Ketahuan

1100 Words
Bagian 7 "Nia, kamu nggak jadi pergi dari rumah ini?" Aku sengaja menanyakan hal itu di depan Mas Ilyas saat kami sedang makan malam. Nia pura-pura tidak mendengar, ia sengaja mengalihkan pembicaraan. "Mas mau nambah? Sini biar Nia yang nambah nasinya," ucapnya sambil mengambil centong nasi, bersiap untuk menyendok nasi ke piring Mas Ilyas. Nia selalu bersikap seperti itu di depan Mas Ilyas. Seolah ia adalah wanita baik-baik, dan itulah salah satu sikap Nia yang paling kubenci. Satu lagi, suka mencari perhatian dari Mas Ilyas. "Nia, kapan kamu kembali ke rumah suamimu?" tanyaku lagi, karena Nia tidak juga menjawab pertanyaanku. Aku ingin agar Nia secepatnya angkat kaki dari rumah ini. Nia menjatuhkan Sendok ke atas piring, sehingga menimbulkan bunyi dentingan. "Selera makanku mendadak hilang, aku permisi mau ke kamar dulu," ucapnya, Ia langsung mendorong piringnya, lalu mengelap mulutnya dengan tisu. Kemudian membuang tisu tersebut ke atas piring yang masih berisi nasi tersebut. Nia Benar-benar wanita yang tidak mempunyai akhlak dan juga rasa syukur. Sudah diijinkan numpang gratis, malah seenaknya bersikap seperti itu. Ia sengaja menyisakan makanan seenaknya. Ia tidak peduli, ada banyak orang di luar sana yang tidak mempunyai makanan dan tidak sanggup untuk membeli makan. Padahal dulu saat masih menjadi pemulung, Nia sudah merasakan bagaimana sakitnya tidak bisa membeli makanan. Sekarang, ia bahkan sudah lupa semua itu. Astagfirullah … aku hanya bisa mengucap istighfar sambil mengelus d**a. "Sandra, seharusnya kamu tidak menanyakan hal itu saat kita sedang berada di ruang makan seperti ini. Jelas saja, Nia jadi tersinggung," protes Mas Ilyas padaku. Aku sudah menduga bahwa Mas Ilyas akan protes. "Mau sampai kapan Nia tinggal di rumah ini, Mas? Dia masih memiliki suami. Sebaiknya, Nia selesaikan dulu urusannya dengan suaminya. Setelah itu, terserah dia mau ngapain," tegasku agar Mas Ilyas bisa paham. Setelah itu, kami makan dalam diam. Mas Ilyas tidak lagi berbicara, ia fokus menyantap makanannya. *** Tengah malam, Mas Ilyas beranjak dari atas ranjang dengan pelan. Kemudian, ia bergegas menuju pintu dan memutar kenop pintu dengan pelan agar aku tidak mendengarnya. Mas Ilyas tidak tahu bahwa aku memang sengaja menahan kantuk demi untuk menjaganya. Aku tahu, pasti ia akan menemui Nia, dan aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Aku takut jika mereka sering berduaan, maka akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Untuk itu, aku akan selalu mengawasi Mas Ilyas dan tidak akan memberikan kesempatan padanya untuk berduaan dengan wanita itu. "Mau kemana, Mas?" tanyaku saat Mas Ilyas hendak beranjak ke luar kamar. "I-ini loh, Mas ma-mau ngambil minum. Mas harus," jawabnya terbata. Mas … Mas … sampai segitunya dirimu, membohongi istri sendiri demi wanita lain. "Kenapa nggak bangunin aku, Mas? Biar aku aja yang mengambilnya!" Aku menarik tangan Mas Ilyas agar ia kembali ke atas ranjang. Mas Ilyas pun mengangguk, dengan terpaksa ia menurut juga. Aku pun segera menuju dapur untuk mengambil air mineral. Sesampainya di dapur, aku segera mengambil gelas, kemudian mulai menuang air mineral ke dalam gelas tersebut. Namun, tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang. "Mas, aku kangen, Mas!" Tangan itu, melingkar di pinggangku. Nia … ternyata Nia yang memelukku. Ia tidak sadar bahwa aku ini bukanlah Mas Ilyas. Suasana di dapur yang gelap, membuat Nia tidak bisa melihat dengan jelas. Mungkin ia mengira bahwa aku adalah Mas Ilyas. Bodoh, ia tidak mengetahui siapa yang sedang dipeluknya. Aku segera melepaskan rangkulannya di pinggangku dan langsung membalikkan badan. Mata Nia langsung terbelalak saat melihatku. Ia menggeleng pelan sambil menutup mulutnya. "Kangen? Sama siapa, Nia? Sama suamiku?" tanyaku dengan emosi yang bergejolak. Dadaku naik turun menahan luapan amarah yang siap untuk diledakkan. "Sandra, ka-kamu nga-ngapain di sini?" tanyanya terbata. Ia tidak menjawab pertanyaanku, ia justru balik bertanya padaku. "Justru kamu yang ngapain di sini? Ini rumahku, jadi wajar jika aku berada di dapurku sendiri. Sedangkan kamu, ngapain meluk aku dari belakang? Kamu mengira bahwa aku ini adalah Mas Ilyas? Iya? Jawab, Nia!" Nada bicaraku semakin meninggi. Aku sudah tidak kuat lagi. "Bu-bukan begitu, Sandra. A-aku tadi nggak sengaja," jawabnya, masih terbata. Ia menyangkal, tapi aku sudah tahu semuanya. Aku bukan anak kecil yang bisa dibohongi begitu saja. Ternyata hubungan Nia dan Mas Ilyas sudah sampai sejauh ini. Bahkan Nia tidak segan-segan lagi untuk memeluk Mas Ilyas. Benar-benar keterlaluan! "Aku tidak percaya, Nia. Kamu tidak bisa membohongiku." "Sandra, maafkan aku. Aku tadi nggak sengaja, benar deh! Lagian, aku ini kan sahabatmu, aku nggak mungkin tega lah merebut suamimu, seperti nggak ada lelaki lain saja," sangkalnya. Nia meraih tanganku dan mengucapkan permohonan maaf. Tapi aku menepisnya. "Baiklah, Nia. Jika terbukti bahwa kamu menginginkan Mas Ilyas dan berniat menghancurkan rumah tanggaku, maka aku tidak akan mengampunimu," ancamku, membuat Nia mundur beberapa langkah ke belakang, sepertinya ia takut melihat kemarahanku. Ya, selama bersahabat dengan Nia, baru kali ini aku bersikap seperti ini terhadapnya. Kuambil gelas yang berisi air mineral tadi, kemudian meninggalkan Nia yang masih berada di dapur. "Kok' lama sekali?" tanya Mas Ilyas saat aku tiba di kamar. "Iya, Mas, maaf!" Aku langsung menyerahkan gelas yang berisi air mineral tersebut padanya. Mas Ilyas hanya meminumnya sedikit saja, berarti ia berbohong. Ia tidak harus. Benat dugaanku, itu cuma alasannya saja. Entah kenapa, sejak kejadian di dapur tadi, aku merasa jijik melihat wajah Mas Ilyas. Pasti Mas Ilyas telah janjian untuk bertemu dengan Nia di dapur. Untung saja aku yang pergi ke sana, jika tidak, pasti sudah terjadi adegan peluk memelukk di sana. "Sandra, kamu kenapa? Kok' keringatan begitu? AC kan hidup!" "Nggak apa-apa, Mas. Aku ngantuk nih, kita tidur lagi, ya!" Aku langsung mematikan lampu lalu berbaring di atas ranjang. Mas Ilyas masih duduk di tepi ranjang, lima menit kemudian ponselnya pun bergetar. Sekilas kulihat, Mas Ilyas sedang sibuk berbalas pesan, entah dengan siapa. Apa mungkin ia sedang chatting dengan Nia? "Mas, kok belum tidur? Ini sudah larut loh! Besok kan masih mau kerja. Nggak baik main ponsel malam-malam. Tidur lagi yuk," ajakku, kemudian membaringkan tubuhku. Mas Ilyas meletakkan ponselnya di atas meja, setelah itu ia pun membaringkan tubuhnya di sisiku. Aku sengaja menjadikan lengannya sebagai bantal, agar Mas Ilyas tidak bisa kabur lagi. Untuk malam ini, aku masih bisa menjaga suamiku dari godaan wanita lain. Untuk selanjutnya, aku sendiri tidak tahu. Tidak mungkin aku bisa terus menerus mengawasinya selama dua puluh empat jam. Jika saja aku menuruti emosi, mungkin aku sudah menampar wajah Nia dan memaki-maki Mas Ilyas, karena sudah mengkhianatiku. Tapi, aku harus bisa menahan diri. Selama mereka tidak berbuat di luar batas, maka aku masih bisa memaafkan Mas Ilyas dan membawanya kembali ke jalan yang benar. Tetapi, jika mereka telah berbuat di luar batas, maka aku tidak akan sudi untuk memberikan maafku. Sebaliknya, bukan maaf yang akan kuberikan, tapi justru pembalasan dariku lah yang akan mereka terima. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD