"Masih sakit, Bang?" tanya Dina. Gadis itu kecentilan dan sok perhatian. Rasanya Tiara ingin sekali menoyor kepalanya. Tapi ia akhirnya hanya melirik saja dengan lirikan jengkel.
"Udah gak apa-apa," tuturnya tapi lehernya sampai diperban begitu. Itu sebenarnya hanya keusilan Fahri. Andai Tiara dapat membaca tulisan yang ditulis Ganti, mungkin ia sudah menjambak Om-nya itu sedari tadi. Apa tulisan yang ditulis Fahri?
Korban Tiara.
Hihihi. Sementara Aku dan menahan tawa diam-diam. Sejujurnya, ia merasa lucu dengan apa yang terjadi di rumah sakit tadi. Banyak bertemu dengan aneh membuatnya terhibur. Walau yah, ia juga senang karena dengan begini, ia bisa berinteraksi lebih banyak dengan gadis yang duduk di depan dan sedang menyetir itu. Ia kan susah lama tertarik. Sudah lama ingin mendekati tapi belum berani untuk mendekati. Bingung pula caranya mendekati. Jadi, selama beberapa hari terakhir ini ya....ia hanya melihat Tiara dari jauh. Gadis itu selalu datang dari lift arah basemen. Kemudian akan menaiki eskalator untuk sampai ke butiknya. Lalu siangnya, Akhdan sering melihat Tiara makan sendirian di food court.
Ia agak menghindar ketika Tiara berada sendirian. Karena apa? Karena ia lelaki dan Tiara tentunya perempuan. Ia hanya ingin menghormati Tiara karena melihat jilbab panjang yang dikenakannya. Ia merasa jika Tiara adalah perempuan baik-baik. Ia tidak pernah tahu kalau Tiara pernah punya masa lalu dengan keluarganya. Sepolos itu ia mengenali Tiara saat ini.
"Bang! Mau ikut makan dulu gak? Nanti di--"
Belum selesai Dina bicara, kepalanya sudah ditoyor. Ia terkikik-kikik sementara Tiara melotot. Akhdan melengkungkan senyum tipisnya. Merasa lucu dengan interaksi keduanya.
"Saya makan di rumah aja, gak apa-apa," tuturnya tapi malah membuat Tiara tak enak hati. Sekali lagi, ia memelototi Dina yang terkikik-kikik tanpa suara. Memang benar-benar menyebalkan sepupunya ini. Gak Ardan, gak Dina. Sama aja!
Tiara sedang menyetir mobil menuju mall di mana butiknya berada. Ia sangat fokus. Sementara Dina baru tersadar akan satu hal.
"Eh iya! Abang ngapain ke mall? Belanja? Atau apa?" tanya Dina. Ia sampai memutar kepalanya ke belakang. Kepo!
"Ngurusin usaha."
"Widiiih!" ia berseru sementara Tiara mendesis dalam hati. "Usaha apaan, Bang?"
"Service elektronik."
Aaaaah. Dina mengangguk-angguk. "Berarti udah lama kenal dong sama Kak Aya!" riuhnya. Tiara hanya menatap tajam dengan sudut matanya. Sementara Aku dan terkekeh.
"Saya juga baru kenal sama Tiara kok."
"Aaaah! Masa siiiih?" ledeknya yang sekali lagi membuat Tiara ingin sekali menoyor kepalanya. Andai tak ada cowok ini, mungkin sudah lama Dina habis dianiaya Tiara.
"Saya baru buka usaha beberapa bulan ini."
"Masa? Sebelumnya?"
Akhdan mengangguk-angguk. "Baru beberapa bulan ini saya tinggal di Indonesia."
"Wiiih!" mata Dina berbinar. "Selama ini?"
Akhdan tersenyum tipis. "Saya kerja di luar negeri."
Oooh. Dina mengangguk-angguk. Baginya, ada warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri itu keren. Mau yang bekerja dalam bidang apapun. Termasuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kenapa? Yaa karena semua itu butuh usaha. Tapi yang paling penting menurut Dina ya keberanian. Tinggal di luar negeri tentu merasa sangat asing.
"Abis kerja di sana terus buka usaha di sini?"
