"Tidur bersama?" Larissa membeo.
Otak kriminalnya berjalan begitu dia mencerna dua kata di atas.
"Paman tidak takut diterkam, eh?"
Ron mempertegak berdirinya, dia memandang Larissa secara seksama. Wajah datarnya menunjukkan ketidaktertarikan, Ron mendengkus pelan.
"Paman akan tidur di kamar. Jika terjadi sesuatu, segera panggil Paman."
Jenis penolakan. Kesimpulan yang Larissa buat sendiri dari percakapan itu, Paman Ron tidak suka dan tidak tergoda olehnya. Bagus sekali Larissa, kau sudah merendahkan dirimu sendiri dengan cara berpikirmu yang penuh imajinasi. Rancauan Dewi batinnya yang suci.
"Kalau gitu Paman akan tidur sekarang," tuturnya pamit dan kemudian mengambil langkah untuk hengkang.
Larissa mendesah. Pamannya menyebalkan! Dia sudah melambung tinggi tadi, ke nirwana sampai tidak mau turun lagi. Tapi belum genap dua menit, gelembung harapnya pecah tak terbantah.
Salah siapa?
Larissa yang selalu menyimpan harapan tinggi-tinggi, lalu terbawa perasaan sampai lupa daratan.
Atau ...
Paman Ron-nya yang terlalu teguh tak mau membuka hati? Sementara harapan dilimpahkan kepada Larissa yang punya rasa.
Dan kini Larissa melihat si Papan berjalan itu menutup pintu kamar Larissa. Hingga benar-benar rapat barulah Larissa bergerak untuk menidurkan sang baby di kasurnya. Namun, urung sejenak. Pintu itu dibuka lagi.
Ron datang kembali bersama ucapan datarnya sebelum benar-benar pergi. Katanya, "Larissa, daripada diterkam, Paman lebih ke type menerkam. Dan ... tidurlah."
Sempurna.
Malam ini Larissa pasti terjaga sampai pagi.
***
Hal yang Ron alami: jantungnya terasa akan meledak, hati berdebar, wajah yang terasa panas, lalu darah berdesir hebat. Diputuskan, besok Ron akan mengunjungi dokter spesialis jantung hati, pasti ada yang salah dengan organ pemompa darahnya.
Ron pun memasuki kamarnya. Dia membuka atasan tidurnya, membiarkan kulit tubuh bagian atasnya terekspos. Dia terbiasa tidur tanpa baju. Kebetulan, dia merasa gerah sekarang.
Mengingat tentang: type menerkam. Ron mendengkus, apa yang sudah dia katakan?
"Jaga fokusmu, Ron..." Menggumam sambil menutup mata dengan lengan. Dia berusaha untuk tetap tenang, jantungnya masih saja bekerja gila-gilaan.
"Rumah sakit, operasi, ruang pemeriksaan, USG, ibu hamil, melahirkan." Ron mengabsen kegiatan hariannya agar dia lupa dengan apa yang sudah lisannya katakana tadi. "Rumah sakit lagi, operasi lagi, ruang pemeriksaan lagi, USG, ibu hamil, Larissa dan bayi--"
Terlalu licin. Ron menggeram. Dia tidak boleh seperti ini, dia harus punya pengalihan, jangan biarkan sesuatu menguasainya secara berlebihan.
Meskipun benar dia berniat menikahi Larissa nanti. Namun, bukan berarti hari-harinya boleh penuh oleh gadis kecil itu.
Ron berusaha keras untuk terpejam. Lalu bagaimana jika dia tidur lelap sampai tak bisa mendengar panggilan Larissa atau tangisan bayi?
Itulah alasan mengapa Ron melesat dari kamarnya dengan tangan kanan menjinjing selimut dan yang kiri memeluk bantal, dia akan tidur di sofa. Sebuah benda yang beratnya lumayan itu Ron pindahkan di dekat kamar Larissa, agaknya ini terlalu berlebihan.
Dan Ron lalukan.
***
Larissa mengerang, sinar pagi menerobos tirai jendela kamarnya, mengusik tidur cantiknya.
Ternyata dia salah, malam ini Larissa tidur nyenyak sekali sampai tak sadar kapan bayinya pergi--bencana!
