Bab 1: Pernikahan

1165 Words
Mas Bima sudah tidak pulang sejak setahun yang lalu. Pekerjaannya sebagai kontraktor itu membuat kami harus sabar menanti hari berjumpa. Kedua anakku sudah tidur sejak dua jam lalu. Hana dan Aisyah. Dua anak kami yang mas Bima janjikan untuk bisa mengenyam pendidikan lebih baik dari aku dan dia yang tak bisa tamat kuliah. Mas Bima hanya kurang dua semester saja, tapi ketika kusuruh dia meneruskan kuliahnya, ia selalu bilang uang semesterannya untuk tabungan kedua anak kami agar masa depan pendidikan mereka jelas di kemudian hari. Aku tak tahu lagi bagaimana menuntaskan rinduku kepadanya. Ia pria yang kunikahi lima tahun lalu. Ia adalah pria paling sabar yang aku kenal. Tak ada yang mampu menaklukan hatiku selain dia. Beberapa kali para lelaki tampan datang ke rumahku saat aku dulu masih gadis dan tak satupun dari mereka yang lolos masuk ke hatiku meski mereka selalu membawa bunga, makanan dan hal-hal manis lainnya. Mas Bima berbeda dari mereka. Mas Bima tak membawa apa-apa saat ke rumahku. Ia datang dengan peci putih khasnya dan wajahnya yang malu-malu. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana kegugupannya saat ayahku menghardiknya terang-terangan, menanyakan maksud kedatangannya ke rumah kami. "Amila ingin belajar ngaji, Ayah," kataku kepada ayahku yang langsung melirik ke arahku dengan tajam dan dehemannya yang membuat nyaliku seketika sedikit menciut. Tapi untuk pertama kalinya aku tak begitu memikirkan kemarahan ayah, aku hanya ingin dia, Bima Saputra naik ke atas rumahku meski aku tak tahu apa maksud kedatangannya ke rumah ini. Ia akhirnya menapaki anak tangga rumahku dan berdiri dengan berulang kali menundukkan wajahnya di sekitar kami, Aku, kak Mira dan Ayah. "Benar kamu mau ngajar ngaji anakku?" tanya Ayah dengan nada suara bagai petir yang menggelegar, membuat tubuh Bima sedikit bergetar karena takut. Bima menatap wajah Ayahku setelah menoleh sejenak ke arahku dan kak Mira yang berada tak jauh darinya. "Be-benar, Om," jawabnya ragu-ragu. "Ya sudah, masuk!" kata Ayahku dengan lantang seraya ia lebih dulu masuk ke dalam rumah disusul kemudian Ayah, aku dan kak Mira. Aku dan kak Mira saling pandang dengan tatapan bingung. Aku bingung harus bagaimana dengan pemuda di hadapan kami ini, sedang kak Mira aku tak tahu kenapa ia terlihat gelisah dan bingung. "Ya sudah ngaji! Nunggu apa lagi?!" bentak Ayah padaku dan pemuda itu. Pemuda itu buru-buru duduk di lantai yang beralas karpet merah, sedangkan aku buru-buru masuk ke dalam kamar meraih kerudungku. Pemuda itu membawa beberapa kitabnya, lalu membukanya perlahan. Aku tak paham dengan kejadian ini. Ia benar-benar membawa perlengkapan untuk mengaji. Dan sebenarnya siapa yang hendak ia ajari untuk mengaji? Hari itu berlalu dengan begitu saja. Aku dan dia mengaji kitab kecil. Suaranya sangat merdu saat melantunkan isi surat-surat pendek di Juz Amma. Hatiku terasa sangat sejuk dan dingin. Aku tak sadar bahwa aku terus saja memandanginya hingga akhirnya Ayah langsung berdehem dan membuatku menoleh ke arahnya karena malu. Suara Hana yang menangis tiba-tiba itu membuyarkan seluruh lamunan manisku kepadanya. Ia menangis dalam tidurnya. Matanya masih terpejam. Kuraih balitaku yang masih berusia tiga belas bulan itu. Kuberi dia ASIku agar ia tenang. Tak berselang lama ia pun terlelap. Aku menengadahkan kepalaku ke dinding kamarku. Jam masih menunjukkan pukul sembilan malam dan entah mengapa aku belum merasa ngantuk sama sekali. Setelah Hana tenang, aku meletakkannya di samping Aisah yang masih terlelap. Dua balitaku itu selisih hampir dua tahun. Hana berusia tiga belas bulan dan Aisah yang berusia hampir lima tahun. Tahun ini aku mendaftarkannya ke taman kanak-kanak meski usianya lima tahun kurang empat bulan. Mereka adalah pelepas rinduku sementara ketika mas Bima tak berada di sampingku saat ini. Pekerjaan mas Bima yang selalu berada di luar kota membuatku menyadari bahwa yang paling utama dalam menjalani kehidupan berumah tangga adalah kesabaran dan ketabahan. Aku melangkahkan kaki keluar dari rumah dengan restu dari kedua orang tuaku yang setengah hati saat aku meminta menikah dengan mas Bima. Ayah yang paling utama menentang rencana pernikahanku dan mas Bima dengan alasan aku belum selesai dengan pendidikanku. Sedang Ibu hanya menuruti apa kata Ayahku saja. Kini saat aku teringat akan Ayah, air mataku menetes. Rasa-rasanya baktiku kepada beliau belum sempurna, dan aku tak mengerti kenapa Allah memanggilnya begitu cepat dari kehidupanku, Ibu dan kak Mira? Serangan jantung. Hal itulah yang disampaikan dokter kepada kami saat kami membawa Ayah yang tak bernyawa ke rumah sakit terdekat. Aku masih berharap Ayah hidup kembali saat membawanya ke sana. Bahkan ketika dokter mengatakan bahwa ayahku sudah tak bernyawa sejak berjam-jam lalu, harapan itu masih tetap menyala di hatiku. Saat aku memandang wajah Ayah yang sudah terpejam dan berwarna pucat dengan kain kafan yang sebagian menutupi kepalanya, aku teringat tentang pesannya kepadaku selepas akad nikahku. "Seperti yang kamu tahu, nduk, pernikahan itu adalah ibadah terpanjang. Dan pahalanya adalah separuh agamamu. Ayah memang gak sepintar Bima soal agama, tapi satu yang ayah tahu dan yang harus kamu pegang, nduk, dimanapun kamu berada kodrat wanita itu selain berbakti kepada suami, ia wajib menjaga harga diri dan kehormatannya," kata Ayah. "Kamu wajib bakti ke suami kamu, tapi jangan abaikan kebahagiaanmu," kata Ayah sekali lagi seraya menepuk pundakku dan berdiri lalu berlalu dari kamarku. Hingga sekarang aku masih ingat dengan jelas bagaimana raut wajahnya saat mengatakan hal itu dan mengapa ia mengatakan hal tersebut kepadaku. "Dok ... Dok ... Dok ...." suara ketukan pintu rumahku itu membuyarkan lamunanku seketika. Aku terhenyak kaget sesaat. Kupandang sekilas jam di dinding kamar sebelum akhirnya beranjak turun ke lantai dan bergegas membuka tirai jendela sebelum membuka pintu rumahku. Aku sedikit tersentak kaget kala menyadari kalau pemilik kontrakanku ada di balik pintu, tersenyum masam saat mengetahui aku mengintip dari balik tirai. Buru-buru aku memutar kunci rumahku dan membuka pintunya. Matanya dan bibirnya bergerak-gerak risih. Selalu seperti itu saat ia menatapku. Tatapan merendahkan karena ia pikir aku adalah istri simpanan. "Kenapa, bu?" tanyaku tak tahan. "Aku sadar sih kalau kontrakan ini itu udah dibayar sama laki-laki situ yang katanya emang suami neng," kata bu Parmi, pemilik rumah yang aku kontrak ini. Aku hanya tersenyum kecil, tak akan lagi aku tersulut emosi oleh omongannya yang pedas itu. "Terus malam-malam gini ada apa, ya, bu?" tanyaku sopan seraya membuka pintu rumah lebar-lebar, mempersilahkannya masuk ke rumahnya yang telah aku sewa. "Anu ..." Bu Parmi terlihat ragu ingin mengatakan sesuatu, baru kali ini kulihat wajahnya nampak cemas saat berhadapan denganku. Pelan-pelan ia keluarkan ponsel di saku celananya dan membukanya lalu memberikannya padaku. Aku menerimanya dengan dahi yang berkerut heran dan menatap layar ponselnya yang seketika itu pula membuat jantungku seolah berhenti berdetak. "Suaminya bu Lastmi kebetulan mandor proyek yang ada di Kalimantan dan dia gak sengaja datang ke nikahan sepupu anak buahnya. Pas datang, dia kaget kok suami jenk yang duduk di pelaminan," katanya. Aku sedikit syok hingga tak tahu harus berkata apa kepadanya. "Ini jeng, foto nikahnya, yang perempuan sepupu anak buahnya, yang laki itu suami jeng, kan?" tunjuknya seraya memperbesar gambar di ponsel yang kupegang. Tanganku bergetar hebat sejak tadi memegang ponsel dengan gambar mas Bima di dalamnya, lengkap dengan pakaian pengantin dan duduk di samping mempelai perempuan. Bagai dihantam besi, hatiku seketika terasa hancur begitu saja saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD