9.Fakta masa lalu 2

3001 Words
Taksi yang ditumpangi Naya berhenti di salah satu rumah di sebuah pemukiman di pinggir kota. Rumah berlantai satu itu terlihat sederhana dengan cat berwarna putih, pekarangan rumahnya luas dengan beberapa tanaman sebagai penghias, sayangnya terlihat kumuh tak terawat. Pemandangan tersebut membuat nyali Naya sedikit ciut, ia berfikir seperti apa orang yang tinggal di rumah tersebut, ia berharap bertemu dengan orang baik. “Nona tidak ingin turun? Kita sudah sampai dari tadi nona” ucap sopir taksi yang mengantar Naya. Naya mengangguk, “Iya pak, maaf, bapak jadi menunggu saya” ucap Naya meminta maaf. Ia pun mengambil beberapa lembar uang dari tas lalu memberikannya pada sang sopir setelah itu turun dari taksi. Setelah Naya keluar dari taksi, taksi pun melaju pergi meninggalkan Naya. Naya mengambil sebuah jaket yang sudah ia siapkan di tasnya lalu memakainya guna menutupi seragam sekolahnya meskipun hanya menutupi bagian atasnya saja, setelah itu pergi menuju ke pintu rumah tersebut. Ia sedikit menelan ludah sebelum mengetuk pintu bermaksud meredakan rasa gugupnya. ‘Tok’ ‘tok’ ‘tok’ “Permisi....” ucap Naya sopan. Tak ada tanda-tanda seseorang merespon ketukan pintu yang Naya buat, sepi. Apakah tak ada orang di rumah? Jika itu benar, maka sia sia semua rencana yang ia susun hari ini. “Permisi....” ucap Naya lagi dengan sedikit keras. “Iya sebentar” terdengar sahutan dari dalam rumah membuat Naya kaget. Beberapa detik kemudian pintu terbuka setengah dan memunculkan seorang laki-laki sepantaran kakaknya Adam. Laki-laki tersebut bingung dengan kehadiran Naya, apalagi penampilan Naya yang masih lengkap menggunakan seragam SMA di jam sekolah pula. “Ada apa ya?” tanya nya sopan. “Permisi, apakah benar ini rumah bapak Dadang sudirman?” tanya Naya gugup. Mendengar pertanyaan Naya membuat salah satu alis laki-laki itu naik, ia penasaran dengan sosok Naya dan tujuan Naya datang kerumahnya. “Ya benar, kenapa mencarinya?” tanya laki-laki itu kemudian. Jawaban laki-laki itu membuat setipis senyuman di bibir Naya, ia senang berada di alamat yang tepat. “Perkenalkan nama saya Naya, apakah saya boleh masuk ke dalam?” tanya Naya sopan sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman yang tak di balas dan malah di abaikan laki-laki yang berdiri di depannya. “Kalau urusan mu tidak penting, selesaikan disini saja” ucap laki-laki itu merasa Naya mengganggu privasinya. “Maaf ini hal penting, jadi sebaiknya di bicarakan di dalam” ucap Naya. Laki-laki itu tampak berpikir sejenak mempertimbangkan keinginan Naya hingga sebuah suara lemah menginterupsinya. “Siapa yang datang Bagas?” ucap suara lemah itu. Naya menjadi tahu laki-laki di depannya ini bernama Bagas. Bagas pun menolehkan kepalanya ke belakang menjawab pertanyaan dari seseorang yang bersuara lemah tadi. “Bukan siapa-siapa ibu” jawabnya singkat. “Benarkah? Coba ibu lihat” jawab ibunya membuat Bagas panik, ia sepenuhnya berbalik ke belakang yang semula hanya kepalanya saja. ”Jangan, ibu di dalam saja” ucap Bagas panik. “Hei kau pergilah” perintah Bagas menyuruh Naya pergi. Belum sempat Naya menuruti, pintu rumah terbuka lebih lebar dan muncullah seorang ibu tua yang terlihat lemah menatap Naya dengan senyum lembut yang menghangatkan. “Wah ada gadis cantik datang ke rumah ternyata” ucapnya ramah, Naya pun menundukan kepalanya sedikit untuk menyapa. “Permisi ibuk, perkenalkan nama saya Naya” ucap Naya sopan. “Oh Naya, apa kau pacar Bagas?” tanya ibu tersebut membuat dua orang lainnya kaget. “Bukan bu, Bagas tidak mengenalnya, dia hanya anak bolos sekolah yang nyasar kemari” seru Bagas, membuat ibunya heran menatap Naya. “Benarkah itu?” tanyanya lembut. Naya mengangguk membenarkan, ia sedikit malu mengakuinya. “Benar buk” ucap naya pelan. Ibu itu menghela nafas pelan tak habis pikir dengan yang di lakukan Naya. “Ada perlu apa kemari sampai membolos sekolah segala, apa ada hal penting?” “Saya ingin bertemu dengan keluarga dari bapak Dadang sudirman” “Dadang sudirman? benar itu nama suami saya, untuk apa ingin bertemu dengan kami?” “Apakah tidak apa-apa membahasnya di depan pintu?” tanya Naya sopan, ia merasa risih datang bertamu ke rumah orang tapi berdiri lama di depan pintu dengan memakai seragam sekolah pula. “Katakan apa hubungan mu dengan ayah ku sebelum aku mengizinkan mu masuk” ucap Bagas. “Saya anak dari Andika Adhitama, mantan majikan tempat dulu pak Dadang bekerja” jawab Naya membuat dua reaksi berbeda pada dua orang yang berdiri di depannya. Sang ibu tampak berkaca-kaca seperti akan menangis, sedangkan sang anak terlihat marah ia pun mendorong Naya berusaha mengusir Naya pergi jauh dari rumahnya. “PERGI” ucap Bagas sambil mendorong tubuh Naya pergi. “Pergi dari sini dan jangan pernah kesini lagi, kami tidak ingin berurusan dengan keluargamu lagi” lanjut Bagas. Naya terkejut dengan reaksi yang ia terima, apa yang salah dengan menjadi anak dari ayahnya. “Tunggu” ucap Naya menghentikan aksi Bagas. “Apa salah ayahku hingga membuat kalian marah?” tanya Naya namun tak ada jawaban dari Bagas. “Aku mohon, beri aku kesempatan, aku datang kesini baik-baik, aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi” ucap Naya memohon. Bagas bingung harus memutuskan apa hingga suara ibunya memanggil namanya. “Nak” teriak ibu Bagas lemah. “Biarkan anak itu masuk, jangan sakiti dia” lanjutnya lagi, Bagas hanya menghela nafas kasar lalu menuruti perintah ibunya. “Maaf aku telah mendorongmu, sekarang masuklah” ucap Bagas. Naya hanya mengangguk memaafkan lalu mengikuti Bagas masuk ke dalam rumah. Bagas mempersilakan Naya duduk di salah satu kursi yang ada di ruang tamu, walaupun kursi itu dilengkapi busa namun terasa keras ketika di duduki karena kondisi busanya yang sudah tua. “Maaf pasti ruang tamu kami tidak senyaman di rumahmu kan?” sindir Bagas yang mendapatkan cubitan di lengan dari ibunya. Bagas mengaduh dan protes pada ibunya. “Cepat minta maaf dan jangan ulangi lagi, kita harus menghormati tamu” perintah ibunya “Maaf” ucap Bagas dengan malas. “Tidak apa-apa” jawab Naya dengan tersenyum. “Sekarang buat kan non Naya minuman Nak” perintah ibunya lagi, sebutan baru yang diberikan ibunya pada Naya membuat Bagas protes. “Ibu dia bukan majikan kita, kenapa ibu memanggilnya seperti itu?” protes Bagas. Naya pun merasa tak enak ia pun meminta ibu Bagas untuk tak memanggilnya dengan embel-embel non. “Benar ibuk, panggil Naya saja” pinta Naya. “Tapi ibu ingin memanggilmu seperti itu, boleh ya?” pinta ibu Bagas. Naya sedikit takut untuk menjawab apalagi lirikan Bagas yang sedari tadi mengarah padanya dengan pandangan sengit. Namun melihat ekspresi sendu sang ibu yang membuatnya tak tega, Naya pun akhirnya mengangguk membuat ibu Bagas senang, sedangkan Bagas menjadi tambah kesal dan memilih pergi ke dapur untuk membuatkan Naya minum. “Jadi ada perlu apa non Naya kemari” tanya ibu Bagas lembut. “Emm, sebelum itu apakah saya boleh bertanya apa kesalahan ayah saya pada keluarga kalian? Kenapa Bagas terlihat begitu marah?” tanya Naya. Ibu Bagas menarik nafas sebelum menjawab, sepertinya jawaban yang akan ia berikan akan sedikit panjang. “Ayah anda tidak pernah melakukan kesalahan pada kami, justru sebaliknya ia banyak membantu keluarga kami di masa lalu” ucap ibu Bagas. “Membantu? Maksud ibuk bagaimana?” tanya Naya. “ Iya membantu kami, aku masih ingat waktu pertama kali aku dan suami ku bertemu dengan ayah mu, saat itu aku terbaring di salah satu bilik rumah sakit, aku baru saja melahirkan Bagas waktu itu, namun kami kesulitan melunasi biaya rumah sakit karena waktu itu ayah Bagas baru saja terkena PHK, akhirnya suamiku keluar berusaha mencari pinjaman guna melunasi tagihan rumah sakit. Tapi tak lama setelah itu ia kembali menemuiku dengan membawa ayahmu, suamiku bilang ayahmu bersedia membantu suami ku melunasi semua tagihan rumah sakit” jeda cerita ibu Bagas. “Kami sangat bersyukur bertemu dengan orang sebaik bapak Andika, bahkan ayahmu pun memberi suami ku pekerjaan, meskipun hanya sebagai tukang kebun tapi gaji yang kami terima sudah lebih dari cukup apalagi ayahmu sering membantu membayar biaya sekolah Bagas di waktu Bagas memulai awal sekolah. Jadi kehidupan kami menjadi berkecukupan karena bantuan bapak Andika” lanjutnya. “Jadi tidak ada alasan kami membenci ayahmu” pungkas ibu Bagas. Naya menjadi sedikit bingung, “Lalu apa masalahnya yang membuat kalian marah?” tanya Naya. “Itu karena keluarga Dharmendra yang membunuh ayahku, keluarga sahabat ayahmu” ucap Bagas membuat Naya terkejut. Bagas muncul dari salah sudut ruang yang menyambung dengan dapur, membawa sebuah nampan dengan tiga gelas teh hangat di atasnya. Menghampiri Naya dan ibunya, lalu meletakkan nampan di atas meja. Ia pun mendudukkan tubuhnya di samping ibunya menatap Naya. “Aku tahu kau ingin menyelidiki kematian ayahku kan?” ucap Bagas membuat Naya mengangguk. “Berikan kami alasan kenapa kami harus percaya padamu dan menceritakan segalanya” lanjut Bagas. Naya merasa ia harus menyakinkan Bagas dan ibunya untuk memberikan informasi, entah apa yang menimpa mereka berdua hingga mereka tak percaya dengannya. Naya menceritakan secara singkat dari dirinya yang bertemu Atha hingga kebohongan keluarga Dharmendra yang baru ia sadari, kecuali menceritakan bagian kejahatan yang dilakukan Atha di rumah sakit. Ia juga mengatakan tujuannya bertemu keluarga Bagas untuk mendapatkan bukti baru sekaligus menyakinkan nya bahwa ia benar-benar dalam bahaya karena keluarga Dharmendra. “Kami memang menolak pernyataan polisi yang menyatakan ayah kami kecelakaan, jadi kami meminta polisi untuk menyelidiki kembali kematiannya, tapi sampai sekarang belum ada kejelasannya” ucap Bagas. “Lalu apakah ada hal penting yang mungkin kalian pikir penting untuk di sampaikan padaku?” tanya Naya. Bagas memegang tangan ibunya membuat ibunya menoleh ke arah nya, hal itu seperti seakan Bagas tengah meminta izin pada ibunya untuk menceritakan segalanya. Ibunya pun mengangguk memberikan izin pada Bagas. “Sebelum itu biarkan aku mengatakan ini, sebaiknya kau mempercayai Atharya sepenuhnya, aku tahu mungkin aneh bagimu karena dia tiba-tiba datang memberikan fakta fakta yang tak pernah kau fikirkan. Tapi semua yang ia katakan sejalan dengan apa yang menimpa kami, lagipula bukan kah kau membuktikan sendiri bahwa keluarga Dharmendra benar-benar membohongimu, dan semua itu berawal dari penyataan Atharya” ucap Bagas yakin. Naya menelan ludah kasar, ia tidak siap menerima kenyataan yang akan kembali menyakiti hatinya. Bukannya Naya tak ingin percaya, tapi ia hanya tak menyangka keluarga yang selama ini ia sayangi dan ia percaya ternyata menusuknya di belakang dan merencanakan hal buruk di belakangnya. Naya tak siap, ia berdoa agar semua itu tak benar. “Kalau begitu yakinkan aku” ucap Naya. “Kalau boleh jujur sebenarnya kami tidak benar-benar mengenal keluarga Dharmendra, kami hanya mendengar dari cerita ayah yang selalu bercerita ketika pulang kerja. Ayah waktu itu bercerita bahwa bapak Andika menolong orang lagi dan yang di tolongnya kali itu adalah sahabatnya dari SMA, lalu selanjutnya ayah memuji-muji ayahmu di depan kami” ucap Bagas. Jawaban Bagas membuat Naya hendak memprotes bahwa mereka tak berhak menjelek-jelekkan keluarga Dharmendra karena nyatanya mereka tak mengenal dengan benar, tapi sebuah interupsi tangan menghentikan Naya. “Tunggu, biarkan aku menyelesaikannya” interupsi Bagas. “Tapi ada hal aneh yang menyakinkan kami, bahwa ayah di bunuh” ucap Bagas membuat Naya penasaran. “Ceritakan padaku” ucap Naya. “Kami tahu orang tuamu meninggal saat ayah pulang dengan isak tangis, ia menjerit menangis pilu menceritakan pada kami bahwa orang tuamu meninggal karena kecelakaan. Lalu hari hari berikutnya ayah bercerita bahwa keadaan rumahmu tidak sehangat dulu seperti saat orang tuamu hidup, ayah juga mengeluh merindukan sosok majikan sebaik bapak Andika dan istrinya” ucap Bagas membuat Naya menerima fakta baru bahwa Ayah dan Ibunya begitu di sayangi oleh pekerjanya pada waktu itu hingga membuat mereka merasa kehilangan besar saat mereka tak ada. Dan fakta lainnya bahwa keluarga Dharmendra bukan sosok majikan yang baik, yang membuat Naya heran, pasalnya keluarga Dharmendra bersikap biasa saja dengan para pekerja yang saat ini bekerja di rumahnya, kecuali Abimana tentu saja. “Dan benar kau mendapat luka di kepala karena terjatuh dari tangga bukan karena kecelakaan. Kami ingat ayah waktu itu bilang kedua orang tuamu kecelakaan bersama sopir yang mengemudi waktu itu, lalu pergi meninggalkan mu sendiri dan menitipkan mu pada sahabatnya, lalu dua minggu kemudian ayah bercerita kau ada di rumah sakit karena jatuh dari tangga” ucap Bagas melanjutkan ceritanya. “Apa kalian tahu apa penyebab atau siapa yang melakukannya sampai aku terjatuh?” tanya Naya. Bagas menggelengkan kepala tanda ia tak tahu tapi berbeda dengan ibunya, matanya melebar seakan teringat sesuatu. “Tunggu” ucap ibu Bagas terjeda, ia terdiam sejenak guna menyakinkan lagi ingatannya. “Tidak lama setelah non Naya jatuh, suami ku pernah bercerita padaku bahwa ia mendengar rumor bahwa ada seseorang yang ingin mencelakai nona” lanjut ibu Bagas. Naya mengerutkan kening bingung. “Siapa?” tanya Naya singkat Ibu Bagas menggeleng lemah, “Aku tidak tahu, kata suamiku sejak orang tuamu meninggal suasana rumahmu menjadi dingin. Membuat para pekerja takut hanya untuk sekedar menyapa atau mengobrol sebentar saat istirahat. Jadi suamiku tak sempat untuk mengetahui siapa yang berusaha mencelakai nona” Naya menghela nafas, informasi yang ia terima tidak memberikan kelegaan malah justru menimbulkan pertanyaan baru. “Lalu apa alasan kalian mencurigai kematian pak Dadang adalah sebuah pembunuhan?” tanya Naya penasaran. “Beberapa hari sebelum ayah pergi ia terlihat gelisah, tapi tak mau bercerita pada kami. Lalu sehari sebelum ayah pergi ia menerima telfon, kami tidak tahu pastinya apa yang di bicarakan, dari yang kami dengar mereka membicarakan mu dan orangtuamu. Lalu setelah itu ayah terburu-buru bersiap-siap seperti akan pergi. Tapi sebelum pergi ayah menitip pesan pada kami, ia meminta kami untuk saling menjaga satu sama lain, karena sepertinya ia tak akan bisa pulang” cerita Bagas terjeda, ia pun menghirup nafas sebelum melanjutkan lagi sedangkan ibunya di samping mulai kembali terisak menangis. “Kami tanya kenapa, ayah bilang baru saja salah satu temannya yang sama-sama bekerja di rumahmu mengingatkan nya untuk segera pergi menyelamatkan diri, tapi ayah menolak ia bersikeras untuk menyelamatkanmu dari orang-orang licik yang berusaha mencelakaimu, ayah bilang ia ingin membalas semua perbuatan baik yang di lakukan ayahmu pada kami yaitu dengan menyelamatkan mu” pungkas Bagas mengakhiri ceritanya. Naya terkejut, ia terharu dengan niat ayah Bagas, namun masih ada yang mengganjal di fikirannya. “Apa yang membuatmu yakin bahwa keluarga Dharmendra yang membunuh ayahmu?” tanya Naya. “Ayah di temukan berada di dasar jurang dengan dua temannya yang lain, tak jauh dari tempat mereka di temukan terdapat mobil yang terbakar. Hanya berdasarkan dua hal itu polisi menyimpulkan kecelakaan mobil, padahal jika di teliti lebih lanjut lokasi daerah jatuhnya mobil tidak ada kaitannya sama sekali dengan tiga orang yang ada di dalam. Daerah itu bukan kampung halaman atau tempat sanak saudara, jadi untuk apa ayah dan dua temannya pergi ke tempat yang tak ada kaitannya dengan mereka sama sekali. Apalagi dengan ucapan ayah sebelum ia pergi semakin menguatkan dugaan kami” jawab Bagas. “Awalnya dua keluarga lain yang merupakan keluarga teman ayah yang sama-sama menjadi korban, juga sama menolak pernyataan polisi. Mereka juga meminta untuk penyelidikan lebih lanjut, bahkan salah satu keluarga itu mengancam polisi bahwa mereka memiliki bukti sah bahwa kecelakaan itu merupakan suatu pembunuhan. Tapi seminggu kemudian keluarga yang memiliki bukti tersebut mencabut permintaan penyelidikan nya, dua hari kemudian keluarga yang satunya lagi pun menyusul mencabut pengaduannya. Hal itu membuat ibuku dan aku curiga, ketika kami tanya mereka enggan memberikan alasan. Hingga aku berhasil memaksa salah satu anggota mereka untuk menceritakan alasan pencabutan pengaduan mereka” jeda cerita Bagas. “Apa alasan mereka?” tanya Naya penasaran. “Mereka bilang, mereka di ancam dan bukti yang mereka miliki pun di rebut paksa. Awalnya orang itu tak ingin mengatakannya karena takut, tapi dengan sedikit ancaman ia pun akhirnya mengaku. Yang mengancam dan merebut buktinya adalah orang-orang suruhan keluarga Dharmendra” jawab Bagas membuat Naya terkejut. “Tidak mungkin” ucap Naya. “Kami juga terkejut waktu itu, kami berfikir orang-orang licik yang di maksud ayah sebelum ia pergi adalah keluarga Dharmendra. Karena kami tak kunjung mencabut pengaduan penyelidikan ulang kami mendapatkan teror, selama ini juga kami di ancam dengan pesan-pesan teror untuk segera mencabut pengaduan kami, tapi kami mengabaikannya , sampai pengaduan kami tak terurus seperti sekarang” ucap Bagas. Naya terkejut, ia tak percaya, jika ucapan keluarga Bagas adalah fakta maka dugaan Atharya selama ini adalah benar. “Apakah aku bisa mempercayai kalian?” tanya Naya. “Percayalah pada kami, kami mengatakan yang sebenarnya” ucap Bagas yakin, ibunya pun mengangguk di sampingnya. Naya tak sanggup menerima semua fakta yang ia terima, ia berniat pergi. “Sepertinya semua yang ingin aku ketahui sudah terjawab, bolehkah aku pulang sekarang?” tanya Naya sopan merasa sedikit tidak enak. “Non Naya ingin pulang sekarang?” tanya ibu Bagas lembut, Naya mengangguk mengiyakan. Ibu Bagas mengerti, mungkin Naya terlalu kaget dengan semua fakta yang baru saja ia terima. “ Minum dulu tehnya sebelum pulang nona” pinta ibu Bagas. Naya pun menuruti, ia mengambil segelas teh yang ada di depannya, meminum setengah lalu meletakkan ke meja kembali. “Sudah buk” Ibu Bagas tersenyum “Mari akan kami antar ke depan pintu” ucapnya. Mereka pun berdiri menuju ke pintu depan mengantar Naya pulang. Sebelum pergi Naya berbalik pamit dan mengucapkan terima kasih. “Terima kasih ibuk dan juga Bagas yang sudah mau menerima saya, maaf jika saya banyak merepotkan di sini” ucap Naya. “Tidak nona, justru kami senang bisa bertemu dengan anak semata wayang bapak Andika” ucap ibu Bagas lembut. “Apa kau akan langsung memberitahukanya pada Atharya?” tanya Bagas. “Aku akan memberitahukannya segera” jawab Naya singkat. Ia pun mengangguk mengucapkan salam lalu berbalik untuk pulang. Baru lima langkah Naya melangkah, panggilan Bagas menghentikannya. “Naya tunggu” seru Bagas. Naya berbalik berhenti menunggu Bagas menghampirinya, terlihat ibu Bagas masih berdiri di depan pintu menatap heran dengan yang di lakukan anaknya. “Ada apa?” tanya Naya setelah Bagas sampai di depannya. “Bolehkah aku meminta kontak Atharya?” pinta Bagas. Naya mengerutkan kening tak mengerti. “Untuk apa?” “Tujuan ku dan Atharya sama, aku rasa pasti kami bisa bekerja sama suatu saat nanti” jelas Bagas. Naya mengerti, ia pun memberikan kontak Atha pada Bagas. Setelah selesai ia kembali pamit dan berbalik pergi meninggalkan rumah Bagas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD