Tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan.
Pernyataan itu diperkuat dengan alasan kalau perempuan sangat mudah tersentuh hati dan sering abai pada logika. Belum lagi ditambah dengan pepatah 'Cinta karena terbiasa'. Biasanya, dua insan yang terlibat cinta dalam bungkusan persahabatan akan terlihat seperti kucing dan tikus. Atau, justru memang betul layaknya sepasang kekasih.
Namun, sudah dipastikan yang terluka jelas dia yang jatuh cinta.
Setelah itu, muncullah larang-larangan atau kata haram di dalam sebuah hubungan fana yang disebut 'friendzone' seperti; 1.) adakah yang lebih sakit dari mencintai orang yang selalu menceritakan semua tentang pasangannya padamu? 2.) Jangan coba-coba jatuh cinta pada sahabatmu, karena terkadang kamu lupa membedakan jujur dan dusta. 3.) Kamu punya friendzone? Sini, tenggelamkan saja!
Dan, masih banyak lagi.
Aku cukup prihatin pada mereka yang mengalami derita itu. Percayalah, cinta memang tumbuh karena adanya masukan energi, pupuk dan vitamin lainnya. Kalau kamu termasuk orang yang rentan dalam mencintai, kusarankan jangan bersahabat dengan lelaki.
Namun, beruntungnya, aku tidak menjadi salah satunya. Sejak dulu, aku memang selalu memiliki teman lelaki paling tidak dua. Anehnya, Ayah tidak pernah marah. Justru, dia tidak akan mengizinkanku pergi bersama teman kalau tidak ada minimal satu makhluk bersperma. Katanya, lelaki diciptakan Tuhan memang sebagai pelindung.
Sama seperti lelaki yang sekarang sedang duduk di depanku. Mengendarai Scoopy putih kesayangan dengan kecepatan yang mungkin setara Rossi. Dia Tara. Tara Pradipta. Anak ibu kos yang sudah kukenal dari zaman mahasiswa. Pagi ini, dia sengaja kubangunkan untuk mengantarku---yang bangun agak telat karena dalam masa menstruasi---ke kantor.
Satu yang spesial dari Tara; dia selalu menuruti apapun mauku.
Bahkan, permintaanku agar dia tak memilih kekasih sebelum aku menghilangkan gelar single.
"Bintang tamunya ntar malem siapa, Kay?"
"Apa?! Nggak denger. Nggak usah ngomong. Nanti aja pas sampe parkiran."
Dia nurut. Tetap fokus pada jalanan yang dipenuhi oleh pengendara motor berjaket hijau. Aku tersenyum. Indonesia ini sebetulnya inovatif. Namun, hasil dari inovasi itu sering kali menimbulkan masalah. Pihak digital akan beradu argumen bahkan saling serang fisik dengan pihak konvensional.
Tak mengapa.
Nanti juga lama-lama semua akan indah pada waktunya. Kalaupun nggak indah sekarang, mungkin memang belum waktunya.
"Turun."
Menurut, aku melepas helm dan memosisikannya di bagian depan jok. Disusul jaket yang kemudian kumasukan ke dalam bagasi. Kulihat, Tara melakukan hal sama, tetapi dia tetap menyisakan jaketnya.
Sambil menyisir rambut cepak itu, dia memandangku. "Nanti malem mau dijemput?"
"Enggak usah. Ini bintang tamunya aku nggak kenal. Biasanya, kalau agak nggak waras bakal bikin masalah dan berujung aku pulang telat karena harus dengerin Bang Jovi ngoceh dulu."
Kepalanya ngangguk. Itulah Tara. Tak banyak bicara. Kebanyakan malas. Kadang, aku sudah begitu memperlihatkan euforia ketika bercerita, dia hanya diam. Diam yang memang tidak mendengarkan karena menurutnya banyak hal yang keluar dari mulutku itu nggak penting.
Ouch, dia memang terkadang menyakitkan.
"Ta!"
Sudah beberapa langkah menjauh dariku, Tara berbalik badan. Mengangkat sebelah alisnya. Bertanya hanya lewat ekspresi wajah.
"Bentar. Tunggu." Dengan cepat, aku mengunci motor dan memasukkan benda kecil itu ke dalam ransel. "Banker kece nggak boleh datang ke kantor dengan dasi kayak gini." Aku berdiri di depan tubuh tegapnya. Memerlukan sedikit tenaga untuk mendongak agar bisa saling pandang. "Nanti pasti makin keliatan jomlonya. Hih, nggak banget."
