Bidadari Pun Cemburu

1518 Words
"Udah kan ya? Awas lo kalo gangguin gue lagi," ancamnya yang membuat Ardan mengelus d**a. Karyawan Tiara yang ada di sana terkekeh pelan. Sebetulnya mereka sudah biasa melihat kerusuhan yabg terjadi setiap Ardan datang. Tapi tingkah keduanya selalu sukses menghibur. Tiara melenggang menuju parkiran mobil yang ada di basement mall. Tak lama, ia sudah melakukan mobilnya memasuki jalanan Jakarta. Ia menghentikan laju mobilnya tepat di lampu merah dan disaat yang sama, ponselnya berdering. Ia mengangkatnya lantas menaruh ponselnya di kursi samping yang kosong. "Assalamualaikum, Yaaaa!" Ia tersenyum kecil. "Waalaikumsalam, Naz. Lagi di mana? Berisik amat!" tuturnya. Ia bisa mendengar suara seseorang yang sepertinya sedang bernyanyi? "Karaoke! Ikutan yuuk! Gue bareng sama para sepupu nih. Mayan rame!" Tiara berdeham. Ia membelokan mobilnya kemudian kembali fokus pada telepon yang masuk dari Shanaz itu. Perempuan itu sahabatnya dari bangku kuliah. Teman absurd-nya ketika rusuh di kelas. "Sorry, Naz. Gue kudu ke rumah Oma nih," alasannya. Ia sebetulnya punya alasan lain kenapa tidak mau datang ke sana? Ya setiap orang punya pilihan sih. Tempat karaokean juga tak ada masalah menurutnya. Hanya saja, Tiara sedang belajar untuk mengurangi intensitas terbuangnya waktu untuk hal-hal semacam itu. Meski acara menonton dibioskop tidak termasuk ke dalam itu. Hihihi. Tapi menurutnya, tempat karaoke dan bioskop itu berbeda jauh. Itu sih menurut penilaiannya saja. "Yaaaaah! Ya udaaah deeh. Lain kali berarti yaaa?" Tiara hanya berdeham lantas ia biar kan Shanaz menutup telepon terlebih dahulu sembari menjawab salamnya dalam hati. Tiara menghela nafas lantas kembali menatap jalanan. Sejujurnya, pikirannya sangat berkecamuk akhir-akhir ini. Menjelang ulang tahunnya yang semakin tua, ia mulai agak-agak cemas. Walau ia mencoba bersikap biasa saja juga tak mau memburu pikiran khawatir terlalu dalam. Karena ia pun pernah membaca entah di mana, ia pun lupa. Yang jelas, jangan terlalu memusingkan sesuatu hal yang sudah pasti. Misalnya tentang jodoh. Pikirannya memang tak jauh-jauh dari sana. Sebagai perempuan yang hampir berkepala tiga, ia tentu sangat ingin menikah dan memiliki pendamping. Iya kan? Dan pikiran itu adalah sebuah pikiran normal untuk seorang gadis sepertinya. Meski Allah sudah mengatakan jika.....manusia itu diciptakan berpasang-pasangan. Mana mungkin Allah berbohong atau bahkan tidak menepati janji-Nya dengan persoalan ini. Iya kan? Jadi ia mencoba percaya saja. Walau kadang terbersit, ia juga lelah dengan semua kehampaan ini. Tapi mau bagaimana lagi jika Allah menginginkannya untuk sendiri dulu? Kalau sedang menggalau seperti ini, ia jadi ingat cerita dosen pembimbingnya dikala kuliah. "Saya itu dulu, Ra, baru menikah diusia 38 tahun. Lama sekali saya menunggu. Dari umur 21 tahun udah ngebet kepengen nikah. Saya cari jodoh dari yang muda sampai yang 40-an juga saya terima. Tapi gak ada satu pun yang jadi sama saya. Saya sampai patah hati bahkan putus asa. Tanpa sadar menyebut, ya Allah, kok hidup saya gini amat. Susah amat cari jodoh. Padahal dengan cara yang baik. Gak ada pacar-pacaran dan segala macemnya. Sementara temen-temen saya ada yang pacaran lama terus akhirnya nikah sama pacarnya. Ada yang pacaran sebentar terus langsung menikah dengan pacarnya. Lah saya? Jangan