Sara baru saja keluar dari taksi. Perempuan itu berjalan memasuki lobi mall. Ia hendak makan siang bersama anak sulungnya berhubung rumah sepi sekali hari ini. Anne tentu saja kuliah. Anak lelakinya tentu saja sedang ke luar negeri. Suaminya tentu saja sedang berada di kantor. Dan rasanya, beberapa hari belakangan, ia agak jarang makan siang bersama anak sulungnya yanh tampak sibuk itu. Katanya sedang banyak pesanan jug asedang mencari ilham untuk desain baru. Tapi mungkin sekaligus menghibur diri. Sara tahu kok bagaimana Tiara yang mungkin juga sedih karena didahulukan menikah oleh Ando. Ini lah perkara jodoh yang manusia pun kadang tak mengerti. Hanya Allah yang tahu apa yang terbaik bagus hamba-Nya.
Begitu memasuki butik, kening Sara mengerut melihat cowok tengil sedang berdiri membungkuk di depan pintu ruangan kecil, kantor butik milik Tiara. Hal yang membuat Sara terkekeh tanpa suara. Kadang suka merasa lucu melihat tingkahnya.
"Itu siapa?" Sara bertanya bisik-bisik pada Ardan yang sedang mengintip di dekat pintu yang terbuka lebar itu. Yeah, terbuka lebar tapi Tiara sepertinya tak tahu ada sepupunya yang sableng di situ karena perhatiannya tertuju secara penuh pada lelaki yang duduk di depannya. Keduanya pun tampak mengobrol dengan serius.
"Calon gebetan kayaknya, Tan," jawab Ardan dengan nada yang gak kalah bisik-bisik. Sara terkekeh geli mendengarnya. Aih nih bocah! Akhir-akhir ini sering banget merusuhi Tiara. Yaa, Tiara sebal sih. Mau marah-marah juga percuma. Karena yang ada, tensi Tiara positif darah tinggi. Dari pada Tiara tiba-tiba terkena stroke bahkan jantungan, mendingan Tiara mengajarkan diri kan? Lagi pula, Ardan percuma diusir. Pasti datang lagi dan lagi.
"Kamu gak berangkat ke kantor, Dan?" Sara bertanya. Kali ini, ia berjalan menuju bangku, tak jadi masuk ke kantor kecil itu karena tampaknya, anaknya sedang sibuk menangani pelanggan. Mungkin membahas kontrak kerja sama atau semacamnya.
"Ada sama gak ada Ardan, gak ngaruh, Tan. Kantor Papa gak bakalan bangkrut kok!"
Jawaban itu sekonyong-konyong membuat Sara menggeleng geli. Gak habis pikir akan kelakuan ponakannya yang satu ini. Pertanyaan yang selalu timbul dihatinya, ada gitu ya orang kayak begini? Ada, Tan! Eh! Rasanya Sara ingin sekali menepuk jidat Ardan!
"Dan....Dan....," Sara gak habis pikir.
Ardan menghela nafas. Lalu membalik badan. Capek juga karena sedari tadi, ia membungkuk, berupaya mengintip dengan siapa Tiara bicara. Tapi sepanjang acara pengupingan, dua orang itu hanya membicarakan masalah pekerjaan. Kan gak asyik! dumelnya. Padahal mumpung mood-nya sedang baik begini setelah patah hati akut yang lumayan parah tapi mungkin tak terlihat seperti sedang patah hati. Ternyata....dengan Talitha yang resmi bertunangan malah membuatnya cepat move on. He eh? Masa iya?
Aih. Sebenarnya, bukan itu alasannya sih. Ia hanya mengkhawatirkan sepupunya ini. Bagaimana pun, walau ia tak pernah menunjukan kecemasannya secara terang-terangan, ia ingin ikut menjaga perasaan Tiara setelah dilangkahi Ando. Ia memang bukan lelaki yang bisa menunjukan perhatiannya terang-terangan, yah sama seperti Wira--Papanya. Tapi ia punya cara tersendiri. Sengaja mengumpan diri untuk di-bully Tiara, misalnya. Baginya tak masalah, asal kakak sepupunya ini bahagia dan tidak pilu. Lagi pula, cukup lah ia melihat tangis gadis itu bersama para sepupunya usai acara resepsi pernikahan Ando kemarin. Kakak sepupunya ini berhak menyongsong kebahagiaan baru setelahnya.