Tara cuma diam.
Aku sih sudah biasa. Jadi, bukan perkara yang harus diperundingkan. "Kalau nggak rapi, nanti di busway yang harusnya ada dia sebagai jodoh lo, eh karena lo nggak rapi, dia jadi males. Kan sayang."
Barulah, dia mendengus. "Yang ngelarang gue cari cewek siapa?"
"Gue."
"Yang egois siapa?"
"Gue."
Aku menepuk area samping dasi, tersenyum bangga.
"Berarti yang enggak banget siapa?"
"Gue sih." Aku nyengir. "Tapi yang mau nurut siapa?"
"Gue."
"Yang nggak komplain siapa?"
"Gue."
"Berarti yang g****k siapa?"
"Elolah!" ucapnya. Sambil kembali berjalan mendekati lift. "Nanti malem gue nggak pulang."
Kami masuk ke lift. Dia nekan lantai satu, sementara aku ke lantai empat. "Mau ke mana?"
"Main futsal."
"Sampai subuh banget apa?"
"Nggak tahu. Nggak mungkin abis main langsung balik. Pasti ngobrol dulu."
"Sok asyik."
Dia cuma mengendikan bahu. Keluar lift dan berjalan ke keluar lobi, tanpa pamit. Ck. Aku memperhatikan tubuh tingginya berjalan, sebelah tangan menenteng helm.
Dia adalah sahabat lelakiku.
Berperan sebagai ayah selama aku hidup di Jakarta. Rela mengantarku ke kantor dan dia harus membawa helm itu ke kantornya hanya karena aku kesulitan membawa dua helm. Rela menghabiskan waktu liburnya menemaniku menikmati donat kesukaan. Dan rela menyendiri hanya karena aku pun belum menemukan yang pas untukku.
"Woy, Kay, ditungguin rundown buat malam ini mana!"
Aku tergopoh-gopoh, membuka ransel dan mengeluarkan rundown bertajuk 'Aktor dan Aktris Baru dan Berbakat'. Tumben asisten Bang Jovi nggak terlihat di sekitaran, biasanya suaranya paling besar. Mungkin lagi di MCR. Di hadapanku, Bang Jovi mendengarkan dengan saksama ulasan kami mengenai konsep dan urutan acara nanti malam. Jarak beberapa langkah di samping kami, ada Amy, Ilana dan Farah sedang sibuk mempersiapkan properti.
"Jadi, cocoknya Chelsea sama Ivana ini masuk di segmen empat." Nira mengimbuhkan. "Karena kan satu segmen sebelum Al muncul, udah dibagi sama opening host dan segala basa-basinya. Jadi, dua segmen setelahnya khusus Al dulu nggak masalah sih, Bang."
Angkasa mengangguk yakin. "Nah, nanti kan waktu segmen tiga sebelum break, Gista tanya ke Al, ada kenalan nggak aktris baru Indonesia. Gitu. Baru deh, Chelsea dan Ivana muncul."
"Tepat!" Aku menaik -turunkan alis. "Dan di segmen enam, mereka bertiga main games memerankan karakter yang nanti bakalan diundi. Kita udah siapin kertas kocokan. Semuanya sudah ready, kok, Bang Jovi."
"Oke. Tinggal nunggu Nayla nih mastiin bintang tamu datangnya jangan mepet. Alasan macet lagi. Basi banget."
Kami bertiga tertawa serempak.
"Band udah disiapin, Kay?"
"Sudah."
"Wardrobe udah ready, Nir?"
"Beres, Bang."
"Paper party, makanan dan minumannya udah siap, Sa?"
"Siap dong, Bang! Beres."
"Oke, good. Sekarang lanjutin kerjanya. Properti disiapin, dan kita tunggu kabar dari Nayla."
"Laksanakan!"
***
"Anjrit! Si Al baru bangun tidur dan dua jam lagi on air!"
Nayla ngamuk sambil jalan ke sana-sini. Ponsel itu sama sekali nggak lepas dari tangannya.
Aku dan Nira saling pandang dan mengerutkan alis bingung. "Masa artis baru belagu deh, Kay?"
"Tahu deh. Saudaraan sama Manoj Punjabi kali. Jadi ngerasa tetap bakalan dapet job."
"Kay! Sini cepetan, help me!"
Aku tersentak. Langsung berdiri, meninggalkan Nira yang lagi bacain naskah. Sementara di ujung sana, Farah lagi briefing Gista. Lihatlah, bahkan host kami sudah datang jauh dari waktu on air. "Kenapa, Nay?"
"Lo bawa motor, kan?"
"Bawa."
"Selain lo yang bawa motor siapa?"
"Asa. Yang lain kan Pejuang Gerbong banget."
Nayla menolehkan kepala ke sana-sini. "Gue bisa diamuk sama Bang Jo ini." Mukanya langsung kelihatan merah banget. Pasti menahan marah itu nggak enak rasanya. "Asa mana sih?"
"Dia kan lagi jemput Inava sama Chelsea dilobi. Barengan sama Amy."
"Yaudah kalau gitu lo aja deh."
"Gue? Ngapain?"
"Jemput Al di rumahnya."
"HAH? GILA APA LO!"
Demi Tuhan TrendTv bisa mendapatkan dana dalam hitungan milyar atau bahkan triliun, tetapi kenapa harus aku yang jemput makhluk sombong satu itu? Memangnya dia siapa? Reza Rahadian? Zedd?
Bukan!
"Kayshilla. Udah nggak ada waktu. Kalau gue suruh sopir buat jemput, dia bakalan lama. Kantor nyediain mobil bukan motor. Dan, para sopir TrendTv nggak ada yang muda. Semua susah buat ngebut." Napasnya memburu. Aku tahu, Nayla pasti sangat panik, tapi ... jemput Al? Ouch, kurasa aku sudah nggak waras. "Sekarang, Mamanya bilang Al lagi mandi dan Mamanya lagi nggak di rumah. Kalau kita nunggu dia datang pakai mobilnya, kita nggak bakalan on air. Sunter ke JakPus makan waktu setengah jam kalau nggak macet. Lebih cepet kalau naik motor, Kay."
"Go-Jek nggak membantu kah, Nay?"
"Kay. Please, ini bukan tentang gue atau pun elo. Ini tentang BC. Hidup dan mati kita. Kalian lembur buat apa kalau cuma gara-gara kepiting busuk itu semuanya jadi kacau?"
Ouch, Nayla jelas bukan lawan debat yang mudah.
"Kay, sekali ini aja. Tugas lo mau ngapain? Biar gue deh yang gantiin."
"Lagi nyiapin cue card."
"Itu gampang! Percuma ada cue card kalau yang mau ditanya nggak ada! Buruan sana! Hati-nati, Kay!"
Dengan lesu, aku mengangguk pasrah. Tuhanku, lindungi acara kami dari makhluk sombong bernama Al itu. Kumohon. Baru akan keluar dari ruang studio, suara Nayla kembali terdengar. "Apa lagi sih, Nay?" Aku lama-lama kesal. Sudah dijadikan kambing hitam, benar-benar merasa kacung dadakan.
Nayla merinhgis. Menyerahkan rundown. "Sekalian, lo briefing dia dulu, Kay. Biar sampai sini, kalau-kalau macet kan.... jadi dia udah nggak b**o lagi."
Aku menyambar kertas itu dan mendengus saat Nayla berteriak 'I LOVE YOU'
Tidak butuh ucapan cinta, aku hanya ingin yang namanya Al itu enyah dari dunia.
Menyusahkan.
Sekitar empat puluh menit; melewati kemacetan Jakarta meski masih lima sore. Menahan kesal setengah mati, akhirnya aku sampai di depan rumah yang sejujurnya sampai mati nggak sudi aku datangi lagi.
Apalagi bertemu pemiliknya.
Itu harusnya jadi daftar terakhir dalam hal yang kuinginkan. Atau, malah nggak masuk daftar sama sekali.
"Lho, ini Mbaknya yang waktu itu? Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya mau jemput si Somb---maksud saya mau jemput Al, Pak. Udah ada janji kok."
"Oh oke, silakan masuk."
Ini kunjungan kedua ke rumah ini dan semoga tidak ada ketiga-keempat dan lainnya. Kemarin saja waktu Asa memintaku yang mengirim hasil video ke sini aku beralasan bertengkar dengan ibu kos dan harus pulang detik itu juga. Namun, ini malah terang-terangan aku memangsakan diri.
"Siang. Cari siapa, Mbak?"
Oh, s**t. Betapa banyak pertanyaan itu?! Aku menahan napas, mengembuskannya perlahan. Seorang perempuan dengan usia kisaran 30-an masih tersenyum ramah. "Saya cari Al, Mbak. Dia udah siap buat on air kan?"
"Oh, iya iya. Masuk dulu, Mbak. Duduk. Saya panggil Mas Alnya dulu."
Aku ngangguk dan duduk di sofa ruang tamu. Rumah sebesar ini kenapa terasa sangat sepi. Di mana keluarga lelaki sombong itu?
"Hai ... lah, elo? Ngapain?"
Ngapain dia bilang? Aku memaksa senyuman seapik mungkin. "Jemput lo."
Seketika dia terbahak.
Aku berdiri tegak, memandangnya tak percaya. "Excuse me?"
"Ngapain jemput gue?"
"Ngapain lo bilang? Tahu enggak ini udah jam berapa? Satu jam lagi on air. Kalau lo bisa nyetir ala Rio Haryanto sih nggak masalah."
"Tapi sopir gue jauh lebih baik dari elo. Jadi santai aja. Gue bukan orang yang suka seenaknya kok."
Kali ini, gantian aku yang tertawa. Dia sangat lucu. Right. Menjijikkan.
"Sorry?"
Aku memandangnya serius. "Dalam tiga puluh menit, sopir lo bisa sampe di Trend? Sekadar informasi, naik motor dengan kecepatan 80 km/jam aja gue butuh empat puluh menit. Waktu yang tersisa nggak banyak. Dan, lo belum di-briefing sama sekali."
"Lebay banget sih lo. Talkshow doang. Udah biasa kali. Palingan juga pertanyaannya pasaran kayak biasa."
"Maaf?" Tanganku sudah mengepal kuat di samping tubuh. "Oke, kalau gitu baca ini rundown-nya. Gue tunggu sepuluh menit harus udah hafal, setelah itu kita berangkat dan sampai sana nggak ada briefing tambahan."
"Kok lo belagak bos?"
"Elo yang kayak bos! Jangan lo berpikir karena lo artis, bisa seenaknya sama kami. Jemput lo kayak gini sama sekali bukan tugas gue. Lo bisa bangun lebih awal, atau naik ojek yang gampang. Tapi, karena lo sok Raja, padahal baru jadi artis kemarin sore, udah belagu."
Matanya memerah. Aku tahu dia mulai kesal atau barangkali sudah siap menelanku hidup-hidup. Namun, siapa yang peduli kalau program yang kamu buat setengah mati diremehkan begitu saja. "Elo ..." ucapnya. Rahangnya masih mengetat, tapi aku sama sekali tidak mengalihkan tatapan sama buasnya. "Cuma karyawan tv aja nggak usah belagu."
"Elo ..." Aku mengikuti gayanya. "Cuma seorang aktor aja nggak usah belagu. Lo pikir pekerjaan lo lebih hebat dari gue?"
"Jangan lo pikir gue nggak berani sama cewek."
"Pikiran gue nggak setolol itu. Karena gue tahu, lo lebih banci dari itu. Nggak ada cowok gentle yang harus dijemput sama cewek cuma buat menuhi janjinya di talkshow. Bahkan, Chelsea sama Inava yang berperan sebagai tambahan aja udah datang dari sejam lalu."
Well, aku nggak tahu ini sudah melewati baatasku sebagai tim kreatif. Namun, demi Tuhan, belum ada bintang tamu yang seperti ini. Kalau pun dia datang lima menit sebelum on air, dia akan merasa bersalah, membaca rundown secepat kilat dan nurut sesuai arahan.
Bukannya arogan begini.
Al nggak jawab lagi, dia merebut kasar rundown dari tanganku, lalu membanting tubuhnya di sofa. Beberapa menit kami hanya diam. Aku duduk di sampingnya, memperhatikan lelaki sombong ini sedang begitu serius.
Siapa pun akan tertipu oleh mukanya yang serius, cool dan tubuhnya yang bagus.
Malam ini, hanya mengenakan kemeja Hawaii saja dia sudah terlihat sangat menawan. Namun, sayang, semua itu tak ada artinya kalau sifatnya seperti itu.
