Part 1 Madu Pernikahan
Dering alarm ponsel ku membuatku terjaga. Pukul 04.30, waktu subuh, seperti biasa aku harus terbangun di jam ini untuk melaksanakan kewajiban ibadah subuh.
Saat aku berbalik, aku menyentuh seseorang dan langsung kaget. Aku lantas duduk lalu menatapnya.
"Astaga! Indra."
Aku hampir lupa, aku sudah menikah dengan nya. Kebiasaan tidur sendiri membuatku lupa kalau sekarang ada seseorang yang menemaniku tidur mulai semalam.
Aku kembali menatap Indra yang masih terlelap tidur. Seperti nya dia sangat lelah karena pesta pernikahan kami kemarin. Aku terkekeh membayangkan kejadian semalam.
Malam pertama yang sudah menjadi agenda pengantin baru pada umum nya agak kacau karena tingkah ku.
#flash back
Setelah kami membereskan kado yang kami buka, Indra menggandengku ke ranjang.
Aku sudah tau maksudnya apa.
Dadaku berdetak sangat cepat.
Antara takut, bingung, khawatir, terus berkecamuk dalam pikiran ku.
Dia mulai membelai rambut ku sambil menatap ku dalam. Saat dia mau mencium ku, aku mundur.
"Ah iya! Aku lupa belum makan," kataku sambil menepuk dahiku sendiri.
Indra mendengus sebal.
"Mau makan? Sekarang?" tanya Indra dengan menekankan kata 'sekarang'.
Aku mengangguk sambil senyum dan menampilkan 'puppy eyes' andalan ku. Yaitu jurus mata berkedip yang kata Indra sok imut.
Dia keluar kamar mengambilkan ku makan. Karena kakiku agak lecet karena sepatu pengantin yang kupakai selama seharian.
"Lho, Ndra. Ke mana?" Terdengar suara Kak Adam di luar, karena pintu kamar tidak ditutup, aku bisa mendengar jelas percakapan mereka.
"Ini Kak, Nisa lapar,"ucap Indra agak sungkan.
"Walah, sempet-sempet nya makan di saat kayak gini ... Hahahaha." Tawa Kak Adam menggelegar di ruang tengah.
Tak lama Indra masuk kamar lagi membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk nya. Sisa makanan resepsi tadi masih ada rupanya.
Aku segera makan dengan sangat pelan. Kusengajakan memang.
Indra menopang dagu melihat ku makan tak kunjung selesai.
Sesekali dia menguap menahan kantuk.
Sebetulnya aku kasihan. Hanya saja aku masih sedikit ragu dan takut.
"Nis ... kamu belum siap?" tanya Indra seolah tau isi pikiran ku.
Aku diam sejenak sambil menatap nya malu-malu. Aku tau maksud dari pertanyaan nya, bahwa setiap pengantin baru pasti akan melakukan malam pertama.
"Eum ... Aku ... takut, Ndra," kata ku pelan.
Indra senyum, dia membelai rambut ku pelan. Rasa kesal nya seolah luruh begitu saja.
"Takut apa, Sayang?" tanya nya santai.
"Katanya ... Eum ... Sakit. " suara ku makin pelan.
Indra tertawa lebar sambil mengacak-acak rambut ku.
"Ya udah, besok lagi aja," tutur Indra lalu membetulkan letak bantal dan berbaring sambil menghembuskan nafas pelan. "Sini sayang, bobok," ajak Indra sambil menarik tangan ku agar ikut tidur di samping nya.
Dengan ragu, aku ikut merebahkan diri di sisi nya. Lalu menatap Indra yang sudah memejamkan mata. Indra lalu memiringkan tubuhnya mensejajari ku lalu memeluk ku erat.
"Yuk, tidur... Istirahat," tutur nya.
Flashback end
______
Kini pria yang selalu mengisi hari-hari ku selama ini, tengah terlelap tidur di samping ku.
Kusentuh wajahnya pelan. Kuraba inci demi inci. Dahi nya, hidung nya, pipi, bibir nya tak luput dari pergerakan jari ku.
Dia terbangun, dengan segera ku sembunyikan tangan ku di dalam selimut.
"Lagi dong. Aku suka," ucap nya tanpa membuka mata dan tersenyum.
"Selamat pagi, Istriku," sapa nya, dan terbuka lah mata indah nya.
"Selamat pagi, Suamiku," sahut ku malu-malu.
Dia langsung menarik ku ke atas. Aku pun gelagapan dibuatnya.
"Ndra, Salat subuh dulu," elak ku sambil berusaha lepas dari pelukan nya.
"Hm ... Oke," kata nya lalu melepaskan ku.
Aku berjalan ke kamar mandi untuk mandi dan berwudhu.
Lalu kami sholat subuh berjamaah.
______
Aku mendapat cuti seminggu, terhitung dari sebelum kami menikah, dan hari ini, hari ke tiga ku cuti. Sedangkan Indra mendapat cuti hanya 4 hari, terhitung dari kemarin saat pesta pernikahan kami di gelar, jadi sisa 3 hari lagi.
Kami keluar kamar menuju ruang tengah. Aku menggandeng tangan Indra, lalu duduk di depan TV bersama Papah dan Kak Adam yang sedang menikmati kopi sambil menonton acara berita.
"Cie, pengantin baru. Gandengan mulu kayak truk," canda Kak Adam sambil senyum-senyum garing.
Aku melempar nya dengan bantal yang ku pegang. Bug! Tepat mengenai wajah Kak Adam.
Indra dan Papah hanya tersenyum melihat tingkah kami.
"Eh, gimana? Tadi malem? Lancar jaya kan," canda Kak Adam lagi sambil mengedip kan mata nya berkali-kali.
Aku hanya melirik ke Indra, lalu kembali menatap Kak Adam. "Kepo!" balas ku sinis.
"Yaelah, Nis! Jutek amat pagi-pagi," ungkap Kak Adam.
"Aku bikinin kopi dulu ya, Ndra," kata ku tak menghiraukan kata-kata Kak Adam.
Aku berjalan menuju dapur.
Mamah sudah pergi sedari pagi.
Kak Shinta ternyata sedang di dapur membuat s**u untuk Aim.
"Pagi Kak, " Sapa ku.
"Hai ... Gimana penganten baru?" tanya Kak Shinta dengan pertanyaan dengan tema yang sama seperti Kak Adam.
"Apa nya yang gimana?" tanya ku sambil meracik kopi.
"Kok apa nya yang gimana? Eh ... Nis, Kakak jadi inget waktu malam pertama Kakak dulu. Tau nggak, ada kejadian lucu malam itu," terang Kak Shinta antusias.
"Apaan kak?"
"Masa ranjang nya sampai ambles, Nis. Padahal kita belum ngapa- ngapain! haha." Tawa Kak Shinta terdengar renyah.
"Kok bisa, Kak? Astaga!"
"Iya, mungkin karena ranjang nya udah rapuh, ya? " kekeh Kak Shinta, " Kamu gimana lancar kan?" tanya Kak Shinta tiba-tiba.
Glek!
Aku menelan ludah sambil melirik Kak Shinta.
"Eum, Nggak lancar. hehe," kata ku malu.
"Lho kok bisa? Kenapa? "
"Aku ... Aku takut ... Jadi semalem Indra cuma nungguin aku makan. Terus kita tidur ," jelas ku.
Rasanya semua perasaan berkecamuk menjadi satu. Malu, bingung, tidak enak memenuhi kepala ku sekarang.
Kak Shinta malah ngakak.
"Wajar sih, Nis. Santai aja lah. Nanti juga terbiasa," katanya sambil menepuk bahu ku lalu pergi ke kamar nya.
Selesai membuat kopi, aku mengantar nya ke ruang tamu.
Kulihat mereka bertiga sedang ngobrol sambil ketawa ketiwi.
Saat aku datang, semua kompak diam.
"Sabar, Ndra... Pelan- pelan aja," kata Kak Adam sambil melirik ku.
"Nis... Papah punya hadiah buat kalian," kata Papah serius.
"Apaan?"
"Dua tiket bulan madu ke Bali dan berangkat siang nanti," Ungkap Papah sambil menunjukan sebuah amplop.
Segera ku ambil dan kubuka.
Aku melongo sambil menutup mulut dengan tangan kanan ku.
"Serius Pah? Asik! Makasih, Papah!" teriak ku, lalu berhambur memeluk Papah.
"Ya udah, sana siap-siap," suruh Kak Adam, " Jangan sampai gagal lagi, ya," bisik Kak Adam ke Indra sambil cekikikan.
"Beres, kak! " jawab Indra santai.
Aku hanya melirik mereka berdua bergantian.
Segera aku berkemas memasukan beberapa potong pakaian ku dan Indra ke koper kecil.
Kami hanya membawa barang sedikit. Karena hanya 3 hari di sana.
=========
Setelah selesai kami akan diantar Kak Adam ke Bandara untuk segera terbang ke Bali.
Hmm... Ini kali pertama kali nya aku ke Bali.
Selama ini aku hanya mendengar tentang keindahan Pulau itu dan hanya melihat di televisi saja.
Kami di antar Kak Adam dan Kak Shinta. Bersama Aim juga.
Kak Yusuf yang baru saja datang menatapku dengan keheranan.
"Mau ke mana, Dek?" tanya Kak Yusuf.
"Ke Bali, Kak. Honey moon."
"Bali?" Ekspresi Kak Yusuf sedikit aneh. Kerutan di kening nya menunjukan ada sesuatu yang dia pikirkan.
"Iya, kak. Kenapa?" tanya ku.
Indra sedang memasukan tas dan koper kami ke mobil.
"Eum... Hati-hati aja, Nis. Oh iya, kamu kabarin Mang Ude yang tinggal di sana,"saran Kak Yusuf.
Mang Ude adalah saudara sepupu Papah. Dia juga indigo.
"Tapi aku udah booking hotel, Kak," kata ku sambil menunjukan tiket ku ke Kak Yusuf. Papah memang sudah menyiapkan semua.
"Iya, nggak apa-apa. Maksudnya ngabarin aja.. Lama juga kan kamu gak ketemu Mang Ude."
Entah kenapa aku merasakan kegelisahan kak Yusuf yang mengetahui aku dan Indra akan ke Bali.
Aku memang pernah mendengar beberapa cerita mistis tentang Bali. Tapi aku tidak terlalu ambil pusing. Karena di semua tempat pasti ada cerita misteri tersendiri.
"Iya, kak. Nanti Nisa hubungin Mang Ude. Ya udah, Nisa berangkat ya," kataku sambil memeluk kak Yusuf.
Kak Yusuf mencium keningku lembut.
"Kak, kita berangkat, ya," pamit Indra.
"Oke, hati-hati, Ndra. Kalau ada apa-apa, kabarin, ya," kata kak Yusuf.
"Pasti, kak. Indra bakal jagain Nisa," kata Indra sebelum pergi.
Kami segera masuk mobil untuk menuju bandara. Kak Yusuf tidak ikut, karena ada urusan dengan papah.
Sampai di bandara, setelah pamit kak Adam dan kak Shinta, kami segera naik ke pesawat.
Aku duduk di samping jendela.
Di sampingku ada Indra sambil menggenggam tanganku erat.
"Ndra," panggilku masih menatap jendela di samping
"Iya, sayang."
"Kak Yusuf kenapa, ya? Kok kelihatan khawatir gitu sama kita?"tanyaku ingin tau pendapat Indra.
"Eum, masa sih? Mungkin karena kamu pergi jauh, jadi kepikiran. Kamu udah pernah ke Bali sebelumnya?"
Aku menggeleng, sambil menatap Indra. Dia tersenyum, lalu mengecup keningku lembut.
"Udah, nggak usah terlalu dipikirin ya. Kita kan mau liburan ke sana. Bismillah aja, semoga kita dijauhkan dari hal-hal buruk selama di sana."
Dalam perjalanan ke Bali, aku bergelayut manja di lengan Indra.
Mengobrol ini itu agar tidak jenuh selama di pesawat.
Setelah menikah, Indra masih mengijinkan ku bekerja.
Dia bukan tipe suami yang over protectif.
Dia selalu memberi kebebasan untuk ku, asal aku bisa tau batasan mana yang boleh dan tidak.
Kami juga memutuskan tinggal di rumahku, kadang saat weekend kami menginap di rumah mamah papah Indra.
Indra menawariku membeli rumah untuk kami tempati, tapi aku menolak, karena jujur, aku belum berani jika di rumah hanya berdua saja dengannya.
Apalagi dengan pekerjaan Indra yang kadang malam pun dia harus dinas. Dia bukan pegawai kantoran sepertiku, yang punya jam kerja yg tetap.
========