah satu bulan ini nggak pernah minta temanin sama dia belanja, nggak pernah diajak dinner di luar, apalagi nginap di Hotel. Apa aku nggak boleh curiga sama dia, kalau udah gini?" cerocosku tak henti pada Nia yang baru saja datang. Nia tampak mendengarkanku dengan sabar. Aku bahkan lupa menyuguhinya air minum, karena kulihat dia berjalan sendiri mengambil air. Ya, dia memang sudah mengenal baik rumah ini. Semasa sekolah, bahkan dia sering menginap di rumahku ini berhari-hari. "Kamu yang ngomong panjang lebar, aku yang haus. Aku minum dulu," jawabnya, lalu meneguk air putih hangat itu hingga tandas. "Nih, aku udah buatin juga pesanan kamu!" ucapku menyodorkan sepiring mie goreng pedas kesukaannya. Aku tau, Nia buru-buru datang ke sini dan pasti dia belum sempat sarapan. Jadi aku memang sengaja membuatkan pesanannya ini selagi menunggu ia datang. "Wuaa... Kamu memang terbaik, Beb. Muach!" jawabnya senang dan mengecup pipiku. Aku membiarkan Nia memakan sarapannya dengan tenang. Setelah selesai, pasti otaknya itu akan langsung conect dan dia mulai gencar menanyaiku. "Jadi, hal lain apa yang membuatmu yakin dia memiliki wanita lain?" tanya Nia, setelah menghabiskan sarapannya. "Aku curiga, ini ada hubungannya dengan Mami!" jawabku serius. "Ma-Mami? Mami kamu?" tanya Nia tak percaya. "Iyalah, Mami siapa lagi? Mas Heru kan udah yatim piatu," ungkapku lagi. "Emm... Kalau boleh jujur sih, aku memang pernah melihat Mas Heru itu sedang berada di Hotel A4 bersama seorang perempuan. Aku tidak melihat dengan jelas, tapi perempuan itu bergaya ala-ala cewek Eropa. Super seksi. Aku pikir, dia sedang mengadakan pertemuan dengan klien dari luar Negeri," ungkap Nia panjang lebar padaku. "Itu pasti Mami. Kenapa kamu nggak pernah cerita sama aku? Kapan kamu melihatnya?" "Mungkin, sekitar satu minggu yang lalu. Waktu aku sedang mengantarkan dokumen perceraian pada seorang wanita yang bersembunyi dari suaminya dan menginap di Hotel itu untuk sementara waktu," "Tidak salah lagi. Awas kamu, Mas. Aku akan membuat kamu menyesal karena telah mempermainkanku!" gerutuku dengan tangan terkepal menahan emosi. "Sudahlah, tenangkan dirimu dulu. Kita harus mengatur strategi, supaya semua bisa jelas. Jika benar dia berselingkuh, apa yang akan kau lakukan?" pertanyaan Nia sontak membuatku terdiam cukup lama. Jujur saja, aku takut jika semua hal ini benar-benar terjadi. Aku masih berharap, semua ini hanyalah ketakutanku saja. Tapi, jika ternyata benar, apa aku siap melepaskan Mas Heru? Aku tentu saja tidak ingin berbagi suami dengan wanita lain. Aku bisa memaafkan kesalahan-kesalahannya yang lain, tapi tidak jika urusan wanita. "Aku akan menggugat cerai!" jawabku penuh tekad. "Apa kau sungguh tak akan terluka nanti?" "Aku akan lebih terluka jika terus melanjutkan hubungan dengan seorang pengkhianat," balasku tanpa menatap pada Nia. Pasti Nia paham, apa yang sedang berkecamuk di dalam hatiku saat ini. Biarlah, jika Tuhan memang telah menghabiskan umur jodohku dengan Mas Heru secepat ini, aku akan mencoba untuk ikhlas. "Sebaiknya, kamu cari seorang yang bisa menyisipkan pelacak pada ponsel Mas Heru. Agar aku tau kemana saja dia pergi. Jadi kita bisa memantaunya atau menggrebeknya sekalian," sahutku bersemangat. "Oke, gimana kalau kita ke rumah Ferdi?" ajak Nia padaku. "Ferdi? Siapa dia?" "Kau lupa? Ferdi, kakak kelas kita waktu SMA. Yang pernah empat kali kau tolak mentah-mentah di depan seluruh siswa di lapangan sekolah," "Hah? Kak Ferdi yang itu? Untuk apa kita ke rumahnya? Jangan bilang, kau mau menjodohkanku lagi dengannya?" "Hus, jangan berpikiran negatif pada sahabatmu yang cantik ini," tukas Nia cepat. "Lalu, untuk apa?" desakku padanya lagi. "Dia itu ahli dalam bidang lacak melacak. Ahli informatika dan dalam dunia perhackeran. Jika kamu mau, ponsel suamimu juga bisa di sadap. Jadi kita bisa tau apa saja isi pesan dan pembicaraan telponnya!" jelas Nia. "Oh, begitu. Kenapa tau tidak mengatakannya sejak tadi? Kalau begitu ayo kita ke rumah Kak Ferdi." ajakku dengan menarik tangan Nia. "Wah lihat ini, yang sudah tak sabar ingin bertemu mantan kekasih," ejeknya padaku. "Aku bahkan tak sekalipun menerimanya, bagaimana dia bisa jadi mantan kekasihku?" balasku dengan bangga saat melihat Nia sudah berdiri dari kursinya. "Ya, kamu benar. Apa kamu akan pergi dengan pakaian seperti ini?" tanya Nia heran melihatku hanya mengenakan kaus oblong dan jeans ketat semata kaki. Rambut panjangku, kubiarkan tergerai karena masih basah setelah mandi tadi. "Ya iyalah, memangnya aku harus berdandan dulu untuk ketemu sama pria lain?" jawabku sekenanya. "Mungkin, karena itu kamu dicintai banyak pria. Sifat dan sikapmu yang sederhana itu, Beb. Pasti salah besar, jika Mas Heru benar-benar mengkhianati kamu kali ini." puji Nia terlihat sungguh-sungguh. "Tentu saja, aku menyingkirkan antrian panjang psra pria yang ingin melamarku demi dirinya. Awas saja, jika benar dia berselingkuh. Akan kubuat dia menyesal sampai bersujud di kakiku ini!" ujarku sungguh-sungguh. Setelah mengambil tas yang berisikan ponsel, atm, kartu kredit dan beberapa benda wajib bagi perempuan di dalamnya, aku menyusul Nia yang sudah terlebih dahulu ke mobil. Setelah mengunci rumah, aku masuk ke mobil Nia dan kami berangkat. Tak pernah terbayangkan olehku, bahwa aku akan mengalami hari yang seperti ini di dalam hidupku. Mencurigai lalu mulai menyelidiki suamiku sendiri. Suami yang selalu kupandang tanpa celah dan dosa, suami yang kubangga-banggakan dan kupuja-puja karena kelembutan hatinya, sikapnya, tutur bahasanya. Mungkin, benar kata pepatah. Air yang tenang, memiliki bahaya besar di dalamnya. Mungkin, kata-kata itu pantas kusematkan untuk Mas Heru. Pria yang tak banyak neko-neko, penurut dan tak pernah mengatakan tidak padaku. Namun sebenarnya, ada rahasia besar yang ia sembunyikan dari sikap baiknya selama ini. Aku yang dibutakan oleh cintanya, terlena. Dan lupa, bahwa Mas Heru tetaplah laki-laki biasa. Dia bukan Malaikat yang tanpa dosa dan nafsu. 'Maaf, Mas. Demi ketenangan hatiku dan kebaikan kita bersama, aku harus menempuh jalan ini,' lirihku dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD