Chapter 5

843 Words
Selamat membaca Tidak terasa sudah hampir dua bulan berlalu. Setiap hari Brandon selalu uring-uringan tidak jelas. Bahkan ia juga tidak merawat dirinya sendiri. Sekarang mata tajamnya dihiasi bundaran hitam di bawah matanya, rambutnya acak-acakan, ditambah lagi dengan brewok yang memenuhi wajah tampannya. Benar-benar seperti bukan dirinya yang terkenal sangat perfeksionis. Ia bahkan terlihat seperti laki-laki berandalan. Setiap harinya Brandon mengamuk dan membanting barang apa pun yang ada di depannya jika anak buahnya memberi kabar belum menemukan Sahara. Bahkan sekarang rokok dan minuman keras menjadi teman baiknya setiap hari. Mungkin Brandon tidak akan kacau seperti ini jika setiap malam ia tidak mengingat Sahara. Betapa tersiksanya dirinya saat menahan gairahnya untuk menyetubuhi wanita itu. Ia selalu terbayang-bayang saat ia mengambil keperawanan Sahara. Seutas senyuman tersungging dari bibir merahnya. Bagaimana tidak? Karena itu artinya dirinyalah orang pertama dan satu-satunya yang menyentuh tubuh Sahara. ***** Terlihat kesedihan terpancar dari raut wajah seorang wanita. Dia memegang tangan anak kecil itu penuh kelembutan karena takut menyakitinya. Air matanya tidak henti-hentinya mengalir. Meskipun dia sudah berusaha menahannya sampai matanya merah dan terasa perih, tapi nyatanya dia tidak bisa membendungnya lebih lama lagi. Wanita itu menatap pilu seorang anak kecil yang tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur yang hanya beralasan papan kayu keras. Sangat tidak layak ditiduri oleh tubuh kurus anak kecil itu. Anak kecil itu tersenyum lembut ke arah wanita yang saat ini tengah mengenggam tangannya. Senyumannya tidak bisa menutupi wajah pucatnya. Matanya berubah sayu, wajahnya semakin tirus, bibirnya mengering, bahkan rambutnya semakin rontok. Senyumannya berhasil menggores hati wanita itu. "Sudah cukup! Kakak tidak sanggup Jack! Ayo kita ke rumah sakit," ajaknya memohon dengan wajah yang sudah berderai air mata. "Tidak, Kak," lirih Jack lemah. "Aku tau, jika umurku sudah tidak la—" "Stop! Kakak mohon jangan pernah bicara seperti itu lagi!" ujarnya histeris. "Kamu akan sembuh, Jack. Kakak yakin itu. Sekarang kita ke rumah sakit, ya. Kakak akan gendong kamu," bujuknya lembut. "Aku ingin dikubur di samping makam kakek," tuturnya dengan suara lemah. Sahara menangis histeris. "Jangan katakan itu lagi, Jack!" teriaknya parau. Jack meminta Sahara untuk mendekatkan telinganya. Jack berusaha keras untuk bicara di telinga Sahara. Meskipun suaranya hanya terdengar seperti bisikkan. "Jaga diri Kakak baik-baik. Karena aku tidak bisa menjaga Kak Hara lagi. Dan jangan pernah menangis. Aku menyayangi Kak Ha-hara," bisiknya tersendat-sendat dan menutup mata perlahan. Napas Sahara tertahan. Jantungnya seakan dicabut paksa dari rongga dadanya. "Jack!!!!!" teriaknya menangis histeris sembari memeluk tubuh Jack. Hatinya seperti diremas saat melihat Jack menutup matanya. "Bukalah matamu, Jack. Jangan tinggalkan Kakak sendiri!" "Kakak mohon, Jack!" pintanya parau. Sahara terus saja berbicara dengan Jack karena ia masih tidak rela jika Jack sudah tiada. Ia benar-benar sangat terpukul. Sahara mengusap air matanya kasar. Ia menatap kosong tubuh Jack yang sudah terbujur kaku di depan matanya. Ia tidak ingin semakin menyiksa Jack jika ia tidak segera menguburnya. Sahara mengubur Jack di samping makam Herry seperti keinginan Jack. Ia mengubur Jack dibantu oleh beberapa orang tetangga yang juga tinggal di hutan itu. Sahara mendoakan mereka berdua dengan sangat khusyuk. Ia membuka matanya setelah selesai berdoa. Sahara melihat sekelilingnya. Terasa sangat sunyi dan hampa. "Maafkan Sahara, Sahara tidak bisa menjaga cucu kakek dengan baik," tuturnya penuh penyesalan dari hati yang paling dalam. Sahara mengusap gundukan tanah itu pelan. "Mungkin ini terakhir kalinya Kakak di sini Jack. Kakak akan kembali ke Negera asal Kakak," ungkapnya sendu sembari menatap pilu makam Jack yang masih basah. "Terima kasih untuk kebaikan kalian selama ini. Aku tidak akan pernah melupakan kalian, selamat tinggal." Sahara pergi dengan langkah gontai. Setiap langkahnya terasa berat saat semakin jauh dari makam orang-orang yang berharga dalam hidupnya. Sahara sudah bertekad akan melanjutkan kuliahnya di Indonesia. Ia tidak ingin berlama-lama di Negara asing ini. Karena ia mempunyai firasat buruk jika ia tidak segera pergi. Ia juga tidak ingin bertemu dengan Brandon yang sudah ia cap sebagai laki-laki b******n yang harus dihindari. Bertemu dengan Brandon adalah mimpi buruk baginya. Sahara akan pulang ke rumahnya terlebih dahulu untuk mengambil pasport dan barang-barang penting lainya. Beruntung ia juga masih mempunyai uang tabungan di dalam rekeningnya. Ia harus segera bergegas pergi ke rumah dan langsung menuju bandara. Sahara tidak perlu khawatir memikirkan kendaraan. Karena ia masih menyimpan kunci mobil Brandon. Ia menyetir mobil seperti orang gila. Sahara tidak bisa berpikir dengan jernih, yang ada di pikirannya saat ini hanyalah ia harus segera pergi dari Negara ini. ***** Victor membuka pintu kamar Brandon kasar. Napasnya terengah-engah. "Tuan!" panggilnya dengan napas tidak beraturan sembari memegang lututnya karena lelah berlari. Brandon menatap Victor tajam karena tidak sopan masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Saat melihat tatapan Brandon, Victor segera mengatur napasnya. Ia mengembuskan napas panjang. "Mobil Tuan yang dibawa wanita itu sudah terdeteksi. Dia sedang menuju ke rumahnya." Sontak Brandon berdiri dari ranjangnya. Entah apa yang ia rasakan saat ini. Tapi ia merasakan nyawanya seperti kembali lagi setelah sekian lama menghilang. Brandon tersenyum miring. "Panggilkan yang lain, kita akan segera menuju ke sana sekarang," tukasnya sembari tersenyum tipis dan meneguk tetesan alkohol yang terakhir. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD