Chapter 3

1148 Words
Selamat membaca Sahara tidak berniat keluar dari kamar mandi. Berjam-jam ia berendam di bathtub sembari memejamkan kedua matanya. Sahara tidak peduli jika tangannya berubah keriput karena kelamaan berendam, atau bibirnya yang berubah jadi membiru karena kedinginan. Ia sama sekali tidak memikirkan tentang hal itu. Mungkin jika dirinya mati itu akan lebih baik. Sahara sudah kehilangan semangat hidup, ia sama sekali tidak b*******h untuk melakukan apa pun. Sahara membuka mata saat mendengar pintu digedor-gedor secara tidak sabar oleh seseorang. Namun Sahara mengacuhkannya, karena ia sudah tau siapa orang itu. Karena Sahara tidak kunjung membuka pintu, akhirnya Brandon mendobrak pintu kamar mandi itu. Ia penasaran apa yang dilakukan wanita itu di kamar mandi sampai berjam-jam. Saat pintu berhasil terbuka, Brandon membelakkan matanya lebar saat mendapati Sahara berendam dengan wajah yang sudah pucat seperti mayat hidup. "Hey! Apa kamu ingin mati? Hah!" makinya kasar. Sahara masih memejamkan mata. Ia benar-benar tidak peduli dengan makian Brandon. "Ya, mungkin itu lebih baik," sahutnya ringan. Brandon menatap Sahara tajam. "Sudah cukup!" tukasnya dengan nada tinggi sembari menyeret tangan Sahara kasar keluar dari bathtub. Brandon menyalakan shower dan mendorong tubuh Sahara kasar untuk membilas tubuhnya sendiri. Sahara tersenyum tipis. Ia sengaja memperlambat gerakannya saat menyisir rambutnya menggunakan tangan. Brandon menatap lekuk tubuh Sahara intens, matanya mulai berkabut. Ia mulai melepas pakaian yang ia pakai satu persatu tanpa mengalihkan pandangannya dari tubuh sexy Sahara. Brandon menghampiri Sahara, tangannya memegang pinggang Sahara dari belakang sembari bibirnya mencium leher Sahara pelan. Sebenarnya Sahara merasa jijik dengan dirinya sendiri saat harus menggoda laki-laki b******n ini. Tapi ia harus melakukannya agar rencananya berhasil. Saat Sahara membalik tubuhnya, Brandon segera mencium bibir Sahara ganas sampai tubuh Sahara terhuyung ke belakang. Sahara benar-benar tidak menyukai ciuman Brandon yang agresif seperti ini. Ia mendorong d**a Brandon pelan sembari menatap kedua bola mata Brandon dalam. Saat menatap mata Sahara Brandon benar-benar hilang kendali, ia sudah tidak bisa menahan gairahnya lagi. Namun saat ia ingin melumat bibir Sahara, bibirnya ditahan dengan jari telunjuk Sahara. Sahara tersenyum, senyuman yang mempunyai maksud tersembunyi. Ia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Brandon pelan sembari melumatnya lembut. Sontak saja itu semakin membuat Brandon menggila. Ia meremas b****g Sahara gemas. Sahara mengalungkan kedua tangannya di leher Brandon. Saat ini ia benar-benar merasa seperti seorang p*****r. Ingin sekali rasanya ia segera pergi dari sini karena tidak sudi tubuhnya disentuh oleh Brandon. "Pelan-pelan saja," bisik Sahara serak tepat di telinga Brandon. Lalu mengecup leher Brandon dan meninggalkan tanda merah di sana. Brandon mengigit bibirnya sembari memejamkan kedua matanya menikmati sentuhan Sahara. Jlebb Napas Brandon tertahan. Ia menunduk ke bawah dan mendapati sebuah pisau sudah tertancap di perutnya. Ia terjatuh dan menatap Sahara dengan tatapan membunuh. "Aku akan membunuhmu, Jalang!" desisnya penuh penekanan. Sahara tersenyum miring. Ia mengambil pisau itu kasar dari perut Brandon. "Aaaaaa!!" pekik Brandon kesakitan. Sahara tidak ingin membuang-buang waktu. Ia segera mengambil baju di lemari asal dan memakainya cepat. Tapi sebelum ia keluar, di depan pintu sudah ada dua bodyguard yang menghadangnya. Sahara tersenyum sinis. Apa ia harus menjadi orang jahat terlebih dahulu agar tidak ada yang berani mengganggunya? Mungkin ia harus sekali-kali bersikap kejam. Saat bodyguard itu menghampirinya, Sahara berlari cepat dan menyayat kedua perut bodyguard itu. Sontak saja mereka berteriak kesakitan. Sebelum Sahara pergi, ia mengambil salah satu kunci mobil Brandon di atas meja. Karena ia tidak mungkin bisa berlari cepat dengan kondisinya yang seperti ini. Ditambah lagi selangkangannya masih terasa perih. Sahara tidak mungkin kembali lagi ke rumahnya karena Brandon pasti akan menangkapnya lagi. Untuk saat ini, ia akan pergi sejauh mungkin ke tempat yang sangat terpencil. Bahkan takkan ada satu orang pun yang bisa menemukannya. Sahara tidak bodoh, ia tau jika Brandon pasti bisa melacak dirinya karena ia membawa mobilnya. Karena itu, ia meninggalkan mobil Brandon di tempat yang aman setelah ia jauh dari rumah Brandon. Sahara berjalan kaki menyusuri hutan-hutan. Meskipun ia harus merasakan sakit, tapi Sahara tidak akan pernah berhenti sebelum ia sampai ke tempat yang akan ia tuju. Sebelumnya ia pernah tersesat di hutan itu sekitar dua bulan yang lalu ketika ia sedang memotret tentang alam. Berjam-jam ia terus memutari hutan untuk mencari jalan raya hingga malam, tapi ia justru semakin masuk ke dalam hutan yang gelap dan sunyi. Beruntung ada seorang kakek yang tinggal bersama cucu laki-lakinya berusia delapan tahun menawarinya untuk menginap di gubuknya yang sudah tua. Dan keesokan harinya, kakek itu dan cucunya mengantarkan dirinya ke jalan raya. Sahara benar-benar sangat berterimakasih. Sejujurnya ia sangat prihatin melihat kondisi mereka yang hanya tinggal berdua di gubuk tua yang sudah tidak berbentuk lagi. Bahkan di tengah-tengah hutan yang sangat terpencil dan menyeramkan seperti ini. Pasti mereka sangat kesulitan untuk bertahan hidup, karena mereka hanya mengandalkan makanan dari tanaman yang mereka tanam di lahan kosong samping gubuk. Walaupun sebenarnya masih ada beberapa orang yang juga tinggal di hutan itu dan sering membantu mereka, tapi tetap saja ia tidak tega. Sebelumnya ia juga sudah menawari mereka untuk ikut dengannya. Tapi mereka menolak karena sudah nyaman tinggal di hutan itu. Sahara hanya pasrah, ia juga tidak bisa memaksa mereka. Sahara tersenyum lebar saat menatap sebuah gubuk yang tidak jauh dari tempatnya saat ini. Gubuk yang sangat ia rindukan. Sebenarnya ia merasa tidak enak karena harus merepotkan kakek Harry dan Jack lagi, tapi ia tidak punya pilihan lain. Karena ia butuh tempat yang jauh dari kerumunan orang-orang untuk bersembunyi. Saat mengerutkan dahinya. Kenapa gubuknya sangat sepi? Sahara sudah berkali-kali memangil Harry dan Jack. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang menjawabnya. Kemudian ia memutuskan untuk pergi ke lahan yang biasanya digunakan mereka untuk berkebun. Mata Sahara berbinar-binar saat melihat Jack sedang menyiram tanaman. Tapi kenapa Jack sendirian? Di mana Harry? Sahara segera menghampiri Jack. "Jack!!" panggilnya riang sembari melambai-lambaikan tangannya. Jack terkesiap dan tersentak kaget saat mendapati Sahara berada di sini. "Kak Hara?" lirihnya masih tidak percaya. Ia berlari memeluk Sahara erat dan menangis terisak-isak di pelukan Sahara. Sahara menangkap wajah Jack dan mengusap air matanya pelan. "Apa yang sudah terjadi? kenapa kamu menangis, Jack?" Sahara bertanya bingung. Jack semakin menangis sesenggukkan di pelukan Sahara. "Kakek, Kak," lirihnya. "Kakek kenapa, Jack?" raut wajah Sahara berubah khawatir. "Kakek sudah meninggal," ungkapnya parau. Deg Sahara tertegun. Jantungnya seakan dicabut paksa dari rongga dadanya. Kenapa Harry bisa secepat ini pergi? Padahal ia belum sempat membalas kebaikannya. Tanpa disadari, air matanya mengalir begitu deras membasahi wajahnya. Ia merasa kasian dengan Jack yang hanya tinggal sebatang kara di hutan ini. Di usianya yang masih kecil, kenapa dia harus memikul beban hidup yang sangat berat ini sendirian? "Kakak akan membawamu pergi bersama Kakak. Tapi untuk sementara kita tinggal dulu di sini." Jack menatap Sahara penuh harap. "Sungguh?" Sahara tersenyum lembut. "Sekarang kamu adalah adik Kakak, jadi kemana pun Kakak pergi kamu harus ikut. Dan kita juga akan sering ke sini mengunjungi makam kakek." "Terima kasih, Kak," tuturnya begitu dalam. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD