3. Saudara

1134 Words
Rara belajar dengan tenang. Ia sama sekali tak punya teman. Duduk pun, ia juga sendiri. Ia mati-matian mendengar penjelasan guru matematika di depannya. Ia ingin pintar seperti Tiara. Tapi, rasanya itu mustahil. Sesering apapun ia belajar. Kapasitas otaknya tetap tak mampu menyerap. Kalau sudah frustasi, biasanya Rara akan menangis. Meratapi nasibnya yang sama sekali tak ada kelebihan apapun. Bel istirahat berbunyi. Semua murid berhamburan keluar kelas menuju kantin. Seperti biasa, Rara akan berdiam diri di kelas. Menghiraukan ejekan teman-temannya yang selalu mengucilkannya. Membuka kotak makan pemberian Husein. Ia memakannya dengan lahap. Nasi, tumis kangkung dan ayam panggang. Rara tak ingat, kapan terakhir kali ia makan ayam panggang. Rara memang gadis kurang beruntung yang lahir dari orang tua kaya.  Bagi Mama dan Papa Rara, Fasilitas mewah lebih baik dianggurin daripada digunakan Rara. Rara sudah seperti barang najis yang harus disingkirkan. Mengingat itu, air mata di pelupuk mata Rara menggenang. Kalau ia cewek lemah, sudah pasti dia akan mati berdiri. Tapi, Rara bukan cewek yang mudah menyerah. Ia harus bertahan. Setidaknya sampai ada pangeran baik hati yang menyelamatkan dari kebrobokan keluarganya. Rara tersenyum kecut. Jaman sekarang, masih adakah seorang pangeran yang baik hati untuk gadis upik abu seperti dirinya? Mimpumu terlalu tinggi, batin Rara sendiri.  Rara menyendiri di bangkunya. Selain tak punya teman. Ia pun malas bersosialisasi. Ngrumpi sana sini juga bukan gayanya. Ia akan lebih memilih menelangkupkan kepalanya di atas meja. Mulai melamunkan apabila hidupnya bahagia. Seorang remaja di bangku pojok memperhatikan gerak-gerik Rara. Teman satu kelas Rara itu memang selalu memperhatikan Rara tanpa mau mendekatinya. Namanya Aldrik. Remaja dengan lesung pipi yang manis, membuat teman-teman gadisnya terpesona.  Rara memikirkan sesuatu yang sudah lama ingin ia kerjakan. Ia bertekad, setelah pulang sekolah akan mencari kerja. Terus-terusan makan roti membuat tubuhnya sering tidak Vit. Saat sakit pun, sama sekali tidak ada yang peduli. Rara terima perlakuan mereka. Walau dendam di hatinya juga membara. Ada istilah anak durhaka pada orang tua, tapi tak ada istilah orang tua durhaka pada anak. Kalau orang tuanya macam Helda, lalu apa yang harus dilakukan.  Pulang sekolah, Rara melewati gerbang belakang sekolah. Ia tau, kalau Husein akan menjemputnya. Ia tak mau Husein mengetahui niatnya akan bekerja. Kalau Husein tau dan mengadu pada mamanya. Pasti mamanya akan memarahinya habis-habisan. Bikin malu keluarga. Menjatuhkan harga diri dan membuat image buruk bagi mereka. Rara bosan dengan pencitraan yang Mama dan Papanya lakukan. Rara terus berjalan melewati pertokoan, matanya menangkap sebuah restoran yang  cukup besar. Ia akan coba melamar di situ. Banyaknya pelanggan membuat ia sejenak ragu. Tepukan di pundaknya mengagetkan dirinya. "Kamu mau makan apa?" tanya seorang remaja yang notabennya teman sekelasnya. Rara menundukkan kepalanya dalam. Ia malu.  "Kamu mau bekerja di sini? ayok ikut aku, kebetulan disini butuh karyawati." ucap Aldrik. Rara menggelengkan kepalanya. Ia ingin pergi. Tapi, Aldrik segera mencegahnya.  "Aku tau kalau kamu butuh. Ayo ikut aku, kebetulan aku yang mengurus resto ini." Rara mendongakkan kepalanya.  "Apa ini resto milik orang tua kamu?"  "Bukan, kebetulan ada orang baik yang mempercayakan resto ini padaku. Ceritanya panjang. Masuk aja gimana? aku janji kok, aku bakal jaga rahasia kalau itu yang kamu takutin." ucap Aldrik tersenyum manis.  Rara mengikuti Aldrik. Ia mendengarkan Aldrik yang menjelaskan sistem kerja di resto itu. Rara mendengarkan dengan baik. Sebenarnya, Rara ragu. Mengingat, ia tak pernah bisa mengerjakan sesuatu dengan benar. Pasti akan ada kesalahan yang di lakukan. Setelah penjelasan singkat. Rara diperbolehkan pulang. Tapi, Aldrik ngotot ingin mengantar Rara.Rara diantar pulang oleh Aldrik menggunakan motor matic laki-laki itu. Rara juga menawari Aldrik untuk mampir yang langsung di tolak halus Aldrik.  Aldrik memandang sendu punggung Rara. Rara Azizah, adik kembarnya yang sudah tiga tahun ini tak mengingatnya. Sejak kecelakaan itu, Rara hilang ingatan atas dirinya. Aldrik memilih pergi dari keluarganya. Ia tak kuat melihat penderitaan adik yang paling ia sayangi. Dari dulu, ia sangat ingin membawa Rara kabur. Tapi, ia tak punya banyak uang untuk mencukupi hidup adiknya. Tapi, kini uangnya sudah terkumpul. Tinggal nunggu waktu, ia akan mengajak adiknya pergi dari keluarga yang sangat menjengkelkan. Tiga tahun lalu, kecelakaan naas merenggut sebagian ingatan Rara. Rara hanya ingat Mama papanya, tanpa mengingat Aldrik. Rara juga sering terbengong karena ingatan yang kadang muncul, kadang pergi lagi. Harusnya, Rara ikut menjalankan terapi agar ingatannya kembali. Tapi, mamanya tak mau menghamburkan uang yang tak sedikit demi untuk Rara. Rara merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia mulai menangis. Setiap hari, Rara memang akan menangis. Ia memikirkan seseorang yang melekat di jiwanya, tapi ia tak tau siapa dia. Panggilan keras dari mamanya, membuat Rara tersentak bangun. Tanpa ganti seragam, Rara menuruni tangga. Menghampiri mamanya di dapur.  "Ada apa, Ma?" tanyanya.  "Dicari Husein tuh. Sana samperin. Jangan bikin malu mama!" ucap Helda memperingati.  Reno, papa Rara hanya menatap sendu Rara. Rara membalas tatapan papanya dengan tatapan sinis. Dulu, papanya sangat menyayanginya. Apa-apa yang di nomor satukan Rara, tapi semua berubah. Rara hanya orang asing sekarang. Orang asing yang terdampar dalam keluarga kaya ini. Meski anak kandung, serasa anak tiri. Rara menghampiri Husein yang duduk di sofa seraya menatapnya tajam.  "Pulang sama siapa?" desis Husen tak suka. Nada bicaranya menyiratkan kekesalan.  "Sama teman aku kak!" jawab Rara menundukkan kepalanya. "Sudah ijin sama kakak?"   "Eh?" Rara mendongakkan kepalanya. Apa maksudnya?  "Kenapa harus ijin kakak?" tanya Rara bingung.  "Kamu lupa kalau kamu calon istri aku? Dan kamu wajib ijin aku kemanapun kamu pergi! ngerti?" tekan Husen.  "Ngerti kak!" jawab Rara menundukkan kepalanya.  "Dan ingat! kamu hanya milik kakak. Jangan sampai kamu dekat dengan laki-laki lain." lagi-lagi Rara hanya bisa menganggukan kepalanya mendengar titah Husen yang sudah mutlak itu. Rara bagaikan burung yang terkurung dalam sangkar. Tidak bisa gerak bebas, hingga sayapnya lumpuh. Rara hanya bisa berdiam diri di kamarnya. Ia bosan, tak bisa menghibur diri. Ia malas keluar kamar. Toh, dirinya selalu tak dianggap.  Kling!  Suara notifikasi dari hp nya membuat Rara menoleh, ia mengambil hp nya yang tergeletak di atas nakas. Papa : "Jangan lupa belajar, ingat! kamu harus masuk fakultas kedokteran terbaik." Satu pesan dari papanya membuat dadanya sesak.  Papanya seakan lupa kalau dirinya phobia darah. Tapi, dengan teganya, papanya itu menyuruhnya kuliah di fakultas kedokteran. Rara lebih memilih menyelam dalam kolam renang walau tak bisa renang, daripada harus melihat darah. Hidupnya penuh dengan aturan-aturan konyol orang tuanya. Rara bagaikan pion yang akan menguntungkan mereka, tapi juga dapat di musnahkan kapan saja.  Kak Husein : "Sudah malam. Tidur! jangan membantah." satu pesan dari Husen yang baru masuk, ia baca. Ia mengernyitkan dahinya bingung. Beberapa hari ini, ia merasa aneh dengan Husein yang lebih sering mengirimi pesan. Walau hanya satu kalimat, mampu membuat Rara termenung. Perhatian kecil dari Husein, sebenarnya membuat dia berharap, kalau Husein akan berubah jadi pria kalem dan tidak marah-marah. Tapi sepertinya, pria itu tak bisa bersikap kalem dan lemah lembut. Lagian, tiap hari teriak apa pita suaranya tidak putus. tiap hari juga marah-marah, apa tidak darah tinggi. Rara aja yang mendengar ngeri sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD