Aurora telah sampai di ruangan kamar mandi yang dibangun dekat dapur. Di sana, ia berdiam diri menunggu kulitnya kembali ke semula. Perubahan kulitnya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit. Setelah tubuhnya kembali seperti biasanya, Aurora langsung mandi untuk menghilangkan debu dan virus yang menempel di tubuhnya.
“Ra, kok masuk lewat pintu belakang?” tanya Nilam saat Aurora keluar dari kamar mandi. Nilam sendiri sedang mengambil piring untuk menyantap seporsi ketoprak pesanannya.
“Iya, Ma. Kebetulan tadi, Aurora kebelet.”
“Kebelet? Kok, rambutnya basah. Oh, jangan-jangan .... “
“Mama jangan jorok. Aurora enggak ngompol, ya.”
Aurora berjalan meninggalkan Nilam yang tengah berdiri membawa piring sambil tersenyum memandangi punggung Aurora. Aurora masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaian.
“Ra, kok, tumben mandi?” tanya Jasmin yang tengah membaca komentar dari netizen di kanal Youtube-nya.
“Iya, gerah soalnya. Oh iya, itu komentar dari siapa?” tanya Aurora yang sekilas melihat ada komentar buruk pada video tayangan terbarunya.
“Akun yang biasanya, Ra.” Jasmin menutup kolom komentar. Ia membuka konten milik kreator lain. Di sana, Jasmin mendapatkan sebuah inspirasi untuk membuat konten selanjutnya. Lebih tepatnya, saat mereka tengah menginjakkan kaki di Yogyakarta. “Sudah, Ra. Enggak perlu dipikir. Mendingan sekarang kita mandiri buat mencari konsep lagi. Kalau kita berkarya, ya, kita harus mau menciptakan inovasi.” Jasmin mengambil kertas berwarna kuning berbentuk persegi. Di kertas itu, Jasmin menuliskan konsep yang ia tangkap berdasarkan tayangan tadi. Bukan bertindak plagiat, tapi Jasmin hanya mencari referensi.
“Jas, sepertinya itu sudah bagus. Enggak perlu kita tambah ornamen juga sudah menarik. Asalkan, cuacanya mendukung, sih.” Aurora membaca konsep yang tercipta dari pikiran Jasmin. Aurora bersyukur memiliki sahabat seperti Jasmin yang bisa ia andalkan. Akan tetapi, benar yang dikatakan Jasmin, Aurora tidak bisa bergantung kepadanya secara berterus-terusan. Sebab, ada saatnya ia terpisah dari Jasmin suatu saat nanti. Walaupun, Aurora tidak menginginkan hal itu.
Aurora menyimpan kertas itu di dompetnya. Tujuannya agar menjadi alarm pada saat mereka telah singgah di Yogyakarta. Lima menit kemudian, mereka memutuskan untuk merebahkan tubuhnya. Waktu berputar hingga sekarang telah singgah di pertengahan malam. Udara dingin yang berhasil masuk melalui celah-celah ventilasi menusuk sampai tulang-tulang. Aurora menarik selimutnya sebatas lehernya untuk memberikan kehangatan pada dirinya.
Keesokan harinya, mereka duduk di ruang makan untuk menikmati sarapan. Mereka duduk di tempat yang biasa mereka tempati. “Jasmin, Aurora, makan yang banyak, biar sehat.” Bram mengambil satu sendok sayur bayam.
“Alasan Papa saja biar bisa nambah makan.” Aurora mengedipkan matanya ke arah Bram. “Pa, Aurora minta izin buat pergi ke Yogya minggu depan,” sambungnya.
Bram menatap Aurora dengan intens selama beberapa detik. Ia kembali menikmati makanannya. Saking terburu-burunya, karena hendak berangkat kerja, Bram tersedak makanannya. Aurora teringat dengan salah satu iklan di televisi.
Aurora berjalan ke arah dapur. Dengan sigap, Aurora mengambil satu cangkir diisi dengan teh celup. Ia juga mengambil termos berwarna biru untuk membuat teh. Setelah itu, Aurora mengambil satu sendok gula pasir. Kemudian diaduk rata. Aurora berjalan kembali ke meja makan dengan membawa saru cangkir teh hangat.
“Pa, Aurora cantik sudah datang membawa secangkir teh hangat spesial. Semoga, Papa menikmati, ya.” Aurora memberikan teh itu ke ayahnya.
Aurora duduk kembali ke tempatnya. Kemudian, ia melihat ayahnya sudah menaruh kembali gelas tersebut. Baru saja, ia ingin membuka mulutnya untuk mengutarakan sesuatu. Akan tetapi, hal itu didahului oleh Nilam.
“Ra, buat Mama mana?” tanya Nilam.
“Mama ... buat sendiri saja.”
“Sudah, Papa berangkat kerja dulu, ya.” Bram beranjak dari tempat duduknya.
“Pa, sebentar,” kata Aurora sembari menarik lengan ayahnya agar kembali duduk sebentar. “Pa, izinkan Aurora pergi ke Yogyakarta bersama Jasmin, ya?” rengeknya.
“Ra, tidak usah aneh-aneh. Kamu itu belum pernah pergi ke luar kota tanpa Papa atau Mama.” Bram berjalan keluar untuk berangkat ke kantornya. Tentu saja, sebelumnya Bram sudah meminta izin pada istrinya.
Aurora menampakkan wajah murungnya sembari menatap punggung ayahnya berangkat mencari nafkah. “Jasmin, maaf,” kata Aurora sembari menatap manik mata Jasmin yang indah.
“Ra, tidak apa. Kalau Papa Bram tidak mengizinkan, biarkan gue berangkat sendiri. Gue benar-benar rindu dengan Ayah. Selain itu, acara itu juga kesempatan buat gue melepas rindu, Ra. Andai saja, Ibu masih ada. Tapi, sayangnya Ibu harus pergi setelah gue lahir.” Jasmin mengelap air matanya.
Nilam yang mengerti perasaan Jasmin pun memeluk gadis itu dengan erat. “Anggaplah Mama sebagai Ibumu,” katanya sembari mengecup kening Jasmin.
“Lu cengeng, Jas. Lu pikir gue juga kaga rindu? Gue juga rindu dengan Papa yang dulu. Papa itu ... dulu selalu ada di rumah. Sekarang, seakan-akan kantor itu rumah, Jas.”
Aurora berjalan ke arah kamarnya yang terletak di lantai dua. Nilam dan Jasmin menatap punggung Aurora. Nilam bingung dengan sikap putrinya. Padahal, Bram pulang larut malam karena lembur akibat pendiri perusahaan yang gila harta. Akan tetapi, Aurora tidak menyadari bahwa Bram bekerja dengan keras hanya untuk kebahagiaan Aurora. Tapi, Aurora tidak bersalah. Aurora juga berhak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Bukan hanya sebatas uang yang dibutuhkannya.
Berbicara mengenai rindu, rindu bukan hanya ditujukan pada seorang kekasih. Bukan juga hanya ditujukan pada seseorang yang telah lama tidak berjumpa. Rindu bisa saja untuk orang terdekat yang setiap harinya bersama. Akan tetapi, mereka tidak bisa menemukan waktu yang tepat untuk bertatapan secara intens. Sama halnya dengan Aurora yang rindu dengan kebersamaan bersama Bram.
“Aurora, bukankah setiap hari Papa pulang ke rumah? Lalu apa yang kamu rindukan darinya?” tanya Nilam saat menemui Aurora di kamarnya.
“Kangen sama Papa yang dulu, Ma.” Aurora masih asyik dengan laptopnya. Ia menonton drama asal Korea untuk menghilangkan rasa bosan dan kesalnya.
“Memang, dulu Papa seperti apa menurut Aurora?” tanya Nilam lagi.
Nilam merupakan salah satu sosok ibu yang bisa bersikap bijak. Seperti saat ini, ia menanyai apa yang digelisahkan putrinya. Nilam hampir tidak pernah memarahi Aurora. Karena, kata-kata yang keluar dari bibir seorang ibu kepada anaknya saat marah, akan memberikan efek yang—mungkin—buruk. Bagi Nilam, daripada memarahi anaknya, ia lebih baik menyalahkan dirinya. Nilam menyadari bahwa sifat seorang anak merupakan cerminan seorang ibu atau ayah saat muda. Oleh sebab itu, Nilam selalu memberlakukan kelembutan dan ketenangan saat menasihati Aurora.
“Papa ... Papa itu dulu selalu ada, Ma. Papa juga selalu memberikan yang Aurora mau. Padahal, Aurora pergi ke Yogyakarta juga bersama Jasmin. Di sana juga kita tidak berlibur. Kita hanya mengikuti acara yang diadakan oleh keluarga besar Jasmin.” Aurora menatap mata Nilam dalam. Tidak terasa, Aurora mengeluarkan air matanya. Cara terbaik dalam meluapkan emosi, kekecewaan, ataupun kemarahan adalah dengan menangis. Percaya atau tidak, dengan keluarnya air mata akan membuat perasaan jauh lebih lega.
“Ra, jadi, kesal sama Papa hanya karena tidak diberi izin?” Nilam tersenyum sembari memegang pundak Aurora. Satu menit kemudian, Nilam keluar dari kamar Aurora.
“Jas, kalau mau ke Yogya, gue minta tolong buat video Tugu sama Malioboro.” Aurora memberikan kameranya pada Jasmin yang tengah bersiap-siap untuk pulang ke rumahnya. Ia mengemas beberapa pakaian yang ada di rumah Aurora. Sore nanti, Jasmin harus pulang terlebih dahulu untuk membersihkan dan mengambil pakaian di rumahnya.
“Siap, Ra. Santai aja,” katanya sembari tersenyum.
“Ra, coba nanti kamu rayu Papa lagi. Mungkin, trik yang mengikuti iklan di TV tadi kurang manjur.” Jasmin tertawa sembari memasukkan pakaiannya ke dalam tas. “Buku gue titip di sini dulu, ya.”
“Jas Hujan! Awas saja ya, kau menertawakan gue!” teriak Aurora sembari memandangi Jasmin yang berlari keluar kamar.
Pada saat Aurora hendak keluar ke kamar, tiba-tiba ada sebuah cecak yang terjatuh ke lantai. Aurora bergegas untuk membuang cecak yang telah mati melalui jendela kamarnya. “Ihs, dasar cecak. Buang kotoran saja sembarang, eh, ini jatuh sembarangan juga.” Aurora menutup jendela kembali.
“Ra, gue pulang dulu. Ternyata sopir di rumah gue sudah tiba di halaman rumah megah milik orang tua lu.” Jasmin menggendong tasnya. “Baik-baik, ya, Ra.”
“Jasmin, maaf, gue gak bisa menemani ke Yogya,” lirih Aurora.
Jasmin telah meninggalkan halaman rumah Aurora dengan mobil berwarna hitam milik ayahnya. Sebenarnya, Jasmin akan pulang sore nanti diantar oleh Bram. Akan tetapi, ayahnya meminta untuk pulang pagi ini dengan dijemput sopirnya.
“Jas, gue bakal rindu sama kamu. Walaupun hanya dua minggu, itu waktu yang sangat lama, bagiku. Sebab, sehari-hari, aku selalu bersamamu. Kini, harus tanpa dirimu,” batin Aurora.