"Yang ini maksudnya gimana?" Suaranya sudah kembli normal. Mukanya terlihat benar-benar bertanya.
Aku ingin mengejeknya, tetapi urung karena waktu semakin mepet. "Itu bagian games. Jadi, nanti lo bertiga bakalan akting sesuai karakter yang kalian dapetin dari kertas kocokan."
"Apa aja tuh karakternya?"
Aku mendengus, dia menaikkan sebelah alis. "Harus relevan dong sama sombongnya. Masa nggak bisa meranin semua karakter."
"Ya nanti lo bikin gue jadi orang kere. Kan enggak gue banget."
"Udah paham semuanya?"
"Pertanyaan seputar apa aja? Nggak ada pembahasan cewek kan?"
"Ya adalah. Cuma kan tinggal pinter lo ngelesnya aja sih. Lagian lo takut banget kenapa sih? Normal kan lo?"
"Nggak usah sok, coba kalau gue tanya tentang kisah asmara, lo bakal jawab gimana?"
"Gue fine aja. Gue bakal jawab, kalau gue emang nggak punya." Dahiku berkerut saat mendengar dia tertawa. "Apanya yang lucu?"
"Nggak ada. Udah. Ayo, berangkat. Mobil lo di man---Oh s**t! Jangan bilang lo naik motor?"
"Lo pikir gue---"
"Permisi, Mas, Mbak. Ini minumannya."
"Duh, Mbak maaf. Kami harus pergi sekarang. Maaf banget yaaa." Aku mengatupkan kedua tangan di depan d**a. "Mbak bisa bawa lagi ke dalam deh."
"Oh gitu.... yaudah. Saya bawa lagi."
"Maaf ya, Mbaaak."
"Iya, nggak apa-apa. Hati-hati, Mas Al perginya. Nanti jangan lupa minum minuman hangat."
Aku berjalan keluar lebih dulu. Sesampainya di samping motor, aku menyerahkan kunci dan dia justru menatapku bingung. "Ambil. Lo yang bawa. Nggak mungkin kan gue bonceng lo."
"Enggak."
"Ya masa gue yang bawa?" Aku sudah hampir menangis karena kesal bukan main. Aku benci berada dalam periode ini. Menjadi sangat sensitif. "Lo nggak punya helm?"
"Ya lo bisa lihat nggak sih di garasi ada motor atau enggak!" bentaknya, cukup keras. Aku sampai mundur selangkah. Dia sangat kasar, aku sudah tahu. "Motor lo tinggal sini aja, kita dianterin sopir."
"Nggak ada waktu lagi, Al!"
"Ya terus lo maunya gimana?!"
"Bawa motor gue! Lo yang pakai helm dan jaket! Biarin gue nggak usah!"
"Gue bilang enggak!"
"Lo kenapa sih, Al?! Bisa enggak kerja sama dikit aja." Aku mengusap air mata. Tuhaaaaan, rasanya sudah di ubun-ubun. Kalau begini, aku hanya butuh Tara. Usapan lembutnya di kepala. "El-elo tuh berengsek tahu enggak." Aku mulai terisak. Mengelap air mata kasar menggunakan punggung tangan. "Nggak ada bintang tamu kayak lo gini. Nggak ada!"
"Lo kenapa sih pake nangis segala?! Di liatin satpam nggak malu apa lo?"
"Gue lagi dapet, Berengsek! Tahu enggak bawaannya tuh pengin nendang lo!"
Al diam. Membuang muka. Kemudian dia kembali menatapku. "Pilihannya cuma dua, lo yang bonceng atau kita diantar sopir. Pilih."
"Nggak ada waktu buat naik mobil, Al!"
"Makanya elo yang bonceng. Gampang kan?"
"Lo kenapa sih jadi cowok jahat banget?"
"Gue nggak bisa nyetir! Puas? Gue nggak bisa bawa motor ataupun mobil. Dan lo, awas aja kalau ember."
Sambil menyusut cairan hidung, aku tertawa. Demi Tuhan, lelaki ini memang kontradiktif. "Seriously? Umur dua tujuh nggak bisa?"
"Bukan urusan lo."
"Oke fine! Gue yang bonceng. Ambil jaket cepetan!"
Sambil mengumpat, dia kembali masuk ke dalam rumah.
Dasar belagu!