Akhdan mengangguk-angguk. Sementara Tiara berdeham. Ia tak terlalu antusias sih mendengarnya. Apalagi mobil yang disetirnya telah tiba di basemen. Tadi, ia meminta tolong pada satpam mall untuk mengantar mobil Akhdan ke bengkel. Kini ia sudah turun dari mobil kemudian berjalan menuju pos satpam. Aku dan ikut turun dan berjalan pelan di belakang Tiara.
"Gimana, Pak?"
"Anu, Mbak. Kata orang bengkel harus ditinggal."
Aaah. Tiara menoleh pada Akhdan. Lelaki itu malah mengangguk-angguk. "Ya sudah kalau begitu. Terima kasih, Pak," tuturnya. "Makasih juga, Tiara."
Tiara berdeham. Maksudnya bukan itu. "Mau saya antar saja?" tawarnya. Maksudnya ia berniat mengantar Aku dan pulang sebagai tanggung jawab. Toh cowok ini menolak tanggung jawabnya atas mobil itu. Apa salahnya Tuara menawarkan ini?
"Gak us--"
"Gak apa-apa. Justru saya gak enak. Lagi pula, ada sepupu saya. Gimana?"
Ia agak memaksa tentunya. Bagaimana pun ia berniat tanggung jawab meski hanya sedikit. Iya kan?
Akhdan menggaruk belakang kepalanya. Ia tampak menahan senyumnya. Sesungguhnya ia memang tak keberatan jika memang Tiara masih ingin mengantarnya pulang.
@@@
Akhirnya perjalanan berlanjut. Tiara membawa mobilnya keluar dari area mall. Akhdan bilang kalau ia ingin mampir sebentar ke bengkel di mana mobilnya berada jadi Tiara menghentikan mobilnya lagi. Kebetulan bengkel itu hanya berjalan sepuluh meter dari mall. Ia dan Dina tetap berada di dalam mobil sementara Akhdan tampak berbicara dengan sang montir.
"Mayan tauk, Kak!" tutur gadis itu. Tak lama ia mendapatkan toyoran dari Tiara. Ia berdesis. Memang tidak ada rasa keprisaudaraannya sepupunya yang satu ini.
"Awas lo kalo ngomong aneh-aneh!" ancamnya yang membuat Dina tadinya ingin bicara malah terbahak.
"Yee! Gak apa-apa kali. Mayan gitu! Siapa tahu jodoh!" ledeknya dan kali ini ia mendapat toyoran lagi. Ia berdesis. Untungnya yang menoyor ini Tiara loh. Kalau yang menoyornya Ardan, sudah dipastikan Ardan akan lebih teraniaya dari ini. Ia akan membalasnya dengan ribuan kali lipat. Sehingga Ardan akan menderita sebanyak ribuan kali lipat. "Lagian nih, Kak. Mumpung Kak Aya lagi jomblo dan lagi nyari jodoh terus ketemu cowok model kayak gitu dan semoga jomblo gitu, apa salahnya sih? Buka hati lah. Mau sampai kap--"
"Buka hati! Buka hati!" omel Tiara sementara Dina terkikik-kikik. Dikiranya Tiara tak membuka hati? Ia buka hati kok. Tapi permasalahannya kan bukan itu. Melainkan, tak ada lelaki yang datang kepadanya dan menyukainya. Itu yang jadi masalah! Kalau mantan?
Tentu saja Tiara sudah lama melupakannya. Untuk apa mengingat seseorang yang bahkan tak akan pernah bisa diraih lagi? Akan sangat membuang waktu. Dari pada memikirkan mantan kan lebih baik Tiara memikirkan desain bajunya. Lagi pula, ia percaya kok jika jodoh akan datang diwaktu yang tepat. Jodoh itu tak akan pernah datang terlambat. Karena apa? Karena jodoh datang dengan perhitungan Tuhan. Perhitungan Allah bukan perhitungan manusia. Kalau manusia kan berbeda pola pikirnya. Seringkali mengkotak-kotakkan sesuatu. Misalnya, perihal jodoh ini lah. Yang usianya masih belasan hingga awal dua puluhan mungkin dikategorikan ke dalam usia muda untuk menikah. Kalau usia 23 tahunan hingga 27 tahunan mungkin mereka bilang sebagai usia yang ideal untuk menikah. Kalau usia menjelang hingga melewati tiga puluhan, mereka akan mengatakan itu adalah usia yang terlalu tua untuk menikah. Padahal, yang tahu kapan datangnya jodoh itu kan Allah. Yang tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya juga Allah. Iya kan? Jadi tak seharusnya manusia bersikap lebih sok tahu dibandingkan takdir yang ditulis Allah. Terlebih dalam hal-hal yang sudah dipastikan seperti ini. Kan Allah sudah bilang kalau Dia menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan.
"Ini?" Tiara meragu. Gadis itu melirik Akhdan sekali lagi. Memastikan kalau tidak salah rumah.
"Iya. Masuk saja," tuturnya santai.
"Lo tinggal di rumah itu?" Tiara bertanya pelan. Pasalnya, ia tahu sekali itu rumah siapa. Sementara Akhdan membuka jendela, meneriakan satpam. Meminta tolong untuk dibuka pagarnya.
"Iya," jawabnya lalu terkekeh. "Saya menumpang," tuturnya. "Kamu masuk dulu ya, mampir sebentar, mau kan?" pintanya yang menbuat Tiara menggeleng cepat.
"Gue ada keperluan lain," bohongnya yang dengan cepat dikilah Dina.
"Bohong, bang! Malam minggu gini kak Aya gak bakal kemana-mana!" serunya dengan girang. Ia bahkan sudah turun dari mobil.
Tiara menggeram namun menahan emosinya saat Akhdan menoleh padanya. "Masuk ya?"
Tiara menghela nafas. Akhirnya ia terpaksa turun. Walau entah kenapa, perasaannya mendadak tak enak.
Akhdan memimpin jalan. Lelaki itu berseru mengucap salam lalu berjalan masuk. Saat berhenti sebentar di pintu rumah, ia menitahkan Tiara dan Dina agar segera masuk. Lalu ia berjalan ke dalam rumah, memanggil orang rumah agar segera keluar karena ia ingin memperkenalkan Tiara dan Dina pada keluarganya.
"Bawa siapa kamu?"
Suara yang amat familiar itu membuat Tiara makin gugup. Tangannya meremas-remas, perasaannya semakin tak enak. Sementara Dina malah terbelalak saat melihat foto besar yang dipajang disana.
"Perempuan?" suara itu terdengar heboh lalu terkekeh. Langkahnya semakin dekat terdengar oleh Tiara. "Sia--" suara itu menghilang seketika saat melihat Tiara.
"Temennya Akhdan. Tadi nolongin Akhdan, Ma. Tiara namanya," tuturnya lalu menoleh pada Tiara yang berdiri kikuk. Gadis itu menahan nyeri dihatinya. "Kenalin, Ra, ini tanteku yang sudah ku anggap sebagai ibuku sendiri."
Tiara tersenyuk tipis. Dina menatap dengan mata menyipit. Sementara Tiara berjalan mendekat lalu mengulurkan tangan, hendak menyalami wanita paruh baya itu. Namun apa yang ia dapat?
"Suruh pulang itu temanmu!" suara itu berubah nada menjadi marah. Lalu berbalik badan dan meninggalkan tangan Tiara yang masih terulur.
Gadis itu diam. Tiba-tiba kehilangan senyumnya. Bahkan hatinya makin sakit. Sementara Dina baru saja hendak memaki tapi ditahan Tiara. Gadis itu menarik lengannya sementara Akhdan menatapnya dengan bingung.
"Gue pulang aja, Dan," pamitnya lalu meremas tangan Dina. Menahan emosi gadis itu walau ia juga ingin marah. Akhdan memanggilnya namun ia enggan menghiraukan. Tapi baru saja langkahnya tiba di halaman, Galang turun dari mobil bersama istri dan anaknya. Gadis itu menghentikan langkah sesaat tapi tangannya langsung ditarik cepat oleh Dina. Gadis itu tak suka walau dengan sengaja ia menabrak bahu Galang. Ia ingin meledak rasanya.
"Dina aja yang nyetir!"
Ia mengambil alih kunci lalu mendorong Tiara agar segera masuk ke mobil. Sementara ia berjalan cepat, membuang muka saat Akhdan menghampiri mereka.
"Kak, jangan pernah lagi berurusan sama mereka," kecamnya lalu menghidupkan mesin mobil. Ia bisa menyetir walau belum punya SIM. Mobilnya mulai melaju dan membiarkan Akhdan mengetuk-etuk kaca mobil. Lelaki itu hanya bisa menghela nafas saat mobil itu bergerak menjauhi rumahnya. Tak mengerti kenapa bisa begini.
@@@