Bagian 9
"Kok kamu lihatin aku seperti itu sih, Sandra? Apa jangan-jangan kamu mengira aku ini pelakor?" tanya Nia, balas menatapku dengan tatapan tajam juga.
Tuh kan, aku hanya menyindirnya saja, Nia sudah merasa. Ternyata ia sadar bahwa dirinya adalah pelakor yang menginginkan suami dari sahabatnya sendiri.
"Aku 'kan tidak menyebut namamu, Nia! Kok' kamu jadi nyolot gitu! Apa jangan-jangan memang benar bahwa kamu itu seorang pelakor?" balasku tak mau kalah.
"Aku bukan pelakor ya," sangkalnya.
"Sudah-sudah, kalian ini seperti anak kecil saja. Kita lagi sarapan, loh," sahut Mas Ilyas. Ia terlihat kesal mendengar perdebatanku dengan Nia.
Nia langsung menyudahi sarapannya. Ia langsung berlari ke kamarnya. Seperti biasa, saat aku adu mulut dengannya, ia pasti akan menghindar. Ia akan berpura-pura sedih dan menangis agar Mas Ilyas membelanya dan menyalahkanku. Aku sudah tidak peduli, yang jelas, aku tidak bisa berpura-pura baik di hadapan orang yang telah menusukku dari belakang.
"Sandra, Mas bosan lihat kamj dan Nia berdebat terus. Bisa nggak, kalian rukun aja, Mas pusing lihatin kalian," keluh Mas Ilyas padaku. Ia juga menyudahi sarapannya, sama seperti Nia, padahal sarapannya belum habis.
"Loh, Mas! Siapa yang berdebat, sih? Nia 'kan tadi nanya aku lagi diet atau nggak, ya aku jawab begitu. Kurasa nggak ada yang salah dengan jawabanku. Dia nya aja yang nyolot. Masa iya sih, Nia merasa tersinggung. Aku hanya bilang bahwa aku ingin menjaga penampilan agar suamiku tidak diambil pelakor, itu saja! Nggak mungkin dia tersinggung kalau dia tidak merasa seperti itu. Kan aneh!"
"Sudahlah, Sandra. Lebih baik kamu minta maaf padanya. Mas berangkat dulu ya, takut telat!" Mas Ilyas kemudian berdiri dari tempat duduknya. Aku mengekor di belakangnya, mengantarnya sampai ke mobil.
Mas … Mas, bilang saja kalau kamu tidak ingin melihat gundikmu itu terluka hatinya. Kamu selalu menjaga perasaan Nia, sedangkan aku-istrimu sendiri, tidak kamu hiraukan sama sekali. Aku sakit, Mas! Aku terluka, batinku tersiksa. Tapi kamu tidak peduli sama sekali!
***
Aku menatap foto pernikahan kami yang dipajang di dinding kamar. Mas Ilyas begitu gagah dan tampan mengenakan jas hitam. Begitu juga denganku, aku terlihat cantik dan anggun mengenakan kebaya putih tulang, lengkap dengan hiasan mahkota di kepala.
Senyum tulus yang datang dari dalam hati, menandakan bahwa kami merasa sangat bahagia waktu itu.
Siapa sangka, kenyataannya sekarang, rumah tangga kami sudah diambang kehancuran.
Mas Ilyas, orang yang paling kucintai, ternyata sudah berselingkuh dan berzina dengan wanita lain. Ia mengkhianati janji suci di depan penghulu yang telah ia ikrarkan pada saat akad nikah, dulu. Waktu itu, Ia telah berjanji akan setia mendampingiku sampai maut memisahkan, tapi nyatanya janji hanyalah tinggal janji.
Aku mematut diri di depan cermin, melihat wajahku yang masih terlihat cantik, tidak ada bedanya sepeti saat kami menikah dulu. Aku memang rajin melakukan perawatan, selalu menjaga penampilan agar Mas Ilyas tidak melirik wanita lain. Tetapi, semua usaha yang kulakukan sia-sia belaka. Mas Ilyas tetap menduakanku.
Aku harus merasakan apa yang dialami oleh ibu, dulu. Aku harus merasakan sakitnya dikhianati seperti yang dirasakan ibu. Aku tidak menyangka jika nasibku akan sama seperti ibu.
Dulu, ayah mengkhianati Ibu. Ayah berselingkuh dengan wanita lain. Parahnya lagi, ayah membawa wanita itu ke rumah. Karena ibu tidak mau dimadu, ayah marah dan menendang ibu dan aku dari rumah itu. Ayah membuang kami seperti sampah. Padahal, Ibu lah yang mendampingi ayah berjuang mulai dari nol, tapi ayah sama sekali tidak peduli. Mata hatinya telah dibutakan oleh cinta sesaat.
Setelah keluar dari rumah itu, aku dan Ibu hidup di jalanan. Kami memulung, demi untuk mencari sesuap nasi agar bisa bertahan hidup. Ibu berusaha banting tulang, kerja mati-matian, demi menyekolahkanku dan memenuhi semua kebutuhanku.
Untunglah, saat itu kami bertemu dengan Bu Rahma-ibunya Mas Ilyas. Beliau meminta ibuku agar bekerja menjadi tukang setrika di rumahnya. Ibu pun menyetujuinya, walau hanya bekerja setengah hari. Pagi hari, Ibu menyetrika di rumah Bu Rahma, siang sampai sore, Ibu memulung. Ibu melakukan semuanya demi aku.
Aku selalu ikut dengan Ibu ke rumah Bu Rahma setiap hari libur. Dan dari situlah awal mula perkenalanku dengan keluarga Mas Ilyas.
Kenangan pahit itu, masih tersimpan rapi di dalam memori. Aku tidak mau mengalami hal serupa dengan Ibu, yang dibuang oleh ayah seperti sampah yang tak berguna. Ibu selalu berpesan agar aku menjadi wanita kuat dan tegar, sebelum beliau menghembuskan napas terakhirnya.
Ya, aku tidak boleh lemah. Ibu pasti akan sedih jika melihatku seperti ini.
Aku memang hanya lulusan SMA, dan aku bukanlah wanita yang berpendidikan. Tapi aku bisa melakukan hal yang tidak terpikirkan oleh Mas Ilyas sebelumnya.
Biarlah Mas Ilyas mengkhianatiku, tugasku sekarang adalah mengamankan aset yang kami miliki. Akan kupastikan bahwa mereka akan menyesal karena telah berani bermain-main denganku.
***
Aku menyingkap tirai kamar, tanpa sengaja, aku melihat Nia menuju garasi, kemudian mengendarai mobil sportnya.
Tanpa membuang waktu, aku segera mengambil kunci mobil yang terletak di salah satu paku dinding kamar, mengambil tas selempang, kemudian menuruni anak tangga. Untung saja mobil Nia belum jalan, jadi aku masih punya kesempatan untuk mengikutinya. Aku curiga kalau ia akan ketemuan dengan Mas Ilyas, karena ini sudah mendekati jam makan siang.
"Nia, kamu mau ke mana?" tanyaku berbasa-basi.
"Ada janji sama teman," jawabnya sekenanya. "Aku jalan duluan, ya, San. Nggak enak soalnya temen aku udah nunggu dari tadi."
"Aku boleh nebeng mobil kamu, nggak? Soalnya aku juga mau ketemu teman. Oh ya, kamu sama teman kamu janjian di mana? Biar aku suruh temenku ke sana juga."
Nia terdiam, sepertinya ia sedang mencari-cari alasan yang tepat, terlihat dari gerak-geriknya yang mulai gelisah.
"Maaf, Sandra. Temanku nggak biasa gabung dengan orang lain, jadi aku nggak enak sama dia. Udah dulu ya, aku duluan," pamitnya, lalu menghidupkan mesin mobilnya.
Siapa juga yang mau gabung, aku juga ogah! Aku hanya ingin melihat expresinya saja.
Pasti ia mau ketemuan dengan Mas Ilyas. Gerak-geriknya sangat mencurigakan. Lihat saja, aku akan mengikuti kalian.
Aku pun bergegas menaiki mobilku, kemudian menyusul Nia, jangan sampai aku kehilangan jejaknya.
Untung saja, Nia berkendara dengan kecepatan sedang, sehingga aku masih bisa mengikutinya. Kuambil jarak yang tidak terlalu dekat agar ia tidak mengetahui kalau aku membuntutinya.
Aku terkejut saat Mobil Nia berbelok memasuki kawasan perumahan elit.
Aku hapal daerah ini karena aku dan Mas Ilyas memiliki sebuah rumah yang kami beli setahun yang lalu di daerah ini. Kami memang sengaja membelinya untuk berinvestasi.
Aku masih mengikuti mobil Nia, hingga mobil Nia berhenti di depan sebuah rumah yang tidak asing lagi bagiku.
Bersambung