Seperti mimpi untuk Emma, karena ia baru pertama kali melakukan hal ini. Emma yang kini sedang berada di dalam kamar mandi, masih membayangkan persetubuhan semalam bersama Theo. Pada bagian dadanya terlihat masih ada jejak kemerahan yang Theo tinggalkan. Emma berkaca, melihat tubuhnya yang tidak mengenakan sehelai benang pun.
Bagian bawahnya masih terasa nyeri karena Theo tidak tahu jika Emma masih tersegel. Cukup terngiang desahan dari bibir mereka semalam, dengan Theo yang sangat menikmati tubuh Emma.
“Jadi gini rasanya malam pertama,” gumam Emma.
Masih merasa sakit, Emma berjalan sedikit tertatih untuk mulai membersihkan diri di bawah guyuran air shower.
Dalam pikiran Emma, masih banyak yang ingin ia coba bersama dengan Theo. Hanya saja, sendirinya malu untuk mengungkapkan hal itu secara terang-terangan.
Sementara Emma menikmati waktunya di dalam kamar mandi, Theo masih terlelap di atas tempat tidur. Tidak jauh dari ranjang, terdengar suara dering ponsel milik Theo. Cowok yang masih tidak mengenakan pakaian itu, mencoba meraih ponsel miliknya yang berada di atas nakas.
“Hmm?”
“Sayang, Mama mau ke Inggris. Nanti Mama nginap di apartemen kamu ya? Ini mau otewe ke apartemen kamu dari bandara,” ujar Aqila.
Seketika Theo bangun dari tempatnya.
“Apa? Mama mau ke sini?” tanya Theo memastikan.
“Iya, ini Mama sendiri sih. Mau jalan-jalan sama kamu,” ujar Aqila.
“Sekarang di mana?” tanya Theo.
“Udah di jalan , dari bandara ke apartemen kamu.”
“Oke, hati-hati di jalan, Ma.”
Theo berlari meraih handuk dan menutup bagian bawahnya itu. Saat di depan pintu kamar mandi, Theo mengetuk pintu dengan keras sampai Emma keluar dengan tergesa-gesa.
“Ada apa, The?” tanya Emma.
“Lu buruan pakek baju, terus balik ke tempat Yaya buat sementara, gue nggak mau di coret dari daftar warisan nyokap! Buruan!” titah Theo.
“Ha?”
“Ha, he! Buruan pake baju!”
Emma berjalan meraih pakaiannya, dan langsung mengenakannya dengan cepat. Setelah selesai, ia juga melihat Theo yang sudah mengenakan celana pendek dengan kaos oblong.
“Lu balik sekarang! Entar gue jelasin, yang jelas Nyokap gue udah di lobby, buruan!”
“Oke.” Emma meraih tas, dan beberapa barang miliknya.
Ke luar dari apartemen milik Theo, Emma langsung masuk ke dalam lift yang saat itu terbuka. Sedangkan Theo sendiri merapikan kamar dan ruangan lainnya.
“Kenapa mendadak sih!” gerutu Theo.
Benar saja … beberapa menit setelah itu, pintu apartemen terbuka.
Ceklek
“Sayang … Mama dateng!” ucap Aqila.
“Iya, Ma.”
“Kamu pasti baru bangun ya?” tanya Aqila.
“Iya, Ma. Bentar.”
Theo ke luar dari kamar, dan menyapa ibu-nya dengan memeluk dan memberikan ciuman pada pipi kanan dan kiri. Theo tersenyum melihat sang ibu ada di depannya.
“Kamu belum mandi?” tanya Aqila.
“Belum, Ma. Baru banget bangun.”
“Hmm, buruan mandi! Mama mau sarapan di resto yang ada di bawah,” ujar Aqila.
“Oke.”
Theo kembali masuk ke dalam kamar, dan mulai kegiatan membersihkan tubuhnya di dalam sana.
Sedangkan di bagian depan, Aqila tengah memeriksa dapur mini milik anaknya itu.
“Kok ada bahan makanan? Theo masak?” gumam Aqila.
Apartemen Theo juga terlihat lebih bersih dari pada kamar yang ada di Jakarta. Membuat Aqila ingin segera bertanya pada putranya itu.
Setelah beberapa menit kemudian. Theo keluar dari dalam kamar, dengan mengenakan celana pendek, dan kaos tipis.
“Ayok, Ma!” ajak Theo.
“Oke,” jawab Aqila.
Mereka berdua ke luar dari dalam kamar dan berjalan menuju ke lobby yang ada di lantai dasar. Selama di dalam lift, Aqila mulai bertanya pada Theo mengenai bahan makanan yang ada di apartemen miliknya.
“The, kamu masak?” tanya Aqila.
“Nggak, Ma.”
“Kok ada bahan makanan?”
“Bukan Theo, itu temen Yaya. Namanya Emma, dia sering main buat numpang masak gitu,” jelas Theo.
“Owh, kamu satu kelas sama Yaya?” tanya Aqila.
“Uhm, kadang … gak selalu barengan juga,” jelas Theo.
“Belajar yang bener, jangan cinta-cintaan lagi! Nanti nyesel lagi kamu,” omel Aqila.
“Iya, Ma.”
Ting …
Pintu lift terbuka, dan Theo bersama ibu-nya berjalan menuju ke restoran yang ada di bagian kanan lobby. Masuk ke dalam sana, Aqila mendapat jamuan yang istimewa karena sebagian sahamnya ada di apartemen itu.
“The, temenin Mama jalan ya habis ini!”
“Ya, Ma. Kebetulan Theo gak ada kelas.”
“Oke.”
Duduk di sudut yang ada di dekat jendela, Aqila mulai menikmati sarapan pagi ini bersama anak kesayangannya.
“Mama, ada kerjaan?” tanya Theo ditengah kegiatan makan itu.
“Iya, sih. Harusnya sama Papa ke sini, tapi mendadak Papa sakit.”
“Ha? Sakit apa?” tanya Theo cemas.
“Biasa, kecapekan. Papa kamu kurang istirahat aja.”
“Beneran?”
“Iya, beneran. Makannya kamu kuliah yang bener,” pesan Aqila.
“Iya, Ma. Theo tamatin tiga tahun ya?”
“Terserah kamu aja, kalo emang mampu, ya gapapa sih.”
“Oke, entar Theo cari info ke dosen.”
“Iya.”
Sampai hidangan penutup selesai, dan membuat perut Aqila penuh. Wanita itu melanjutkan obrolan santai bersama anaknya di sana, dengan menikmati secangkir kopi.
“Kuliah lancar kan? Kamu ada butuh apa?” tanya Aqila.
“Lancar kok,Ma. Gak ada sih, paling Cuma tugas biasa aja.”
“Iya, masih semester awal. Kamu jadinya gak akan pulang selama tiga tahun?” tanya Aqila.
“Kayaknya sih enggak,” jawab Theo.
“Kelulusan Milana juga gak mau dateng?”
“VC aja deh, emang dia nggak mau kuliah di sini?”
“Katanya sih enggak, mau sama Niel di Amerika.”
“Owh, jadi … mereka mau nikah dulu baru ke sana buat kuliah?”
“Belum tahu juga, masih dirundingkan sama keluarga.”
“Hmm … ya udah deh.”
“Kenapa?”
“Gapapa, Ma.”
“Kamu masih mikirin Viana?”
“Menurut Mama?”
“The, kalo mau setia itu gapapa. Tapi kalo kamu setia sementara yang kamu tunggu enggak?”
“Tenang aja,Ma. Theo kenal Vivi kayak gimana.”
“Ya udah.”
Selesai dengan kebersamaan pagi ini, Aqila memilih untuk langsung pergi bersama sang anak menuju ke pusat perbelanjaan di kota London. Dengan menggunakan mobil sport milik Theo, mereka berkeliling kota itu.
Selama perjalanan, ada banyak sekali daftar tempat yang ingin Aqila kunjungi bersama anaknya, selain pusat perbelanjaan. Bahkan Aqila sudah mengatakan pada Theo jika ia akan di sana selama dua minggu lamanya.
“Mama beneran dua minggu di sini?” tanya Theo.
“Iya, kalo gak ada panggilan dadakan dari Papa sih,” jelas Aqila.
“Mama gak kasihan ama Papa? Kan Papa lagi sakit,” ujar Theo mengingatkan sang ibu.
“Ya udah deh … Mama satu minggu aja di sini,” ujar Aqila.
“Hahaha … Mama ngambek nih.”
Theo mulai menepikan mobilnya dan berhenti di depan sebuah toko dengan brand ternama di sana. Wajah Aqila sudah terlihat sangat bahagia melihat nama brand itu, dan tidak sabar untuk segera berbelanja di dalam sana.