"Baby!"
Larissa beringsut turun dari ranjangnya. Dia mencari-cari keberadaan si baby. Nihil.
"PAMAN!" Sambil bergegas keluar kamar, dia cemas.
Dengan rambut acak-acakan menyerupai singa jantan, lalu wajah bantal dan baju tidur doraemonnya Larissa menjelajah rumah, kemudian dia menemukan Ron di dapur.
"Paman, gawat! Bayi kita--maksudku, bayinya hilang!"
Pagi-pagi Larissa sudah heboh sekali. Dia cemas berlebih, bagaimana kalau nanti Paman Danu menanyakan bayinya? Yang lebih menakutkan lagi, bagaimana kalau Paman Ron menilainya tidak becus jadi ibu? Dan kemudian--
"Dia ada padaku." Vokal ringan Ron sambil berbalik menghadap Larissa. "Lain kali kita belanja perlengkapan bayi, agak sulit menggendongnya tanpa kain sambil membuat roti selai."
Napas yang semula berat, kini berembus melegakan. Larissa bertopang pada meja makan yang letaknya berada di kawasan dapur.
"Paman ..." Larissa melirih.
Ron berjalan mendekati setelah sebelumnya dia meletakkan sehelai roti.
"Aku hanya menyediakan roti selai untuk kita sarapan."
Makin lemas tubuh Larissa. Perempuan macam apa dia membiarkan laki-laki bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan, dan merawat bayi? Astaga ukhti! Reputasinya sangat buruk. Larissa sedih, dia gagal menjadi wanita.
"Kenapa menangis?" Masih saja santai. Ron tepat berdiri di depan ponakannya. "Bayi kita tidak hilang."
Larissa terisak, tapi kini dia tertegun. Bersemu lagi, berharap lagi ...
"Aku akan menyuruh Alora ke sini, dia pandai merawat anak kecil."
... dan terjatuh lagi.
Tiap kali nama Alora terucap dari bibir pamannya, hati Larissa berantakan. Seolah-olah yang jadi semesta di hati Paman Ron adalah Alora.
"Tidak perlu." Larissa merampas bayi kecil yang Ron gendong. "Aku bisa sendiri." Dan Larissa menatap tajam sang paman. "Bahkan tanpa Paman."
Larissa langsung masuk ke kamarnya, dia mengunci rapat pintunya. Menyisakan Ron yang mengerjap di sana.
Ada yang salah?
***
Gadis yang baru menginjak usia dewasa memang membingungkan. Karakter remaja yang kekanak-kanakannya masih terbawa-bawa.
Ron mendesah melihat segiras apa ponakannya saat memasuki kamar lalu mengunci, tanpa membiarkan dia mengikuti. Jadi, Ron tak bisa memasuki Larissa. Typo, memasuki kamar Larissa maksudnya.
Lalu tatapan Ron beralih pada dua helai roti yang dia siapkan untuk sarapan. Gagal sudah rencananya yang akan meringankan beban Larissa di pagi hari setelah ada bayi.
"Dia sensitif sekali," gumamnya. Membiarkan Larissa mengurung diri, Ron memilih sarapan sendiri. Toh, harusnya kalau memang ada sesuatu yang salah, tentu bisa diperbaiki.
Tapi makan sendirian itu tidak nikmat, Ron pun meneguk dalam sekali tandas air dukunnya dan menjauhkan diri dari ruang makan. Lagi pula, di mana sih Bibi Enjum?
Hingga kakinya membawa seluruh raga menuju kamar Larissa. Lalu tangannya mengetuk daun pintu itu berkali-kali.
"Larissa?"
Tidak ada sahutan.
"Larissa Andromeda?"
Masih sama.
"Aku tidak punya banyak kesabaran, bisa kamu buka pintunya?"
***
Saat seorang wanita dikata tak bisa mengurus anak, ketika itulah harga dirinya terinjak. Saat seorang wanita lebih berani bilang cinta, ketika itulah penolakan pria melukai egonya. Lalu di saat seorang wanita memberi kode-kode soal rasa, ketika itulah ketidakpekaan lawannya membuat lara.
Ah, seribet itulah seorang wanita. Terlebih, wanita itu adalah Larissa Andromeda. Dia tidak terima.
"Kukatakan sekali lagi, buka pintunya!"
Itu suara datar yang penuh perintah dari luar. Di dalam kamar Larissa mendengkus, dia sedang bermain dengan bayi kecilnya. Jari telunjuk Larissa digenggam erat oleh sang baby.
"Larissa."
Baiklah, tidak tahan lagi. Larissa pun beranjak untuk meraih kenop pintu.
"Ada apa?" Dia suguhkan raut judesnya.
Saat itulah Ron bisa melihat wajah Larissa yang sembap, agaknya Ron mengeryit, tapi dia tidak mempertanyakannya.
"Ayo sarapan."
Bola mata Larissa diputar malas. Menyaksikannya, Ron melotot samar. Gadis kecil itu kenapa?
"Hari ini kamu kerja pagi, kan?"
Larissa bersedekap d**a, lalu berkata jengkel. "Tidak bisa, ya, jadikan aku ibu rumah tangga saja?!"
Ron paham betul karakter ponakannya, dia terkekeh. "Cepatlah sarapan, biar Paman yang jaga bayinya."
Larissa semakin jengkel saja. Ucapan seriusnya diabaikan, selalu diabaikan, sama seperti kalimat pernyataan cintanya.
"Tidak mau." Tak peduli dengan keberadaan Ron, Larissa pun berbalik menuju ranjangnya. Dia kembali sibuk dengan bayi yang belum diberi nama.
Bahkan Larissa tidak peduli sekalipun kini Ron duduk tepat di sampingnya. Menoel-noel punggungnya dengan satu jari, mencoba meminta perhatiannya.
Terserah. Larissa tetap tidak mengacuhkan eksistensi sang paman. Dia tengkurap dan bertopang dengan sikutnya, lalu sesekali mencium pipi gembul bayi yang malang itu.
Hal yang membuat Ron kesal, tak dilirik sama sekali oleh Larissa. Maka Ron dengan gemas meraba punggung gadis kecil itu, menemukan sesuatu yang dia cari dan ditariknya tali bra dari luar baju yang Larissa kenakan.
Sebelum Larissa mencegah, tapi suara jepretannya mengudara cukup nyaring.
"PAMAN!" Dia langsung berbalik dan duduk menghadap pamannya, mata Larissa mendelik keki. "Sakit, tahu!"
Mimik Ron setia tanpa ekspresi, seakan tak merasa bersalah sama sekali, tapi tak bisa disembunyikan, ada semburat merah di dua pipinya. Tetap, Larissa marah. Tidak tahu saja kalau pakaian yang dikenakannya di dalam itu masih baru, ketat, dan ketang.
"Cepat sarapan." Justru itu yang Ron ucapkan. "Lambungmu bermasalah jika telat makan."
Terlalu perhatian, Larissa takut salah dalam mengartikan. Padahal pamannya itu tahu, jika cintanya masih ada sampai detik ini. Ditolak, tapi dibiarkan. Terkadang, Larissa merasa diberi kepastian dan tak ada kepastian di saat bersamaan.
"Baiklah." Larissa menyerah, perasaannya terhadap Ron sudah menginjak di titik puncak kebucinan. "Aku makan."
Ron pun melengkungkan bibirnya satu mili saat melihat pergerakan Larissa yang turun dari tempat pembaringan. Namun, sebelum Larissa sempat menginjak lantai dengan kakinya di pijakan ke dua, Ron menahannya.
Sehingga Larissa mengeryit dan menatap bingung pamannya.
Detik itu, Ron berdiri. Tangan kiri yang memegang lengan Larissa tak dia lepaskan sebelum tangan kanannya bergerak memasuki baju tidur Larissa.
Melotot adalah hal yang Larissa lakukan.
"Maaf." Ron mengusapnya, punggung yang dia sakiti tadi. "Aku tidak tahu kalau itu menyakitkan."
Vokal datar tak berirama, tanpa nada, dan frekuensi tetap, begitu saja bulu kuduk Larissa berdiri. Dia refleks mendorong tubuh pamannya dan langsung berlari.
Bisa gawat, jantungnya bisa benar-benar tinggal riwayat.
Sementara Ron, lagi dan lagi, menatap Larissa dengan pertanyaan: Apa yang salah?
***
"Apa kita harus mengunjungi Ron?"
"Tentu, Sayang. Kita perlu memastikan kandunganmu."
Livia Aristha, istri sah dari seorang Kairul Zulion. Mereka berjalan beriringan di pelataran rumah sakit ibu dan anak, tempat di mana Ron bertugas.
"Tapi kita sudah mengeceknya dengan alat tes kehamilan."
Kai menggeleng. "Itu saja tidak cukup, Liv."
Namun, saat tiba di depan suster yang ... kalau saja rumah sakit adalah perusahaan, maka suster itu jabatannya seperti sekretaris.
Begitu Kai hendak daftar dan menunggu antrian di depan ruangan Ron, dia bertanya yang suster jawab dengan, "Dokter Ron belum datang, belum masuk pada jadwalnya. Pagi ini bagiannya Dokter El, Pak."
"Oh, tidak." Livia menoleh, suaminya berucap melanjutkan, "Kira-kira jam berapa bagian Dokter Ron?"
"Sekitar jam dua siang sampai jam tujuh malam."
"Kalau begitu, besok kami akan ke sini lagi." Kai pun mengajak Livia hengkang dari sana setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih pada suster jaga.
"Harus Dokter Ron?"
Kai mengangguk ringan. Livia penasaran. "Kenapa?"
Seringaian Kai pun terbit menyebalkan. "Hanya ingin pamer saja, siapa tahu dia mau menikah setelah mendengar kabar kita."
Sebab Livia dan Kairul Zulion
Mereka adalah salah satu dari sekian banyak alasan Ron menghindari pernikahan.
***
"Paman, cepatlah!"
Tak tahan lagi, Larissa mendesah gelisah. Bayi kecil mereka menangis hebat karena lapar, dan Ron lah yang turun tangan membuat susunya. Untung dia shift siang. Sedangkan Larissa cuti bekerja.
Hari ini mereka sibuk merawat bayi, seperti pada momen Larissa sarapan lalu mandi, Ron yang menemani sang baby. Kemudian saat Ron yang mandi, Larissa lah pengganti perannya dalam menemani bayi. Ada pula adegan di mana Ron yang memandikan bayi, karena Larissa belum bisa. Jadi, perempuan itu hanya memerhatikan saja.
Sebenarnya pagi-pagi sekali sebelum membuat dua lembar roti selai, Ron sudah memberi nutrisi kepada bayinya. Tapi sekarang sepertinya lapar lagi.
"Ini," kata Ron sambil menyodorkan s**u bayi kepada Larissa.
"Paman, setelah kupikir-pikir, kita harus memberi nama pada bayi ini."
Keberadaan mereka di ruang TV, Larissa duduk di pojok sofa yang diikuti Ron dua jengkal di sebelahnya.
"Apa nama yang bagus untuk bayi laki-laki?"
Larissa membalas dengan raut berpikir, dia sudah mempertimbangkan banyak nama sepanjang cita-citanya yang menjadi istri Ron.
"Bagaimana kalau Archer?"
"Archer Fahlevi?" ulang Ron. Larissa pun mengangguk semangat, itu adalah nama impian Larissa untuk anaknya yang ke enam dengan sang paman. "Yap, Baby Ar."
"Baiklah." Ron mengangguk, lalu tangannya terulur mencolek pipi gembul Archer. "Archer Fahlevi namanya."
Hanya seperti itu, sesederhana itu hati Larissa berdebar, dia bahkan melupakan fakta bahwa sebelumnya dia sedang cemburu, marah, dan kesal. Rupanya cinta itu sesuatu yang tak mudah untuk membenci seseorang sekalipun orang itu telah menyakiti.
Hal yang Larissa sadari, dia tidak bisa berlama-lama marah kepada pamannya, adalah hal yang menyebalkan. Mutlak, bucinnya hakiki.
"Oh ya, Paman."
"Hm?"
"Apa Paman mencintai Alora?"
Larissa nekat ingin tahu.
***