kan pacaran, cari yang mau sama saya aja susah. Saya insecure sekali waktu itu. Apalagi diusia menjelang 27 tahun waktu itu. Udah batas akhirnya, istilahnya. Tapi kagi-lagi gak ada satu pun saya dapat hingga usia saya menginjak 32 tahun. Diusia itu saya sudah pasrah. Susah lewat 35 tahun apalagi. Saya udah gak kepikiran mau menikah. Rasanya bahkan minder sekali. Hati juga udah kebal. Udah sebodo amat orang mau bilang perawan tua lah. Apa lah. Mereka gak tahu gimana sedihnya jadi saya. Sampai akhirnya, saya mutusin untuk S3 aja lah. Bodo amat kalo ada yang bilang pendidikan tinggi menghambat jodoh. Saat saya fokus S3 dan hilang pikiran saya untuk ingin menikah. Fokus saya pun hanya ibadah sambil belajar juga mengajar. Disaat itu lah, Allah berikan jodoh saya. Gak butuh waktu lama. Usianya beda dua tahun sama saya. Duda sudah punya anak tiga tapi saya gak masalah. Berhubung saya sadar diri akan susah hamil dan punya anak sendiri. Jadi saya bersyukur saja atas apa yang Allah sudah kasih sama saya. Jangan cerewet karena saya sendiri yang minta jodoh. Alhamdulillah jadi menikah saya sama suami saya yang sekarang. Penantian saya memang lama tapi tidak merugi. Allah kasih saya jodoh yang soleh sekali. Andai saya menikah dulu waktu itu, mungkin belum tentu saya mendapatkan lelaki seperti itu. Itu lah, Ra, yang dibilang bertemu dengan orang yang tepat di waktu yang tepat. Ikhtiar jodoh tentu. Tapi jangan khawatir karena jodoh itu sudah diatur sama Allah, pasti punya pasangan. Kadang, kita ini terlalu khawatir sama ketentuan Allah yang sudah pasti ini hanya karena terlalu mendengar kata manusia lain. Padahal yang lebih tahu apa yang terbaik untuk kita adalah Allah. Mereka mau bilang kita terlambat menikah atau udah terlalu tua, jangan dipikirin. Perhitungan Allah itu lah yang sempurna. Dan lagi, hidup ini bukan hanya sekedar persoalan jodoh, Ra. Ada hal yabg lebih urgent, yaitu mengumpulkan bekal akhirat. Fokus aja kejar akhirat, insya Allah semua akan didapat." @@@ "Wah-wah.....banyak krucil-krucil!" seru Tiara saat baru turun dari mobil. Ia melihat Tata, Adel, Adshilla dan Adeeva yang sedang mendengar kisah Fir'aun dari Opa. Ia menyalami lelaki tua itu setelah mengucap salam dengan heboh. Krucil-krucil itu pun dengan sopan menyalaminya walau setelah itu, kompak menengadahkan tangan. Minta coklat. Tiara mengeluh lalu mencibir walau tak urung mengeluarkan belanjaannya juga. Tahu aja nih krucil-krucil kalau dia bawa makanan, keluhnya lalu berjalan masuk ke rumah. "Ya?" Omanya memanggil. Wanita itu tahu kalau Tiara yang datang karena suara salam Tiara yang memekikan telinga di depan sana ternyata sampai ke dapur. Padahal rumah ini sudah besar, panjang pula. Tapi suara Tiara masih saja terdengar. "Iya, oma!" "Ando sama Farras udah sampai di Mesir? Tadi oma telepon, hapenya masih gak aktif." Tiara mengendikan bahu. "Coba oma tanya mommy," tuturnya lalu melihat jam. "Seharusnya sih, udah tiga jam yang lalu sampainya," tambahnya lalu duduk di dekat bar kitchen. "Udah bener ini jilbabnya cucu oma?" tanya Oma saat meliriknya sekilas. Wanita itu sibuk menyiapkan teh dan s**u. Muka senewen Tiara muncul. "Emangnya selama ini, pakaian Tiara salah ya, oma?" Oma terkekeh geli. "Bukan salah, tapi belum bener aja." "Ehhm," Tiara mengangguk-angguk paham. Sama aja sih menurutnya. "Padahal udah tertutup ya, oma." Oma menghentikan kegiatan mengaduk tehnya lalu menatap cucu tertuanya itu. "Rambut boleh gak kelihatan. Secara sepintas memang tertutup. Tapi lekuk badan gimana?" Tiara cengengesan. "Lagi pula, seharusnya kalian itu bersyukur. Karena ujian memeluk agama Allah itu gak berat di zaman sekarang. Coba lihat, banyak yang memakai kerudung, banyak yang berjilbab secara utuh, sebegitu mudahnya kan? Tapi kadang, kebanyakan dari perempuan sekarang malah lebih memilih tren. Takut dibilang kuno kalau memakai jilbab. Padahal mereka gak sadar kalau mereka sendiri yang merugi," nasehat Omanya. Lalu wanita itu kembali mengaduk-aduk tehnya. "Tahu Masyitah, Ya? Wanita yang kuburannya tercium wangi oleh Rasulullah ketika beliau isra miraj?" Tiara memangku dagunya. Tertarik dengan cerita Omanya. "Demi memegang tauhid, ia merelakan diri dididihkan dalam minyak panas bersama anak-anaknya oleh Fir'aun. Kekeuh mempertahankan kebenaran walau harus disiksa sekejam itu. Tapi ia lebih memilih mati disiksa dibanding memperjual keimanan. Padahal kamu tahu sendiri gimana Fir'aun kan? Gimana murkanya dia kalau ada orang yang beriman pada Allah saat itu? Coba kamu bandingkan dengan zaman sekarang? Ujiannya gak seberapa kan?" Tiara mengangguk-anggukan kepala. Lalu melengkung senyum tipis. Ia merasa malu. Merasa kecil. Merasa tidak seberapa dibanding dengan Masyitah. Walau tetap bersyukur. Ia jadi tahu, kenapa Allah menciptakannya di zaman ini. Karena jika tidak, bisa jadi ia tak memeluk Islam larena ketakutan pada dunia lebih besar dibanding rasa cinta pada-Nya. Padahal jaminannya surga namun untuk sebuah kebaikan, terkadang terasa berat ya? Contohnya menutup aurat. Merasa panas lah, gak pede lah, merasa jika nanti gak cantik lagi, takut orang-orang menjauhi dan sebagainya. Iman ini rasanya tak seberapa. Begitu rapuh. Begitu lemah. Padahal kalau diratapi, jaminannya surga. "Berat ya, oma. Padahal ujian yang Aya hadapi gak seberapa," ucapnya lemah. Oma mengangguk. Kini mengaduk s**u untuk cucu-cucunya di depan sana. "Bahkan kadang oma, Aya suka iri sama bidadari di atas sana. Mereka gak perlu susah-susah untuk ibadah sama Allah. Gak kayak kita." Oma malah terkekeh mendengarnya. "Justru mereka yang cemburu." Kening Tiara mengernyit. "Tahu kenapa Ya?" Tiara menggeleng lemah. "Karena ibadah kita yang membuat kita mulia. Apalagi wanita begitu mudah masuk surga. Pernah dengar kan? Kalau kita tidak meninggalkan solat lima waktu, meninggal saat melahirkan, lalu doa dari anak-anak kita, taat pada suami pun bisa membuat kita memilih pintu surga mana saja yang ingin kita masuki." Oma menarik nafas. Ia sudah selesai mengaduk-aduk empat gelas s**u untuk krucil-krucil di depan sana. "Ibadah kita mulai dari solat, puasa, sedekah dan lainnya membuat kita begitu mulia di hadapan Allah. Makanya para bidadari surga disana begitu cemburu. Karena kemuliaan seperti itu diberikan hanya kepada kita. Walau kita diciptakan sama oleh Allah, namun percaya lah bahwa Allah tak pernah menyia-nyiakan usaha kita." "Termasuk usaha memperbaiki diri ya, oma?" Oma terkekeh. Beliau meletakan gelas-gelas minuman itu di atas nampan. "Walau kita tidak diciptakan sempurna, namun usahakan agar ibadah kita ikhlas karena-Nya, Ya? Biar kelak, kita bisa menjadi salah satu wanita yang dicemburukan para bidadari surga." @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD