Kenyataan Pahit
PERJANJIAN DUA AKAD
PART 1
❤️❤️❤️
“Ada beberapa hal di dunia ini yang kita lakukan dengan terpaksa, lalu menjadi terbiasa dan bisa menerimanya.”
.
Mobil berwarna silver itu memasuki pekarangan kampus, terus melaju hingga berhenti di tempat parkiran khusus mobil. Seorang perempuan dengan rambut panjang sebatas punggung turun dari sana. Ia tersenyum saat melihat beberapa temannya telah menunggu di pelataran kelas.
Perempuan itu sejenak memantaskan diri dari kaca spion mobilnya. Setelah terlihat benar-benar rapi, ia mengunci pintu mobilnya yang meninggalkan suara tin.
Aluna Namira. Perempuan yang terlihat sempurna di mata orang lain, tapi tidak di mata suaminya.
Dengan langkah cepat, Aluna menghampiri teman-temannya. Mereka berencana akan mengumpulkan tugas dari dosennya secara bersamaan sebelum masuk ke kelas.
“Pagi,” ucap Aluna.
“Lu nggak diantar?” tanya salah satu teman Aluna saat ia sudah dalam jarak yang dekat.
Aluna mengernyitkan keningnya, masih tak mengerti siapa yang dimaksud mengantar oleh teman di depannya. Lalu, ia teringat bahwa saat terakhir kali ia ke kampus, ia diantar oleh Abian.
Aluna tertawa miris dalam hatinya. Mungkin teman-temannya melihat Aluna sebagai perempuan yang beruntung dan ingin banyak orang ingin menempati posisinya.
“Boleh bareng, nggak?” tanya Aluna saat Abian akan memasuki mobilnya.
“Aku udah telat. Mobil sendiri tuh dipake, jangan cuma dipajang.”
Aluna menekan bagian dadanya yang terasa sakit. Namun, Abian tak melihat itu, karena tangan Aluna tertutup oleh beberapa buku yang sedang dipegangnya. Perempuan itu merasa bahwa suaminya benar-benar keberatan mengantarnya ke kampus. Padahal baru kali ini Aluna meminta.
“Mobilku kayaknya mogok. Aku udah coba hidupin mesinnya berkali-kali, tapi nggak bisa.” Aluna mengungkapkan permasalahannya.
Abian sejenak diam, lalu menelengkan kepala mengisyaratkan agar Aluna masuk ke mobilnya. Mobil melaju setelah Aluna duduk dengan nyaman dan memasang seat beltnya. Ah, Aluna sebenarnya tak nyaman, karena perjalanan mereka hanya diisi sunyi dan kaku. Abian tak berbicara sepatah kata pun, Aluna juga tak berani memulai pembicaraan. Tepatnya berhadapan dengan Abian, Aluna tak tahu harus berbicara apa.
Perempuan itu hanya menghindari kesalahan. Karena di mata Abian, semuanya telah salah dari awal. Aluna, pernikahannya, orangtuanya, semuanya salah bagi Abian.
“Ah, Mas Abi lagi di luar kota.” Aluna menjawab pertanyaan dari salah satu temannya. Sedikit terlambat, karena imajinasinya berkeliaran tentang seorang Abian.
Mereka melihat apa yang bisa dilihat. Menilai apa yang hanya diperlihatkan. Tanpa tahu kisah yang sebenarnya, betapa hati Aluna perlahan teriris oleh perlakuan sang suami.
Romantisme, perlakuan manis, semua itu tak Aluna dapatkan dari seorang Abian. Pernikahan bahagia hanya serupa dongeng bagi Aluna. Yang ada hanya dingin, hingga hatinya beku tanpa kehangatan.
“Mas, nanti siang makan di rumah, nggak?” Aluna sedang menikmati sarapannya saat itu. Ia bertanya pada sang suami yang kini duduk satu meja dengannya.
Duduk dengan suasana hening, karena ia tak pernah memulai bicara duluan jika tidak perlu.
“Kenapa? Sudah mulai lelah?” Abian bertanya dengan nada dingin.
Aluna yang mendengar pertanyaan itu menatapnya sendu, Abian membalas dengan tatapan yang sama dingin dengan ucapannya. Membuat perempuan itu kembali menunduk, menatap piring yang masih terisi dengan nasi goreng.
“Bukan gitu, Mas. Aku cuma ...,” Aluna tak bisa melanjutkan kalimatnya, karena baru saja ia hendak mengutarakan alasannya, Abian sudah berlalu di hadapannya.
Aluna hanya menatap punggung bidang itu yang bergerak menjauh darinya. Abian telah rapi dengan jas dan tas di tangannya, seperti biasa lelaki itu akan ke kantor setiap pagi.
Aluna masih menatap dengan tatapan kosong. Ia merasa perih dalam hatinya semakin menjadi. Perempuan yang hampir memasuki usia dua puluh dua tahun itu merasa terbuang oleh perlakuan suaminya sendiri.
Hingga suara mesin mobil Abian tak terdengar lagi, menandakan lelaki itu telah keluar membelah jalan raya kota Jakarta, Aluna masih duduk di meja makan, meratapi nasib malangnya yang terlahir untuk memiliki suami yang tak mencintainya.
Aluna bahkan tak lagi berselera melanjutkan sarapannya. Ia membereskan beberapa piring kotor di meja itu, dan membawanya ke belakang. Setelah itu Aluna menyiapkan diri untuk ke kampus.
Mengharapkan didengarkan oleh Abian, tak akan pernah. Apalagi mengharapkan untuk kenyamanan sebuah pelukan, hanya mimpi. Mimpi Aluna yang terkadang ia tak ingin bangun saja dari tidurnya. Setiap kali berbicara dengan Abian, hanya dingin dan ketusnya yang menjadi sajian. Lalu, berakhir dengan saling diam.
Perempuan berkulit putih itu masih berstatus sebagai mahasiswa semester akhir di sebuah kampus di Jakarta. Entah ia harus menyebut malang atau beruntung, di usianya yang masih kuliah ia telah memiliki suami dari kalangan pebisnis ternama. Dari segi uang, Abian termasuk lelaki yang mapan, yang mungkin banyak dikejar wanita di luar sana.
“Suami lu cakep banget sih, Luna?” celutuk salah satu teman Aluna.
“Crazy rich ya?” tanya salah satu teman lainnya menggoda.
Teman-teman Aluna sering menggoda saat melihat ia diantar oleh suaminya. Meskipun Abian tak turun dari mobilnya, tapi mereka bisa melihat wajah tampan itu dari kaca mobil yang terbuka. Mereka juga melihat wajah itu di hari pernikahan Aluna.
“Bukan lagi crazy rich, tapi emang direktur perusahaan besar.” Teman lainnya ikut menambahkan.
“Wajar sih, Luna juga kan orang kaya.” Salah satu teman lainnya merasa wajar jika Aluna mendapatkan suami yang kaya, karena perempuan itu juga anak dari salah satu pengusaha di kota itu.
“Kalau kayak kita mah, harus ngaca di cermin yang besar gitu, biar keliatan gede kekurangannya,” kelakar teman Aluna yang lainnya.
Aluna tersenyum miris mendengar candaan teman-temannya. Senyum yang cepat ia sembunyikan wajahnya agar mereka tak melihat itu. Hanya pada satu teman, Aluna bisa menceritakan tentang dirinya, tentang pernikahannya, juga tentang kondisi hatinya. Teman yang sudah Aluna kenal sejak SMA, Sisil namanya.
Bagi Aluna, Abian tak lebih dari beruang kutub yang dingin. Menyebar dingin bagi siapapun yang ada di dekatnya, terutama Aluna sendiri. Karena lelaki itu dikenal sangat sopan dan baik di luar sana.
*
“Oke, siap deh.” Aluna berkata pada diri sendiri sambil melihat menu soto ayam di yang baru saja dimasaknya.
Usai pulang kuliah, Aluna singgah sebentar dia supermarket. Hari ini ia ingin memasak untuk dirinya sendiri, karena pembantunya sedang cuti pulang ke kampung.
Aluna terpaksa untuk sementara waktu tinggal sendirian di rumah Abian. Lelaki itu memang sering meninggalkannya untuk keperluan pekerjaan. Pun, ada atau tidak ada lelaki itu, bagi Aluna sama saja.
Hingga sore hari, Aluna merasa terlalu bosan tinggal di rumah seorang diri. Ia berencana untuk main ke rumah orangtuanya, atau bila perlu menginap di sana sampai Abian pulang.
Perempuan itu mengambil kunci mobil yang ia letakkan di nakas, ia melihat jam di dinding masih pukul empat sore. Kemungkinan besar ayah dan ibunya tidak berada di rumah di jam itu. Kedua orang tua Aluna dikenal pekerja keras, mereka kerap pulang malam atas dasar pekerjaan. Untungnya ibu dan ayahnya masih bekerja di perusahaan yang sama.
Hal itu membuat Aluna urung, ia kembali melepas hoodie yang ia pakai, karena di luar cuaca tampak mendung.
Perempuan itu mengambil ponsel, membuka aplikasi media sosialnya. Jenuh. Aluna benar-benar merasa bosan. Ia mencoba mengembalikan moodnya dengan membaca. Ia berjalan ke arah rak buku di sebuah kamar khusus, tapi sayangnya semua buku di sana telah ia baca berulangkali. Hanya tinggal buku-buku tentang bisnis yang sangat digemari Abian, tapi membosankan bagi Aluna saat ini. Ia ingin membaca bacaan yang ringan saja. Sepertinya Aluna harus singgah di toko buku dan membeli beberapa buku besok.
Aluna berjalan ke kamar Haura, seorang pembantu rumah tangga yang beberapa bulan lalu bekerja di rumahnya. Perempuan itu teringat, Haura pernah mengatakan ingin meminjami sebuah buku untuknya.
Menuju Rumah Tangga Bahagia. Judul yang sempat Haura sebutkan pada Aluna.
Saat itu, entah mengapa atas rasa dekat yang Aluna rasakan, ia menceritakan sedikit kisahnya dengan Abian. Hingga Haura ingin meminjamkan sebuah buku untuknya.
Aluna membuka pintu kamar yang tak dikunci. Kamar yang berada di bawah tangga. Ia melihat suasana kamar yang rapi. Meskipun Haura tak sedang di rumah, tapi kamarnya tetap bersih. Sepertinya gadis itu memang terbiasa rapi.
Aluna berjalan pelan ke dekat laci. Haura tak mengatakan ia menyimpan di mana, tapi untuk mencari sesuatu yang basicnya kertas, Aluna memilih mencari di laci. Perempuan itu membukanya pelan, hingga terlihat sebuah buku yang ia cari di sana.
Aluna menemukan buku yang ia cari, karena tak ada buku lain di sana. Ia membuka lembarnya secara acak, demi sedikit melihat isi dan menilai menarik atau tidaknya. Meskipun Haura bilang, buku itu bagus dibaca untuk orang yang baru membangun rumah tangga.
Aluna berjongkok saat sesuatu dari dalam buku itu terjatuh ke lantai. Dua lembar foto, satu terbuka dan satunya lagi tertutup di lantai. Satu lembar foto memperlihatkan wajah Haura yang putih bersih mengenakan pakaian pengantin dengan hijab dan sedikit aksesoris di kepalanya. Perempuan itu merasa telah dibohongi oleh Haura, karena ia bilang bahwa dirinya belum menikah. Aluna membuang jauh pikiran itu, karena mungkin saja Haura pernah menikah, tapi bercerai sehingga ia enggan menceritakan pada orang lain. Atau bisa jadi suaminya telah meninggal. Bisa saja.
Namun, semua prasangka Aluna dipatahkan oleh kenyataan saat ia membalikkan lembar foto yang kedua. Foto yang teronggok di lantai, dengan bertuliskan tanggal di belakangnya. Aluna merasakan gemuruh dalam dadanya, matanya berkaca-kaca melihat foto di tangannya.
Abian terlihat mesra saat mencium kening Haura. Lelaki itu tersenyum yang menambah ketampanannya. Sedangkan Haura tampak memejamkan mata, merasakan kecupan hangat dari sang pemujanya.
Senyuman itu sungguh berbeda dengan ketika ia menikah dengan Aluna. Sebuah senyum terpaksa, tatapan yang memaksa, masih tersimpan di ponselnya. Masih terpajang di setiap dinding rumahnya. Abian dan Aluna memamerkan kepalsuan pada semua orang, dan semua orang bahagia melihatnya.
Tubuh Aluna bergetar hebat menahan amarah, menatap bergantian gambar yang ia pegang. Berkali-kali ia memperhatikan gambar itu. Berharap wajah itu berubah, tapi wajah itu tetap sama.
Wajah Abian Rajendra dan Haura Latifha.
Mata Aluna terasa hangat, hingga air dari sudut matanya mengalir di pipi sebagai puncak atas rasa marah yang tak terlampiaskan. Ada dua surga dalam rumah besar itu. Surga miliknya dengan Abian, dan milik Haura dengan Abian. Surga yang sama-sama dibangun oleh Abian. Namun, entah surga mana yang akan sampai pada-Nya.
Sialnya, saat Aluna kembali melihat sebuah tanggal yang tertera, ia memicingkan mata dengan dahi berkerut. Haura lebih dulu memiliki surga itu. Haura lebih dulu memiliki Abian.
Aluna kembali mencari bukti lain untuk memperkuat kenyataan. Tangannya kembali menggeledah isi laci, lalu ia temukan sebuah kenyataan lagi yang membuat hatinya hancur. Sebuah surat yang menyatakan bahwa memang benar mereka telah menikah.
Nama Abian dan Haura tertulis jelas di situ. Berapa kali pun Aluna mencoba mengeja, itu tak mampu mengubah nama di sana.