"Ardan mau balik deh, Tan. Mau ke kantor Papa," pamitnya yang disambut kekehan. Sara geleng-geleng kepala saat bocah itu menyalami tangannya. Akhirnya, keponakannya ini waras juga jika ada tanggung jawab yang harus dipegangnya.
"Hati-hati ya, Dan."
Ardan mengangguk lalu berjalan slengekan sambil bersiul-siul. Hal yang mengundang kekehan dan gelengan kepala milik Sara. Terkadang kalau sudah berhubungan dengan ponakannya yang satu itu, Sara memilih untuk tak mau berpikir. Karena berpikir tentang Ardan, hanya membuatnya pusing kepala saja. Ia tak mau menambah daftar nama orang yang kepalanya pusing di keluarganya hanya gara-gara Ardan.
@@@
"Mom?" tuturnya saat melihat Sara berdeham-deham. Wanita itu masuk ke kantornya. Akhdan yang baru selesai menandatangani kontrak, menoleh. Lelaki itu melempar senyum sopan lalu mengangguk lemah. Ia mendengar kata 'mom' jadi ia pikir itu pasti ibunya. Meski tampak tak mirip.
"Wah temen kamu, Ya?" Sara sengaja. Tatapan matanya yang curiga, membuat Tiara mendengus keki di dalam hati. Setelah ini, ia bisa menebak nasibnya sendiri yang sudah pasti akan diledek habis-habisan oleh mommy-nya ini.
"Iya, Tan. Ternyata sekampus," malah Akhdan yang menjawab sambil cengengesan. Sikap slengekannya membuat Sara teringat pada Ardan. "Nama saya Akhdan, Tan."
Aaaaah. Sara menyimpul senyum. Namanya pun terdengar slengekan. Hihihihi.
"Satu angkatan?"
"Sepertinya lebih tua saya," Akhdan sadar diri. Ia terkekeh kecil sementara Sara mengulum senyum. Tiara sudah melotot, berupaya menghentikan acara kepo mommy-nya ini. Akhdan menebak jika usia Tiara pasti jauh lebuh muda darinya menilik fisiknya yang kecil juga wajahnya. Mungkin usia Tiara sekitar 25 atau 26 tahun kah?
"Memangnya, usia kamu berapa?" tanya Sara. Wanita itu meletakan rantang makanan di atas meja lalu duduk di sofa. Matanya tak peduli sama sekali pada Tiara yang sudah mencak-mencak.
"31, Tan," jawabnya sambil cengengesan. Sebenarnya ia salah tingkah karena ditanya seperti itu. Mana ada Tiara pula. Uhuy!
"Waaah, sudah menikah?" Sara to the point. Tiara makin melotot. Namun bibirnya tak berani mengucap satu patah kata pun. Pasrah saja.
"Belum, Tan, hehehee," jawabnya sambil garuk-garuk kepala kayak monyet.
"Waaaaaaaaah sama doooong!"
"Samaan sama Tante?"
Tiara terbahak. Gadis itu menutup mulutnya kuat-kuat. Astaga! Cowok ini polos atau apa sih?
"Ya bukan lah, masa udah punya anak begini dibilang belum menikah," tutur Sara. Akhdan terkekeh geli sambil garuk-garuk tengkuk. Ia tak bermaksud berbicara begitu. Namun entah kenapa yang keluar dari mulutnya ya itu. "Itu loooh, gadis yang di depan kamu," kode Sara sambil menahan tawa saat Tiara berubah melotot. Gadis itu langsung tersenyum paksa saat Akhdan menoleh padanya.
"Waaaah hahaha," Akhdan gak tahu harus menjawab apa, kalau ditembak langsung begini. Sara sih hanya main mata ke arah anaknya yang keki setengah mati.
-----------¤¤¤♡♡♡♡♡♡♡¤¤¤----------
"Udaaah itu udah cocok sama kamu, Ya!" heboh Sara sambil meletakan nasi di atas piring. Kemudian ia menaruh lauk-pauknya. Sementara Tiara mendengus mendengarnya. "Sama-sama pecicilan," lanjutnya yang membuat Tiara mencebikan bibirnya. "Mirip Ardan juga kelakuannya! Namanya juga hampir sama!"
"Mom berhenti deh, Aya jadi males nih," betenya. Sara terkekeh kecil mendengarnya.
"Mom kan gak serius," tuturnya. "Lagian orangnya juga ganteng!"
"Tuh..tuh...kaaaaaan!"
Sara tergelak. Ia geleng-geleng kepala usai menyodorkan piring berisi makanan itu pada anak sulungnya. Ia sih hanya bercanda. Kalau anaknya gak mau toh ia tak akan memaksa kan? Karena jodoh itu kan Allah yang atur. Dalam hal ini, Tiara sih akan merestui lelaki mana saja yang dipilih Tiara nantinya. Karena yang akan menikah itu Tiara. Hanya saja, ia perlu memastikan jika lelaki yang menikahi Tiara nanti adalah lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Paling utama, tentu saja mencintai Tiara begitu pula dengan keluarga lelaki itu. Mereka juga harus mau menerima kekurangan Tiara sebagai manusia. Karena yang namanya manusia pastinya punya kekurangan. Berbeda dengan Allah kan? Kalau yang tak mau ada kekurangan, ya menikah saja dengan Allah tuh kalau bisa. Gak mungkin kan?
"Belajar membuka hati dong," nasehatnya yang selama ini ia pendam. Tiara hanya menghela nafas mendengarnya. Ia juga belajar kok. Tapi kalau gak ada yang kecantol, ia bisa apa? Lagi pula, kalau memang belum jodohnya, ia harus bagaimana lagi? Dan lagi, hatinya memang kosong kok beberapa tahun ini. Meski kadang masih sering diganggu kegalauan oleh mantan tapi bukan berarti ia masih patah hati karena cowok itu. Bukan sama sekali. Ia hanya agak sesak setiap kenangan pahit itu terungkit. Itu saja.
"Kamu gak trauma sama masa lalu kan?"
Tiara nyengir. Yah, agak-agak trauma sih. Takut ditinggal lagi. Takut juga dibenci oleh ibunya. Takut ditinggal sendiri karena si lelaki sama sekali tak membelanya. Ia takut pada hal-hal semacam itu. Mungkin itu yang membuatnya enggan berhubungan dengan lelaki lagi. Ya, wajar saja lah. Tiara mengalami perlakuan diskriminatif itu selama empat tahun, bagaimana mungkin ia tidak sakit hati? Tidak merasa sesak? Rasanya pun sudah sejak awal ia ingin mengakhiri, andai bukan karena cinta pada lelaki itu, mungkin ia tak akan pernah bertahan. Iya kan?
Tapi ya, begitu lah yang namanya hidup. Tiara jadi tahu bagaimana pernikahan nantinya. Ia.tidak lagi bucin alias b***k cinta. Bucin yang menurutnya hanya berpatokan pada cinta saja padahal urusan pernikahan lebih rumit dari itu. Belum lagi keluarganya dan lainnya. Iya kan? Jadi, anggap saja ini adalah pembelajaran paling berharga dalam hidupnya. Ia juga belajar untuk tidak membenci mereka yang tidak menyukainya. Karena apa? Karena tak ada gunanya.
"Ya," Sara memanggilnya. Kini wanita itu serius menatapnya. "Anggap saja masa lalu itu sebagai ujian yang harus kamu lewati. Karena Allah punya maksud untuk memperingatimu lewat ujian itu. Agar kamu lebih mapan lagi dalam memilih lelaki. Tidak sembarang memilih hanya karena cinta. Namun memilih lah karena imannya. Sebab takwa pada-Nya lebih penting ketimbang cintanya padamu. Kalau Allah saja sudah dicinta, apalagi kamu?"
Tiara tersenyum tipis lalu terkekeh kecil. Ia memeluk Sara dengan haru. Aih, mommy-nya ini amat sangat mengertinya.
"Mom," panggilnya. Air matanya tanpa sadar menetes. Sara hanya balas dengan dehaman lalu wanita itu terkekeh-kekeh. "Kalau Aya nyusahinnya lebih lama gak apa-apa, ya?" tanyanya yang membuat tubuh Sara bergetar karena tahu.
"Kamu tahu, Ya? Mom malah senang sekali," jawab wanita itu penuh haru.
@@@